Madu Kelulut, Alternatif Mata Pencarian Petambang Liar
Perhutanan sosial di Kalteng menjadi salah satu tumpuan menjaga hutan dengan cara menyejahterakan masyarakat yang hidup di sekitar hutan. Salah satunya dengan budidaya lebah kelulut.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PULANG PISAU, KOMPAS — Masyarakat Desa Tambak, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, mulai membudidaya lebah kelulut (Trigona SPP) sebagai alternatif mata pencarian. Desa yang sebagian besar warganya merupakan petambang emas liar itu perlahan mulai beralih sejak hutan di dekat desa mereka terjaga.
Sejak tahun 2016, masyarakat Desa Tambak mendapatkan izin untuk mengelola kawasan hutan mereka melalui skema hutan desa pada program perhutanan sosial langsung dari Presiden Joko Widodo. Sejak saat itu, banyak manfaat hutan desa yang perlahan dirasakan masyarakat.
Sekretaris Desa Tambak Mujianto menjelaskan, hutan desa mereka memiliki luas 590 hektar yang jaraknya dari desa sejauh 20-30 kilometer. Untuk ke hutan desa itu, masyarakat ataupun pengunjung harus menyeberangi Sungai Kahayan.
Sejak surat keputusan hutan desa itu diberikan, lanjut Mujianto, masyarakat langsung mengelolanya dengan membagi kawasan tersebut menjadi beberapa bagian, antara lain kawasan lindung, pengelolaan hasil hutan bukan kayu, dan bagian lainnya.
”Hutan itu selama ini jarang didatangi orang karena memang dibiarkan tertutup. Sekarang karena sudah ada izinnya, kami kelola, tetapi bukan dengan mengubahnya jadi kebun. Sayang pohon-pohonnya, apalagi banyak orangutan di dalam,” kata Mujianto di desanya, Kabupaten Pulang Pisau, Sabtu (24/10/2020).
Mujianto menjelaskan, untuk mengelola hutan desa itu terdapat lima kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS), yaitu KUPS Eko Wisata, KUPS Tanaman Obat, KUPS Budidaya Madu, KUPS Kerajinan, dan KUPS Agroforestri. Setiap anggota kelompok itu merupakan masyarakat dari Desa Tambak saja.
Karena hutan desanya jauh dari desa, kami menyiasati dengan membawa sarang madu itu ke kampung sehingga bisa terus dipantau. (Mujianto)
KUPS Budidaya Madu, menurut Mujianto, menjadi salah satu kelompok usaha yang paling maju dan sudah berpenghasilan. Mereka setidaknya memiliki 30 stup atau rumah madu buatan mereka sendiri di hutan sekunder di belakang kampung.
Menyiasati
”Karena hutan desanya jauh dari desa, kami menyiasati dengan membawa sarang madu itu ke kampung sehingga bisa terus dipantau,” ungkap pria berumur 43 tahun tersebut.
Mujianto menjelaskan, budidaya madu di desanya bisa terealisasi atas bantuan banyak pihak, seperti Yayasan Borneo Nature Foundation (BNF) dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) dari Dinas Kehutanan Provinsi Kalteng. Para pihak membantu membuat pelatihan hingga anggaran untuk pelaksanaan usaha tersebut.
Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Tambak Afendi (52) mengungkapkan, usaha madu kelulut dipilih karena memang merupakan salah satu potensi terbesar yang ada di hutan desa.
Setelah diberi pelatihan, masyarakat jadi memahami cara membudidaya dan memanen madu kelulut yang sarangnya tidak menggantung, tetapi masuk ke dalam rongga-rongga batang pohon.
Dari pantauan Kompas, di lokasi budidaya, masyarakat menggunakan batang pohon bekas untuk sarang lebah kelulut. Di bagian atas batang dibuat rumah lebag dengan bentuk persegi. Di rumah itu lapisan atas ditutup plastik yang ketika saat panen dibuka dan di dalamnya terdapat rumah-rumah lebah. Meskipun mendekat, lebah ini tidak sembarangan menyerang orang, bahkan ketika disentuh sekalipun.
Rumah rongga
Afendi menggunakan alat suntik yang bagian jarumnya diganti dengan selang kecil untuk mengisap madu dari rumah-rumah berongga. Untuk memanen, mereka juga menggunakan alat pemotong untuk membuka rumah lebah kelulut.
Setiap satu pohon bisa diisi dua koloni sehingga bisa menghemat penggunaan kayu. Mereka juga tidak menebang kayu untuk membuat sarang baru, melainkan menggunakan kayu bekas.
Satu rumah lebah yang mereka buat bisa menghasilkan 200 mililiter madu kelulut yang rasanya manis, tetapi terdapat aroma soda. Dalam setahun mereka bisa memanen hingga dua kali, lalu dijual dengan harga Rp 60.000 per kemasan 100 mililiter.
”Ini sudah ada pelanggannya, lumayan penghasilannya. Tetapi, pemasarannya harus dikembangkan lagi,” ungkap Afendi.
Dimelson Dais (66), warga Tambak, mengungkapkan, sejak ada budidaya lebah kelulut, banyak anak muda yang sebelumnya masih mencari emas perlahan mulai meninggalkan aktivitas itu. Mereka sibuk memindahkan koloni lebah dari satu rumah ke rumah lainnya.
Menurut dia, budidaya lebah kelulut menjadi alternatif baru bagi penduduk di Desa Tambak yang sebagian besar merupakan petambang liar. Kampung yang berjarak 59 kilometer dari Kota Palangkaraya itu memang berada di pinggir Sungai Kahayan. Sepanjang perjalanan masih banyak petambang liar.
”Memang susah mengubah pencarian utama mereka, tetapi pelan-pelan saja. Kalau hasilnya banyak, dengan sendirinya yang lain bakal ikut,” ungkap Dimelson.