Definisi usaha mikro, kecil, dan menengah yang belum jelas di RUU Cipta Kerja berpotensi menimbulkan sejumlah risiko. Salah satu risiko di aspek ketenagakerjaan adalah terkait pengupahan.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Definisi usaha mikro, kecil, dan menengah dalam Undang-Undang Cipta Kerja dinilai terlalu melebar dan masih membingungkan. Hal ini berpotensi menimbulkan risiko karena kepastian definisi akan berimbas pada insentif yang didapatkan di masing-masing segmen.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Media Wahyudi Askar, Kamis (22/10/2020), berpendapat, mengacu perspektif di negara-negara lain, kriteria tiap segmen; mikro, kecil, dan menengah, sedapat mungkin harus dapat diukur.
”Artinya, ada threshold (ambang batas) yang sifatnya kuantitatif, kapan usaha itu dikategorikan mikro, kecil, dan menengah,” kata Media pada serial diskusi dalam jaringan Indef bertema Mencermati Arah UMKM dan Koperasi dalam UU Cipta Kerja.
Sebagai perbandingan, Pasal 6 Undang-Undang 20 Tahun 2008 tentang UMKM mengatur kriteria usaha di tiap segmen mikro, kecil, dan menengah berdasarkan batasan maksimal kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan. Batasan maksimal itu disebutkan secara pasti nominalnya.
Akan tetapi, di Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja, kriteria UMKM disebutkan dapat memuat modal usaha, omzet, indikator kekayaan bersih, hasil penjualan tahunan, atau nilai investasi, insentif dan disinsentif, penerapan teknologi ramah lingkungan, kandungan lokal, atau jumlah tenaga kerja sesuai dengan kriteria setiap sektor usaha.
Menurut Media, ada potensi risiko atau masalah ketika nanti peraturan pemerintah sebagai turunan UU Cipta Kerja tidak dapat mendefinisikan tiap segmen UMKM dengan baik.
Beberapa pasal di UU Cipta Kerja yang dinilai berisiko tinggi, antara lain, terkait aspek regulasi tenaga kerja. Pasal 81 menyebutkan ketentuan upah minimum dikecualikan bagi usaha mikro dan kecil.
Upah pada usaha mikro dan kecil ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh di perusahaan. ”Masalahnya ada pada definisi usaha mikro dan kecil yang belum jelas. Tapi, apa pun nanti kategorisasinya, pasal ini akan berdampak sangat signifikan terkait perubahan struktur ketenagakerjaan,” kata Media.
Menurut dia, aturan baru jangan sampai merugikan buruh atau tenaga kerja di usaha mikro dan kecil yang selama ini sebagian di antaranya tidak ada masalah terkait upah minimum. Dampak pengecualian ketentuan upah minimum pada usaha mikro dan kecil bagi para buruh juga harus mendapat perhatian.
Ketua Umum DPP Himpunan Pengusaha Mikro dan Kecil Indonesia (Hipmikindo) Syahnan Phalipi, beberapa waktu lalu, mengatakan, kebijakan pengupahan di usaha mikro dan kecil seharusnya memang dibedakan dengan di perusahaan besar.
Apalagi, banyak pelaku usaha mikro dan kecil yang merasa berat ketika harus memenuhi ketentuan upah minimum. ”Di usaha mikro kecil dapat dijumpai ada pekerja yang tidak mempermasalahkan ketika dibayar tidak sesuai UMP. Bagi mereka, yang penting tetap bisa bekerja,” kata Syahnan.
Apalagi, pelaku usaha mikro kecil yang tidak mampu membayar pegawainya sesuai UMP pun ada yang kemudian berupaya sedikit membantu dengan berbagai cara. Misalnya, mereka menanggung uang makan pekerjanya. Atau, di beberapa kasus, juga ada yang memberi tumpangan tempat tinggal, meskipun sederhana, bagi pekerjanya.
Secara terpisah, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menkop UKM) Teten Masduki menyatakan, UU Cipta Kerja memberikan berbagai dukungan bagi pelaku koperasi dan UMKM. Beberapa hal yang diatur dalam UU Cipta Kerja akan didetailkan dalam PP.
UU Cipta Kerja mewajibkan pemerintah pusat dan daerah mengalokasikan minimal 40 persen produk/jasa usaha mikro dan kecil serta koperasi dan hasil produksi dalam negeri dalam pengadaan barang/jasa.
”Advokasi kebijakan sudah kami lakukan, tinggal mengimplementasikannya,” kata Teten pada seminar dalam jaringan bertajuk ”Digitalisasi Pengadaan Barang/Jasa, Efektifkah dalam Mencegah Korupsi”, Kamis (22/10/2020).
UU Cipta Kerja, antara lain, mewajibkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah mengalokasikan paling sedikit 40 persen produk/jasa usaha mikro dan kecil serta koperasi dan hasil produksi dalam negeri dalam pengadaan barang/jasa.