Selamat Tinggal Bantal dan Celengan...
Mengakses layanan keuangan formal bisa dimulai dari mana saja, termasuk dari ruangan kecil di Cirebon, Jawa Barat, dan di Lampung Selatan, Lampung.
Di ruangan sederhana berdinding kayu seluas 5 meter persegi itu, warga Desa Pegagan Kidul, Kecamatan Kapetakan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, mengenal rekening tabungan.
Ruangan itu berada di Sekretariat Komunitas Keluarga Buruh Migran (KKBM) Cakrabuana, di depan Sungai Pegagan Kidul, sekitar 18 kilometer (km) sebelah utara pusat Kota Cirebon.
”Dari sini, saya membuat rekening bank dan kartu anjungan tunai mandiri. Dulu, kalau mau kirim uang lewat saudara, pasti ada potongan, ucapan terima kasih, ha-ha-ha,” ujar Carneti (45), warga setempat, malu-malu.
Carneti pernah menjadi buruh migran Indonesia di Timur Tengah pada 2017-2018. Saat itu, ia biasa mentransfer jutaan rupiah melalui Western Union kepada keluarganya di kampung. Ia dan suaminya tidak punya rekening bank.
Saat itu, ia berpikir memiliki rekening bank akan ribet. Untuk mencairkan uang harus pergi ke bank dengan beragam syarat. Namun, keinginan menyimpan uang tetap ada. Jalan keluarnya, dia menabung di celengan berbahan lempung karya perajin gerabah di Desa Sitiwinangun, Jamblang, sekitar 16 km dari Pegagan Kidul.
”Kalau perlu uang, celengan dipecah. Nanti, beli celengan lagi di Kamisan (pasar malam Kamis),” kata lulusan sekolah menengah atas ini.
Carneti lupa sudah berapa kali ia memecahkan celengan tanah liat. Hubungannya dengan celengan lempung ”putus” sejak Desa Pegagan Kidul menjadi program percontohan percepatan keuangan inklusif, November 2019.
Program Bank Dunia, Sekretariat Dewan Nasional Keuangan Inklusif, dan Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah Jabar menggandeng KKBM Cakrabuana. Sebagai pengelola program, pengurus KKBM Cakrabuana mendatangi rumah warga untuk menyosialisasikan program tersebut.
Hubungannya dengan celengan lempung ”putus” sejak Desa Pegagan Kidul menjadi program percontohan percepatan keuangan inklusif
Carneti dan warga desa lainnya mulai memahami fungsi produk dan layanan jasa perbankan, seperti rekening. Ia juga diajak memanfaatkan program tabungan emas PT Pegadaian (Persero).
Dengan angsuran minimal Rp 8.000 per pekan, Carneti menabung emas. Kadang kala ia menyetor Rp 10.000, Rp 20.000, bahkan Rp 50.000 per pekan. Setelah enam bulan, pemilik warung kecil itu punya emas 2 gram. ”Saya mau menabung sebanyak-banyaknya. Harga emas lagi mahal, lebih dari Rp 900.000 per gram,” katanya.
Ia juga mengembangkan usaha lewat kredit usaha rakyat supermikro sebesar Rp 5 juta. Hasil warung itu membantu kondisi ekonomi rumahnya di tengah pandemi Covid-19. Suaminya bekerja serabutan, sedangkan anak-anaknya kuliah dan duduk di bangku SMA sehingga perlu biaya.
Untuk mengembalikan pinjaman, Carneti mencicil Rp 252.000 per bulan selama 21 bulan. Baginya, nilai cicilan itu tidak memberatkan, berbeda dengan pemberi pinjaman yang kerap kali menawarkan pinjaman bagi warga desa dan mengenakan bunga mencekik leher.
Carneti, salah seorang warga, merasakan manfaat inklusi keuangan, bisa diartikan kondisi masyarakat yang mengakses produk dan jasa keuangan formal.
Baca juga: OJK Optimistis Target Inklusi Keuangan 90 Persen Tercapai pada 2024
Bintun, Koordinator KKBM Cakrabuana, mengatakan, sebelum program itu berjalan, hanya 40 persen dari sekitar 3.000 rumah tangga di wilayah itu yang memiliki rekening. ”Masih banyak warga yang menaruh uang di bawah bantal karena merasa lebih aman. Padahal, jeblos juga diambil anak-anaknya,” kata Bintun diiringi tawa.
Melalui program inklusi keuangan, muncul enam agen perbankan di desa, termasuk KKBM Cakrabuana yang menjalankan tabungan emas Pegadaian. Warga tidak lagi perlu ke kantor cabang bank atau ATM. Cukup datang ke agen, nasabah bisa tarik uang, transfer, dan mengangsur kredit.
”Sekarang, lebih dari 60 persen rumah tangga di sini sudah punya rekening. Sekitar 80 warga ikut tabungan emas. Perwakilan Bank Dunia masih biasa menelepon warga untuk survei,” katanya. Sebanyak 12 toko, lanjut dia, juga dapat melayani pembayaran nontunai dengan aplikasi.
Esih Sunarsih, Kepala Urusan Keuangan Desa Pegagan Kidul, menilai program inklusi keuangan relevan dengan pandemi Covid-19 kini. Warga, misalnya, tak lagi harus berkerumun di kantor cabang bank dekat Pasar Celancang. ”Cukup ke agen saja kalau mau kirim uang,” katanya.
Cukup Rp 100.000
Di Desa Sidorejo, Kecamatan Sidomulyo, Kabupaten Lampung Selatan, Lampung, 259 warganya menjadi investor saham. Pada 2018, desa itu ditetapkan sebagai Desa Nabung Saham. Kini, warga di desa-desa sekitar Sidorejo juga menjadi investor saham di Galeri Investasi di desa itu.
”Semula, saya kira perlu jutaan rupiah untuk membuka rekening tabungan saham. Ternyata modal untuk investasi saham hanya Rp 100.000,” ujar Agus Fauzi (35), warga Desa Sidoharjo, Kecamatan Way Panji, Lampung Selatan.
Baca juga: Inklusi Keuangan Tak Sebatas Pembukaan Rekening Tabungan
Agus tahu informasi tentang Desa Nabung Saham dari media sosial Facebook pada Januari 2019. Ia tertarik belajar saham dan berkunjung ke rumah Riyan Ahmad, inisiator desa menabung saham Desa Sidorejo. Setelah berdiskusi dan mengikuti beberapa kali kelas belajar saham, pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah ini yakin membuka tabungan saham dengan modal awal Rp 100.000.
”Investasi saham untuk jangka panjang. Saya berharap hasil investasinya bisa dimanfaatkan saat pensiun,” ujarnya.
Sejak belajar investasi, literasi keuangan semakin baik. Dia tak hanya makin giat menyisihkan uang untuk ditabung atau diinvestasikan, tetapi juga memiliki perencanaan keuangan jangka pendek, menengah, dan panjang.
Investasi saham untuk jangka panjang. Saya berharap hasil investasinya bisa dimanfaatkan saat pensiun.
Kepala Otoritas Jasa Keuangan Lampung Bambang Hermanto mengatakan, selain Sidorejo, Desa Titiwangi di Kecamatan Candipuro, Lampung Selatan, juga menjadi desa inklusi keuangan. Saat ini nilai transaksi investasi saham di dua desa itu lebih dari Rp 800 juta dari 429 nasabah.
Banyak cara untuk mengenal produk jasa keuangan. Lalu, warga meninggalkan celengan dan bantal....