Masa Kritis Investasi Belum Terlewati, Krisis Ketenagakerjaan Menanti
Masa kritis investasi akibat pandemi belum terlewati karena kondisi global masih lemah. Di sisi lain, masih ada pekerjaan rumah menyerap dan meningkatkan kompetensi tenaga kerja yang tengah menanti.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN/Hendriyo Widi
·5 menit baca
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Sebagian lahan tambak dan rawa yang diubah untuk dipersiapkan sebagai kawasan industri di pesisir utara Jawa, Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, Senin (8/4/2019).
JAKARTA, KOMPAS — Realisasi investasi triwulan III-2020 tumbuh positif setelah triwulan sebelumnya terkontraksi cukup dalam. Pembalikan pertumbuhan investasi ini bukan berarti masa kritis telah terlewati. Forum Ekonomi Dunia atau WEF mengingatkan, investasi juga diharapkan bisa menyerap dan meningkatkan kompetensi tenaga kerja.
Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi pada triwulan III-2020 senilai Rp 209 triliun atau tumbuh 1,6 persen secara tahunan. Realisasi investasi triwulan III-2020 lebih baik dibandingkan triwulan II-2020 yang senilai Rp 191,9 triliun atau tumbuh negatif 4,3 persen.
Adapun realisasi Januari-September 2020 senilai Rp 611,6 triliun terdiri dari penanaman modal asing (PMA) Rp 301,7 triliun dan penanaman modal dalam negeri (PMDN) Rp 309,9 triliun. Tahun ini, pemerintah menargetkan investasi Rp 817,2 triliun berupa PMDN Rp 469,1 triliun dan PMA Rp 348,1 triliun.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) bidang industri, perdagangan, dan investasi, Ariyo DP Irhamna, berpendapat, pembalikan pertumbuhan investasi pada triwulan III-2020 bukan berarti Indonesia sudah lewat dari masa kritis. Pemerintah tetap harus realitis melihat kondisi global yang lemah.
”Investor masih akan menahan ekspansi cukup signifikan. Bahkan, banyak perusahaan global yang mulai mengurangi kapasitas produksinya sampai melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Kondisi domestik hampir serupa,” ujar Ariyo, yang dihubungi pada Minggu (25/10/2020).
Investor masih akan menahan ekspansi cukup signifikan. Bahkan, banyak perusahaan global yang mulai mengurangi kapasitas produksinya sampai melakukan pemutusan hubungan kerja.
Berdasarkan dalam Laporan Investasi Global 2020 yang dirilis Konferensi Perdagangan dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCTAD) pada 16 Juni 2020, investasi asing langsung (FDI) tahun ini diproyeksikan turun 40 persen dari 2019 yang senilai 1,5 triliun dollar AS.
Anjloknya pertumbuhan FDI global akan terus berlanjut pada 2021 sebesar 60 persen menjadi 900 miliar dollar AS. Kondisi ini disebabkan perusahaan-perusahaan besar di dunia masih berupaya memulihkan keuangannya akibat imbas pandemi tahun 2020. FDI baru akan naik secara bertahap pada akhir 2021 hingga sepanjang 2022.
Sebaliknya, menurut Kepala BKPM Bahlil Lahadalia, realisasi investasi yang tumbuh positif pada triwulan III-2020 mengindikasikan masa kritis investasi di Indonesia sudah terlewati. Kontraksi investasi yang terjadi pada triwulan II-2020 tidak akan terjadi lagi karena tren investasi ke depan terus membaik.
”Masa kritis sudah lewat di triwulan II-2020, yang saat itu hanya terealisasi sekitar Rp 190 triliun,” katanya.
Kompas/AGUS SUSANTO
Aktivitas alat berat dalam proyek konstruksi pendirian pabrik otomotif di kawasan industri GICC, Desa Sukamukti, Kecamatan Bojongmangu, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Kamis (13/8/2020). Pemerintah tengah gencar berburu investor, khususnya ke bidang berbasis padat karya untuk menekan dampak resesi. Sektor penanaman modal yang diincar, antara lain, industri alat kesehatan, energi, tambang, manufaktur, dan infrastruktur.
Prospek investasi, lanjut Bahlil, akan semakin membaik seiring implementasi Undang-Undang Cipta Kerja. Sejauh ini sudah ada 153 perusahaan asing dan domestik yang siap masuk ke Indonesia pada 2021. Mereka tertarik berinvestasi karena ada kepastian hukum dan kemudahan prosedur yang ditawarkan UU sapu jagat atau omnibus law tersebut.
