Perwakilan pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja dalam forum tripartit belum menyepakati sejumlah isu dalam rancangan peraturan turunan RUU Cipta Kerja di rumpun ketenagakerjaan.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perwakilan unsur pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja dalam forum tripartit belum menyepakati sejumlah isu dalam rancangan peraturan turunan RUU Cipta Kerja di rumpun ketenagakerjaan. Kebuntuan itu berkisar di isu krusial, seperti ketentuan jangka waktu pekerja kontrak, batas jenis pekerjaan alih daya, serta ketentuan formulasi upah minimum.
Sejauh ini ada dua rancangan peraturan pemerintah (RPP) turunan yang dibahas forum tripartit dalam rapat beberapa hari terakhir. Keduanya adalah RPP tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja Waktu Istirahat, Pemutusan Hubungan Kerja serta RPP tentang Pengupahan.
Pihak yang terlibat dalam pembahasan adalah Kementerian Ketenagakerjaan dari unsur pemerintah, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dari unsur pengusaha, serta empat konfederasi dan serikat buruh dari total 10 konfederasi dan serikat yang diundang hadir.
Wakil Presiden Dalam Negeri Serikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) Sukitman Sudjatmiko, Jumat (23/10/2020), mengatakan, diskusi antara pengusaha dan buruh mengalami kebuntuan dalam isu jangka waktu pekerja kontrak atau perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT). Isu ini termasuk salah satu isu krusial dalam tuntutan buruh sejak awal pembahasan RUU Cipta Kerja.
Unsur buruh menginginkan ketentuan itu kembali ke Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yakni pekerja dikontrak maksimal 3 tahun dan tidak bisa diperpanjang. ”Jika pekerja masih diperlukan, ia harus diangkat jadi pekerja kontrak untuk waktu tidak tertentu (PKWTT) atau pekerja tetap. Harus ada perlindungan batasan waktu agar pekerja tidak terus-menerus dikontrak,” katanya.
Sebaliknya, unsur pengusaha ingin agar jangka waktu kontrak diperpanjang jadi maksimal 5 tahun. Jika setelah 5 tahun pekerja yang bersangkutan masih dibutuhkan, kontraknya bisa diperpanjang lagi sampai pekerjaannya tuntas. Berhubung diskusi tripartit itu belum mencapai kesepakatan, rapat dihentikan dan baru akan diteruskan pekan depan.
Pengusaha dan buruh juga tidak sepakat pada isu batasan jenis pekerjaan yang bisa dialihdayakan (outsource). Unsur pengusaha ingin ketentuan itu tidak dibatasi sama sekali, sementara buruh berkukuh batasan antara jenis pekerjaan utama (core business) dan tidak utama (non-core business) harus diatur dengan detail dalam RPP.
”Pemerintah dulu sempat mengatakan bahwa batasan itu akan diatur di PP (peraturan pemerintah). Tetapi, ternyata, di draf RPP, batasan itu hilang. Kami ingin itu tetap ada batasan agar pekerjaan yang bisa dialihdayakan tidak semakin merajalela,” katanya.
Batasan jangka waktu kontrak dan jenis pekerjaan yang bisa dialihdayakan dinilai penting karena selama ini pekerja kontrak dan pekerja alih daya umumnya tidak mendapat hak perlindungan dan jaminan sosial ketenagakerjaan yang sama dengan pekerja tetap.
Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani mengatakan, perlindungan untuk pekerja kontrak sebenarnya sudah diakomodasi dalam RUU Cipta Kerja melalui aturan kompensasi bagi pekerja yang berakhir masa kontraknya. Selama ini pengusaha enggan mengangkat pekerja kontrak jadi pekerja tetap karena khawatir akan biaya pesangon yang mahal saat terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK).
”Kenapa selama ini banyak pekerja dikontrak? Karena biaya pesangon terlampau mahal untuk pekerja tetap yang di-PHK. Dengan kompensasi, pekerja kontrak juga mendapat perlindungan. UU Ketenagakerjaan yang lalu justru membuat perusahaan semakin enggan mengangkat karyawan tetap,” katanya.
Adu masukan
Isu lain yang masih menjadi perdebatan dalam penyusunan rancangan peraturan turunan adalah formulasi upah minimum. Ketentuan mengenai pengupahan ini akan merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan yang saat ini masih berlaku.
Salah satu poin yang mengemuka, unsur buruh ingin agar upah minimum sektoral provinsi dan kabupaten/kota tidak dihapus. Dalam RUU Cipta Kerja, ketentuan upah minimum tidak menyebutkan adanya upah minimum sektoral. RUU hanya mengatur tentang kewajiban gubernur menetapkan upah minimum provinsi (UMP) dan upah minimum kabupaten/kota (UMK) yang tidak wajib dan sifatnya bersyarat.
Unsur buruh ingin agar upah minimum sektoral provinsi dan kabupaten/kota tidak dihapus.
Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi mengatakan, rancangan PP ditargetkan rampung paling lambat akhir November 2020. Pemerintah di bawah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian akan membuat satuan tugas dan posko untuk menampung aspirasi publik terkait penyusunan RPP.
”Kami menerima banyak masukan, baik tertulis maupun lisan. Agar masukan itu bisa dikelola dengan baik, kami sepakat membuka posko dan membentuk satgas,” kata Anwar yang memegang satgas terkait rumpun ketenagakerjaan.
Terkait mekanisme penampungan aspirasi, ia mengatakan, semua masukan akan dibawa dalam rapat-rapat penyusunan draf RPP. Anwar tidak bisa menjamin masukan pasti diakomodasi karena setiap masukan itu akan diadu lagi dengan masukan lain. ”Kalau masukannya sama, tinggal dimasukkan. Tetapi, kalau berbeda, itu yang harus diuji,” katanya.
Ia menegaskan, dalam penyusunan RPP, ada ketentuan bahwa norma dalam peraturan pelaksana tidak boleh melebihi ketentuan yang sudah tertulis dalam undang-undang. Oleh karena itu, sebelum menampung masukan, ada aspek-aspek tertentu yang harus diperhatikan saat menyusun RPP.
”Kita bayangkan dari aspek pelaksanaannya, bagaimana kira-kira dampaknya terhadap lembaga yang harus menjalankan regulasi itu dan kepada kelompok masyarakat yang akan menerima dampaknya. Semua diukur dengan metode penilaian berbasis risiko,” kata Anwar.