Standar Sertifikasi Halal Perlu Dibenahi
Pemerintah menargetkan menjadi produsen produk halal terbesar di dunia. Untuk kepentingan ini, pemerintah membenahi standar sertifikasi halal agar sertifikasi di Indonesia diterima di semua negara tujuan ekspor.
JAKARTA, KOMPAS — Peluang untuk menjadi produsen produk halal terbesar di dunia terbuka lebar untuk Indonesia. Namun, selain menguatkan ekosistem industri halal, sertifikasi halal di Indonesia perlu distandardisasi supaya diterima secara global.
Indonesia menargetkan menjadi global halal hub pada 2024. Pasarnya masih terbuka dan besar. Negara-negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) yang terdiri atas 57 negara saat ini mencakup populasi 1,86 miliar jiwa atau 24,1 persen populasi dunia. Belum lagi, warga pemeluk Islam di luar negara OKI, seperti India dan Etiopia.
Pada 2030, jumlah penduduk Muslim dunia diperkirakan meningkat menjadi 2,2 miliar jiwa. Apalagi tingkat kesadaran beragama di negara Muslim berkisar 76,3 persen dan pengaruh nilai-nilai agama pada gaya hidup sekitar 96 persen, hal itu menambah peluang ekspor produk halal.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin meyakini Indonesia bisa menjadi konsumen produk halal terbesar di dunia.
Potensi pasar produk halal tersebut perlu diraih. Dengan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang ada, Wakil Presiden Ma’ruf Amin meyakini Indonesia bisa menjadi konsumen produk halal terbesar di dunia.
”Indonesia memiliki peluang yang besar sebagai negara produsen dan pengekspor produk halal terbesar di dunia,” kata Wapres Ma’ruf Amin dalam seminar daring bertajuk ”Indonesia Menuju Pusat Produsen Halal Dunia”, Sabtu (24/10/2020).
Acara yang diselenggarakan Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) ini juga menghadirkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Perdagangan Agus Suparmanto, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, dan Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan P Roeslani.
Kenyataannya, sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia saat ini masih menjadi konsumen produk halal terbesar saja. Pada tahun 2018, Indonesia membelanjakan 214 miliar dollar AS untuk produk halal atau 10 persen dari pangsa produk halal dunia
”Indonesia selama ini hanya menjadi konsumen dan ’tukang stempel’ untuk produk halal yang diimpor,” tambah Wapres Amin.
Ekspor produk halal Indonesia masih relatif rendah. Kendati kinerja perdagangan Indonesia dengan negara-negara OKI masih surplus saat ini, Menteri Perdagangan Agus Suparmanto menyebutkan Indonesia belum maksimal berperan sebagai kiblat produk halal dunia.
Pengekspor terbesar untuk produk makanan di negara-negara OKI saat ini adalah Brasil dengan pangsa pasar 10,51 persen, Thailand 8,15 persen, Turki 5,5 persen, India 5,5 persen, dan China 4,97 persen. Indonesia di posisi ke-20 dengan pangsa pasar 1,86 persen.
Untuk produk kosmetik, Perancis menjadi pengekspor terbesar di negara-negara OKI dengan pangsa pasar 17,38 persen, Amerika Serikat 7,57 persen, Jerman 7,05 persen, Italia 5,5 persen, China 5,08 persen, sedangkan Indonesia di posisi ke-23 dengan 1,41 persen.
Pada ekspor produk obat-obatan ke negara-negara OKI, Indonesia malah di posisi ke-48 dengan pangsa pasar 0,12 persen. Pangsa ekspor produk obat terbesar dikuasai Jerman dengan 13,84 persen, Perancis 13,58 persen, Swiss 9,47 persen, India 7,86 persen, dan Amerika Serikat 6,93 persen.
Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan P Roeslani mencatat salah satu tantangan dalam pengembangan industri halal Indonesia terkait standar halal. Ini yang memberi nilai tambah dan daya saing pada produk Indonesia.
”Bagaimana standar halal di Indonesia bisa diterima di tingkat global. Jepang, misalnya, menggunakan standar halal Malaysia. Ini yang harus kita dorong agar standardisasi Indonesia bisa diterima di seluruh dunia,” tutur Rosan.
Agus Suparmanto juga menyebutkan harapan supaya sertifikasi halal di Indonesia diterima di semua negara tujuan ekspor. Jika sertifikasi halal Indonesia tidak diterima, pelaku usaha perlu meresertifikasi di negara lain. Ini berdampak tingginya harga produk Indonesia dan melemahkan daya saing.
Bagaimana standar halal di Indonesia bisa diterima di tingkat global. Jepang, misalnya, menggunakan standar halal Malaysia. Ini yang harus kita dorong agar standardisasi Indonesia bisa diterima di seluruh dunia. (Rosan P Roeslani)
Dalam sambutannya, Wapres Amin juga menyebutkan sertifikasi halal produk ekspor harus diimplementasikan secara kuat. Karena itu, prosesnya harus mudah dan sistemnya harus efisien, efektif, serta berkualitas tinggi.
Salah satu caranya dengan membangun penelusuran (traceability) produksi dari produk-produk halal Indonesia, mulai dari bahan mentah, ke produk setengah jadi, sampai produk jadi yang siap pakai.
