Kurangi Keinginan, Perbanyak Menabung di Masa Pandemi
Perencanaan keuangan merupakan suatu keharusan untuk menata masa depan. Tidak ada orang yang berencana gagal dalam hidupnya. Namun, kenyataannya, banyak yang gagal akibat tidak punya perencanaan.
Pandemi Covid-19 yang kini mendampingi keseharian masyarakat selama lebih kurang delapan bulan terakhir tanpa disadari telah mengubah gaya hidup. Ada sebagian orang yang bisa menabung lebih banyak, tetapi ada pula yang pengeluarannya malah semakin besar.
Ilma de Sabrini (26), tenaga lepas di bidang menulis di Jakarta, menuturkan, pandemi Covid-19 yang membuatnya terpaksa bekerja dari rumah ternyata membuat kesempatan menabung kian besar.
Perempuan yang baru menikah pada Maret 2020 itu langsung merasakan bagaimana harus mengatur keuangan sebagai keluarga baru di tengah pandemi. Sebagian dari pendapatan yang setiap bulan diperoleh bersama suami langsung disisihkan untuk tabungan dan investasi.
”Dari total gaji bersih 100 persen, sekarang saya bisa tabung 30-40 persen dari yang sebelumnya paling 20 persen. Setelah itu, saya sisihkan lagi untuk biaya yang bersifat wajib, misalnya biaya kebutuhan pokok, bayar air dan listrik. Baru selebihnya untuk jajan,” ujar Ilma saat dihubungi pada Senin (26/10/2020).
Tidak hanya untuk menabung, ia juga melakukan investasi. Sebesar 20 persen dari tabungan diinvestasikan untuk biaya pendidikan anak di masa depan, sedangkan 20 persen lagi untuk investasi emas, saham, dan properti.
Meningkatkan proporsi tabungan dapat dilakukan karena saat ini semua pekerjaan dilakukan dari rumah. Biaya transportasi dan keinginan untuk membeli jajanan pun menjadi berkurang sehingga bisa dialihkan untuk menambah tabungan.
”Sebenarnya dengan lebih banyak di rumah, godaan belanja makin besar karena banyak promo di marketplace. Tapi, saya dan suami untungnya menerapkan prinsip hidup minimalis juga. Kalau mau beli sesuatu jadinya tanya dulu ke diri sendiri, ini kebutuhan atau keinginan, ya?” tutur Ilma.
Menabung di masa pandemi, katanya, sangatlah penting meskipun sebenarnya, baik ada pandemi maupun tidak, menabung tetap harus dilakukan untuk menata kehidupan di masa mendatang.
”Apalagi di tengah pandemi, kita enggak pernah tahu kalau tiba-tiba karier kita harus terhenti karena perusahaan menyudahi kontrak kerja kita. Ketidakpastian di masa depan inilah yang harus kita siapkan dengan kepastian yang ada sekarang,” ucapnya.
Begitu pun yang dialami oleh Faristian (26), karyawan swasta di Bogor, yang mengatakan, kehadiran pandemi Covid-19 membuatnya dapat lebih berhemat. Sebab, pengeluaran kini difokuskan pada kebutuhan primer.
”Sejak pandemi, saya jadi jarang makan bareng teman di luar, pengeluaran untuk pakaian enggak serutin sebelum pandemi, dan biaya transportasi otomatis berkurang. Jadi, biaya-biaya tersebut dialihkan untuk menabung, dari sebelumnya 30 persen sekarang bisa menabung sampai 50 persen,” kata Faristian.
Untuk menjaga aliran keuangan, ia membuat dua rekening bank, yaitu rekening khusus untuk tabungan dan rekening untuk menerima gaji. Setelah mendapat gaji, ia pun langsung menyisihkan sebagian untuk tabungan.
”Menabung itu sangat penting karena di masa sekarang, kita enggak tahu dampaknya bakal separah apa. Satu hal yang jelas, lebih baik bersiap dengan menabung untuk kemungkinan terburuk, misalnya hilang pekerjaan atau sakit,” ujar Faristian.
Baca juga : Investasi di Kala Pandemi
Pengalaman berbeda dialami oleh Clarissa Paulina Aubrey (25). Pegawai swasta di kawasan Cibubur ini mengakui, masa pandemi membuat pengeluarannya lebih besar dibandingkan sebelumnya.
