Regulasi Sektor Energi Belum Berikan Kepastian dalam Berusaha
Setahun pemerintahan Presiden Joko Widodo di periode kedua masih menyisakan pekerjaan rumah di sektor energi. Kebijakan yang tak konsisten dan rendahnya keterbukaan menimbulkan ketidakpastian.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
KOMPAS/ARIS PRASETYO
Rombongan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan berkunjung ke unit produksi terapung di lapangan Jangkrik, Blok Muara Bakau, sekitar 70 kilometer dari garis pantai Kalimantan Timur, Minggu (11/6/2017). Lapangan ini mulai memproduksi gas sejak pertengahan Mei lalu dengan kapasitas 130 juta standar kaki kubik per hari dan akan ditingkatkan menjadi sedikitnya 450 juta standar kaki kubik per hari.
JAKARTA, KOMPAS — Regulasi yang diterbitkan pemerintah ataupun undang-undang yang dibuat Dewan Perwakilan Rakyat di sektor energi belum memberikan kepastian dalam berusaha. Transparansi dan partisipasi publik dalam penyusunan undang-undang juga sangat minim. Sementara untuk persoalan transisi energi di Indonesia disangsikan.
Hal itu mengemuka dalam seminar daring tentang Catatan Kritis Satu Tahun Periode Kedua Pemerintahan Presiden Joko Widodo di sektor energi pada Sabtu (24/10/2020). Hadir sebagai pembicara adalah Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Aryanto Nugroho, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL) Raynaldo Sembiring, dan Direktur Indonesian Parliamentary Center (IPC) Ahmad Hanafi.
Aryanto mengatakan, setahun masa kerja periode kedua Presiden Joko Widodo di sektor energi masih belum mengentaskan sektor ini ke situasi yang lebih baik. Soal regulasi, misalnya, masih memberikan nuansa ketidakpastian berusaha.
Contohnya, iklim investasi di sektor minyak dan gas bumi (migas). Ada Undang-Undang Cipta Kerja kluster migas. Sementara itu, ada pula revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas.
”Dua hal inilah yang membuat ketidakpastian berinvestasi di sektor tersebut,” ujarnya.
Soal regulasi, misalnya, masih memberikan nuansa ketidakpastian berusaha.
Rencana produksi batubara pada 2020 dan pasokan batubara di pasar dalam negeri.
Aryanto juga menyoroti kebijakan di level menteri yang mudah berubah. Terkait bagi hasil hulu migas, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menerbitkan aturan yang mewajibkan pengenaan kontrak bagi hasil berdasar produksi bruto (gross split) pada 2017. Belakangan, aturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2020 membebaskan kontraktor untuk memilih bagi hasil berskema gross split ataupun bagi hasil dengan biaya produksi yang dapat dipulihkan (cost recovery).
Hal lain yang juga bertentangan, lanjut Aryanto, adalah rencana produksi batubara. Dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, produksi batubara pada 2020 sampai 2024 meningkat. Padahal, dalam dokumen Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), produksi batubara terus diturunkan.
Sementara itu, Fabby menyoroti program hilirisasi atau peningkatan nilai tambah batubara di Indonesia. Menurut dia, rencana pemberian insentif nol persen bagi pengusaha tambang batubara yang mengembangkan hilirisasi harus disertai pertimbangan matang. Pasalnya, royalti adalah sumber penerimaan negara dan daerah penghasil tambang batubara.
”Kebijakan royalti nol persen bisa mengurangi porsi dana bagi hasil (DBH) untuk daerah penghasil tambang batubara. Padahal, daerah tersebut sangat bergantung pada DBH sebagai pembiayaan APBD,” katanya.
Rencana pemberian insentif nol persen bagi pengusaha tambang batubara yang mengembangkan hilirisasi harus disertai pertimbangan matang.
Fabby juga mengingatkan kebijakan produksi batubara pemerintah yang bakal kontraproduktif di masa mendatang. Di era pesatnya pertumbuhan energi terbarukan di berbagai dunia, permintaan batubara bakal merosot dan ada potensi harganya jatuh. Dalam kurun 10 tahun ke depan, membangun pembangkit listrik dari energi terbarukan akan lebih murah ketimbang membangun pembangkit listrik tenaga uap yang membakar batubara.
KOMPAS/MUKHAMAD KURNIAWAN
Ilustrasi. Kapal pengangkut batubara menurunkan batubara di dermaga pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang dikelola PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB) Unit Pembangkit Paiton 1-2 di Probolinggo, Jawa Timur, Jumat (22/3/2019). Inovasi PJB menurunkan kalori batubara dinilai sukses menekan ongkos produksi listrik. Di usianya yang ke-25, PLTU Paiton unit 1-2 menjadi salah satu pembangkit dengan tingkat gangguan terendah.
Dari sisi lingkungan akibat operasi tambang, menurut Raynaldo, pemerintahan Joko Widodo juga menyisakan masalah. Kewajiban pengurusan izin lingkungan diabaikan. Selain itu, penegakan hukum di sektor sumber daya alam masih lemah.
”Dalam hal tata kelola, ada masalah transparansi dan rendahnya partisipasi publik dalam pembuatan regulasi atau undang-undang,” ujarnya.
Hal yang sama disampaikan Ahmad. Kuatnya pemerintahan sekarang, yang juga dukungan dominan di parlemen, membuat aspek keterbukaan dan akuntabilitas dalam penyusunan kebijakan menjadi rendah. Situasi tersebut menyebabkan kontrol publik juga lemah.
”Pemerintah semestinya membuka ruang diskusi bagi publik untuk menampung partisipasi masyarakat ketika kebijakan disusun,” kata Ahmad.