Batik merupakan budaya nasional yang nilainya diukur dari keahlian dan keterampilan pembatik.
Oleh
SHARON PATRICIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagai industri kreatif, industri batik membutuhkan para pembatik yang memiliki kompetensi untuk memproduksi corak batik berkualitas. Peningkatan kualitas pembatik pun menjadi kunci utama dalam menghasilkan batik unggulan.
Data Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Industri Kementerian Perindustrian (BPSDMI Kemenperin) menunjukkan, pada periode 2017-2020, sebanyak 2.895 orang telah dilatih membatik. Mereka dilatih di balai pendidikan dan pelatihan industri, antara lain di Jakarta (1.635 orang) dan di Padang (295 orang).
Selain itu, tersedia juga Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia di bidang batik dengan 60 unit kompetensi. Dalam periode waktu yang sama, ada sebanyak 3.228 orang di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta yang sudah tersertifikasi untuk kompetensi membatik.
Sekretaris BPSDMI Kemenperin Yulia Astuti menyampaikan, tidak hanya diberikan pelatihan membatik, para peserta juga dibekali bagaimana melakukan pengemasan untuk pemasaran. Program pengembangan kompetensi pembatik dinilai penting untuk menjaga dan melestarikan warisan budaya.
”Beberapa riset memang menjelaskan revolusi industri 4.0 akan berdampak tergantinya pekerja dengan robot. Namun, saya yakin industri batik tidak mungkin luntur oleh otomatisasi karena batik merupakan budaya nasional yang nilainya diukur dari keahlian atau kompetensi pembatiknya,” kata Yulia, Jumat (23/10/2020).
Pemaparan industri batik ini disampaikan dalam webinar bertemakan ”Knowledge Sharing: Membangun Kompetensi Pembatik”. Acara ini merupakan rangkaian kegiatan Hari Batik Nasional 2020, Kreasi Tiada Henti.
Lebih lanjut, Yulia menjelaskan, BPSDMI saat ini dalam proses membangun Pusat Inovasi Digital Industri (PIDI) 4.0 yang nantinya akan menjadi pusat informasi bagi industri untuk bertransformasi dan beradaptasi, mulai dari pusat pemasaran, pengembangan kapabilitas, perluasan jaringan, pendampingan industri, hingga pusat inovasi.
”Saat ini, pelaksanaan fungsi PIDI 4.0 secara bertahap sudah dibangun dengan mengembangkan jaringan satelit inovasi pusat digital, salah satunya ada scanner batik sebagai inovasi untuk mengecek orisinalitas batik. PIDI 4.0 direncanakan mulai beroperasi pada 2021 yang berlokasi di Permata Hijau, Jakarta Selatan,” kata Yulia.
Kepala Balai Besar Kerajinan dan Batik (BBKB) Kemenperin Titik Purwati Widowati menyampaikan, pemanfaatan teknologi dalam industri batik harus dipastikan tidak melunturkan budaya lokal yang terkandung dalam batik. Penerapan teknologi ditujukan untuk efisiensi dan efektivitas dalam proses produksi batik.
”Penggunaan teknologi harus memberikan dampak positif, yaitu kinerja produksi meningkat dan budaya tetap terjaga. Ini merupakan tantangan, tetapi sekaligus akan memberikan nilai tambah terhadap nilai-nilai keterampilan pembatik,” kata Titik.
Strategi
Kepala Bidang Pengembangan Jasa Teknik BBKB Heri Pramono menilai, salah satu kelemahan dalam aspek proses produksi batik adalah tidak semua industri batik memiliki tahapan produksi yang jelas dan standar kualitas yang baku. Akibatnya, tidak ada standar kualitas yang harus dipenuhi, ditambah dengan kualitas kontrol yang lemah.
”Jika industri batik akan memperluas cakupan pasar ke tingkat nasional dan orientasi ekspor, tentu aspek quality control harus mendapatkan prioritas. Maka, perlu ada strategi dalam peningkatan kompetensi pembatik,” kata Heri.
Titik sentral keberhasilan usaha industri batik berbasis bahan baku lokal adalah pembatiknya. Pembinaan yang berkelanjutan dan berkesinambungan pun sangat diperlukan, mulai dari usaha input, proses, sampai penjualan kepada konsumen.
Sementara di bidang manajemen, strategi yang dapat dilakukan adalah dengan mengadakan penyuluhan dan pelatihan. Pendampingan juga perlu dilakukan terkait dengan manajemen dan perencanaan usaha, administrasi atau pembukuan, dan permodalan.
”Dalam bidang pemasaran, strategi dapat dilakukan dengan mendampingi proses Sertifikasi Batik Mark. Sertifikasi ini merupakan tanda untuk menunjukkan identitas dan ciri batik buatan Indonesia, yang terdiri dari batik tulis, cap, dan kombinasi,” ujar Heri.
Ketua III Paguyuban Pecinta Batik Indonesia Sekar Jagad, Afif Syakur, menyampaikan, batik tidak lepas dari proses desain untuk menghasilkan karya bernilai tambah. Untuk merencanakan produk batik baru, akan ada tiga pertanyaan yang harus terjawab.
”Apakah desain konsep tersebut bisa direalisasi dan dibuat dalam suatu produk batik? Apakah setelah menjadi produk batik akan memiliki nilai jual, daya saing, dan sesuai sasaran? Dan, apakah produk batik yang dihasilkan merupakan produk unggulan?” tutur Afif.
Melalui pertanyaan-pertanyaan tersebut, kata Afif, produk batik yang dihasilkan akan memiliki daya saing. Sebab, batik sudah bukan milik Indonesia, tetapi Malaysia, China, India, bahkan Afrika sudah mengenal teknik batik, yang berarti persaingan akan lebih kompetitif.