Semakin besarnya pengeluaran, kata Clarissa, disebabkan oleh kebutuhan dalam menjalankan protokol kesehatan, terlebih kini ia harus masuk kantor setiap hari. Kebutuhan tambahan itu misalnya untuk masker, hand sanitizer, makanan yang lebih higienis, dan transportasi yang lebih bersih.
”Kalau sekarang paling bisa menabung itu sekitar 20 persen dari sebelumnya 40 persen. Padahal, pengeluaran beli baju dan jajan sudah saya kurangi, tetapi ternyata ada kebutuhan lain karena pandemi,” ujarnya.
Untuk ke depan, Clarissa berencana mempelajari lebih jauh terkait bagaimana mengatur keuangan, termasuk pilihan berinvestasi. Sebab, menabung dan berinvestasi diakuinya sangat penting, khususnya di tengah ketidakpastian akibat pandemi.
Verlyta Swsilyn (35), Managing Partner at Veli & Rekan, juga mengalami pengalaman serupa. Pandemi membuat pengeluarannya semakin besar, bukan untuk hal konsumtif, melainkan untuk kebutuhan protokol kesehatan.
”Kalau dulu bawa tisu basah sudah cukup. Sekarang karena pandemi jadi ada pengeluaran tambahan, misalnya alkohol, hand sanitizer, masker, face shield, belum lagi kalau rapid test,” ujarnya.
Selain itu, untuk mempertahankan usaha, Verlyta juga harus memotong gajinya agar para karyawan tetap bisa bekerja. Akibatnya, hanya sekitar 10 persen dari pendapatannya yang kini bisa ditabung.
”Untuk saat ini, saya lebih memilih memegang uang tunai dibandingkan berinvestasi. Soalnya, saya melihat investasi di tengah pandemi juga belum menjanjikan. Jadi, lebih aman di tabungan untuk memenuhi keperluan hidup,” kata Verlyta.
”Hedonic treadmill”
Konsultan keuangan Adrian Maulana menuturkan, dalam masa pandemi, sangat penting bagi kita menyusun rencana keuangan untuk menghadapi risiko hidup. Menyusun rencana keuangan berarti menentukan skala prioritas pengeluaran.
Menurut dia, sering kali ketika pendapatan bertambah, pengeluaran pun bertambah untuk memenuhi gaya hidup. Jika demikian, berapa pun pendapatan yang dimiliki akan habis untuk membeli materi-materi yang mahal.
”Istilah hedonic treadmill itu artinya, kesenangan berbanding lurus dengan kondisi keuangan, kesuksesan, dan keadaan materi. Misalnya, saat gaji Rp 3 juta, kita senang bisa membeli motor, saat gaji bertambah Rp 5 juta, kita pun akan berpikir mengganti motor,” ujarnya.
Ciri-ciri orang yang terkena hedonic treadmill, kata Adrian, adalah memaksakan keinginan serta ingin terlihat sukses dan berkelas. Orang tersebut juga umumnya tidak mempunyai investasi dan tujuan hidup.
Untuk itu, saat menerima penghasilan setiap bulan, kita harus sisihkan yang pertama untuk kegiatan sosial (5 persen), kemudian membayar cicilan utang (maksimal 30 persen) dan menabung (minimal 15 persen). Selebihnya (50 persen) baru untuk membiayai kebutuhan harian.
”Biaya kebutuhan harian ini diletakkan paling akhir karena pada dasarnya kita bisa menyesuaikan dengan besaran dana tersebut. Misalnya, dengan uang yang ada, untuk lebih hemat kita bisa memilih makan di rumah daripada di restoran,” ujarnya.
Sementara besaran 15 persen untuk menabung dapat digunakan untuk berinvestasi. Pada dasarnya investasi harus dilakukan seumur hidup untuk memenuhi kebutuhan di masa mendatang.
Baca juga : Mengenali Penasihat Investasi dan Manajer Investasi
Adrian menegaskan, perencanaan keuangan merupakan suatu keharusan untuk menata masa depan. ”Tidak ada orang yang berencana gagal dalam hidupnya. Tapi, kenyataannya, banyak yang gagal akibat tidak punya perencanaan,” katanya.