Menurut Ariyo, reformasi sistem yang sedang dibangun Indonesia bukan jaminan investasi akan tumbuh signifikan. Implementasi reformasi sistem dalam UU Cipta Kerja butuh waktu dan proses sosialisasi yang intensif. Jangan sampai reformasi berbalik menjadi bumerang, seperti implementasi Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik (Online Single Submission/OSS).
”Indonesia punya pengalaman buruk dengan perubahan sistem. Ketika OSS diimplementasikan tahun 2018, realisasi invetasi langsung turun karena kesiapan dan sosialisasi yang kurang,” kata Ariyo.
Pemerintah juga perlu lebih hati-hati dalam menentukan indikator keberhasilan sistem reformasi. Sebagai contoh, perbaikan kemudahan berusaha (EODB) Indonesia dari peringkat ke-120 tahun 2014 ke peringkat ke-72 tahun 2018 tidak dibarengi pertumbuhan PMA yang signifikan. Pertumbuhan PMA kurang dari Rp 300 miliar per tahun.
Sementara Forum Ekonomi Dunia (WEF) mengingatkan, digitalisasi dan pandemi Covid-19 telah mendisrupsi tenaga kerja dan lapangan kerja. Kondisi ini memerlukan pembenahan sektor investasi baik di bidang teknologi maupun tenaga kerja.
Dalam laporan hasil survei bertajuk ”Future of Jobs Report 2020” yang dipublikasikan pada 21 Oktober 2020, WEF memperkirakan, digitalisasi dan pandemi Covid-19 telah mendisrupsi tenaga kerja dan lapangan kerja. WEF memperkirakan, 85 juta pekerja akan tergantikan oleh mesin pada 2025. Namun, sebanyak 97 juta lapangan kerja akan muncul dan lebih disesuaikan dengan pembagian kerja baru antara manusia, mesin, dan algoritma.
Rata-rata perusahaan yang menjadi responden memperkirakan, sekitar 40 persen pekerja akan memerlukan pelatihan ulang selama enam bulan atau kurang dan 94 persen pemimpin bisnis berharap agar karyawan mengambil keterampilan baru saat bekerja.
Laporan tersebut juga menunjukkan, 55 persen perusahaan ingin mendorong transformasi sumber daya manusia, 43 persen akan mengurangi tenaga kerja, 34 persen ingin memperluas tenaga kerja sebagai hasil dari integrasi teknologi yang lebih dalam, dan 44 persen ingin memperluas penggunaan pekerja kontrak untuk sejumlah pekerjaan khusus.
Managing Director WEF Saadia Zahidi mengatakan, otomatisasi yang semakin cepat dan resesi akibat dampak Covid-19 telah memperdalam ketidaksetaraan yang ada di pasar tenaga kerja. Kondisi ini telah membalikkan serapan tenaga kerja dan penciptaan pekerjaan yang dibuat sejak krisis keuangan global pada 2007-2008.
”Ini merupakan disrupsi ganda yang menghadirkan rintangan lain bagi pekerja di masa sulit ini. Pebisnis, pemerintah, dan pekerja harus segera bekerja sama merencanakan dan menerapkan visi baru bagi sektor ketenagakerjaan global,” ujarnya melalu keterangan pers.
Ini merupakan disrupsi ganda yang menghadirkan rintangan lain bagi pekerja di masa sulit ini. Pebisnis, pemerintah, dan pekerja harus segera bekerja sama merencanakan dan menerapkan visi baru bagi sektor ketenagakerjaan global.
Chief Executive Officer Coursera Jeff Maggioncalda, yang merupakan mitra survei WEF, menambahkan, pandemi telah berdampak secara tidak proporsional pada jutaan pekerja berketerampilan rendah. Oleh karena itu, pemulihan ekonomi akibat imbas pandemi di setiap negara juga harus mencakup upaya peningkatan tenaga kerja yang terkoordinasi antar-beragam institusi sehingga pekerja siap kembali ke dunia kerja.
Saat ini, hanya 21 persen pebisnis di seluruh dunia yang dapat menggunakan dana publik untuk program peningkatan keterampilan dan kompetensi pekerja. Selain itu, pemerintah setiap negara berperan penting untuk menyediakan jaring pengaman yang lebih kuat bagi para pekerja, meningkatkan sistem pendidikan dan pelatihan, dan menciptakan insentif untuk investasi di pasar dan pekerjaan di masa depan.