”Traceability ini baru dapat terlaksana melalui aksi nyata dengan sinergi dari semua pihak yang terlibat dalam halal supply chain. Karena itu, ketersediaan sistem jaminan produk halal harus meliputi proses produksi, pengemasan, penyimpanan, pengangkutan, baik laut, darat, maupun udara, dan jaringan pemasaran yang mengikuti standar sistem jaminan halal,” tambah Wapres Amin.
Kawasan industri halal
Pemerintah juga memiliki beberapa strategi untuk menguatkan ekonomi dan keuangan syariah. Secara umum, fokus saat ini adalah pengembangan industri produk halal, pengembangan industri keuangan syariah, pengembangan dana sosial syariah, serta pengembangan dan perluasan kegiatan usaha syariah.
Untuk mendorong industri produk halal, dibentuk kawasan-kawasan industri halal atau zona halal di kawasan industri yang sudah ada. Saat ini dua kawasan sudah ditetapkan sebagai kawasan industri halal, yakni Modern Cikande Industrial Estate di Serang, Banten, seluas 500 hektar dan SAFE n LOCK Halal Industrial Park di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, seluas 100 hektar.
Kawasan industri halal ini harus menjadi bagian dari ekosistem industri halal nasional dan internasional.
Sebanyak enam lainnya sedang mengajukan permohonan sebagai kawasan industri halal. Keenam wilayah itu antara lain Bintan Inti Industrial Estate di Pulau Bintan, kawasan Industri Batamindo di Pulau Batam, Kawasan Industri Surya Borneo di Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, dan kluster di kawasan industri Pulogadung, DKI Jakarta. Wapres Amin pun meminta Menteri Perindustrian segera memproses pengajuan tersebut.
Kawasan industri halal ini harus menjadi bagian dari ekosistem industri halal nasional dan internasional. Untuk itu, disiapkan insentif dan regulasi bagi industri produk halal yang terintegrasi di dalam kawasan ekonomi khusus.
Baca juga : Ekosistem Topang Penetrasi Syariah
Sejauh ini, menurut Sri Mulyani, dukungan berupa insentif fiskal dan nonfiskal disiapkan untuk mendorong industri halal berdaya saing, menembus pasar ekspor, serta mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Beberapa instrumen fiskal yang disiapkan adalah PPh 22 Impor yang mengurangi impor barang konsumsi, instrumen de minimus yang melindungi produk dalam negeri, serta tax holiday, tax allowance, dan super deduction untuk pelatihan vokasi serta penelitian dan pengembangan di kawasan industri khusus. Selain itu, pengurangan PPN untuk barang modal, pelayanan kesehatan dan pendidikan, pelayanan sosial, serta jasa ekspor.
Selain membangun kawasan-kawasan industri khusus, Kementerian Keuangan melalui Lembaga Pembiayaan Ekspor Impor mendukung pembiayaan dan promosi untuk industri nasional.
Sistem pengelolaan informasi yang terintegrasi, menurut Wapres Amin, juga diperlukan. Karena itu, sertifikasi produk halal dengan data perdagangan dan data ekonomi bisa dikodifikasi secara terintegrasi. Untuk itu, koordinasi Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Badan Pusat Statistik, Majelis Ulama Indonesia, dan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal menjadi penting.
Pemberdayaan UMKM
Pengembangan industri halal sekaligus menjadi pengungkit untuk mendorong usaha syariah skala mikro, kecil, dan menengah. Karena itu, menurut Wapres Amin, pusat-pusat inkubasi usaha halal dan pusat bisnis syariah di sejumlah daerah sebagai pusat pembinaan dan penyemaian perlu dibangun.
Untuk UMKM ini, tambah Sri Mulyani, dukungan pembiayaan disiapkan, mulai kredit untuk usaha supermikro dengan plafon di bawah Rp 10 juta, KUR untuk usaha kecil berplafon Rp 500 juta-Rp 2 miliar, hingga KUR untuk pelaku usaha menengah dengan plafon maksimal Rp 15 miliar. KUR bertenor tiga tahun dan ada juga pembiayaan kembali untuk investasi dengan tenor maksimal tiga tahun.
Pusat-pusat inkubasi usaha halal dan pusat bisnis syariah di sejumlah daerah sebagai pusat pembinaan dan penyemaian perlu dibangun.
Tahun 2020 disiapkan alokasi Rp 190 triliun untuk KUR. Tahun depan, alokasi ditambah menjadi Rp 230 triliun.
Selain itu, UMKM bisa mendapatkan sertifikasi halal tanpa biaya. ”Kami sedang susun PMK (peraturan Menteri Keuangan)-nya sesuai Undang-Undang Cipta Kerja,” tambah Sri Mulyani.
Digabung
Pengembangan industri keuangan syariah dilakukan dengan memperkuat kelembagaan keuangan syariah dalam negeri. Pemerintah, kata Wapres Amin, merencanakan menggabungkan tiga bank syariah yang dimiliki oleh Himbara, yaitu Bank Syariah Mandiri, BRI Syariah, dan BNI Syariah.
Proses penggabungan telah dimulai dengan penandatanganan conditional merger agreement (CMA). Dengan demikian, diharapkan bank syariah baru itu akan beroperasi penuh pada Februari 2021.
Penggabungan ini akan membuat bank syariah yang baru memiliki aset sekitar Rp 225 triliun dengan 1.200 kantor cabang di seluruh pelosok Tanah Air. ”Diperkirakan pada tahun 2025 asetnya menjadi Rp 390 triliun sehingga mampu bersaing secara kompetitif di tingkat gobal,” tambah Wapres Amin.