Presiden bisa mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang terkait RUU Cipta Kerja.
Oleh
Agnes Theodora
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Langkah pemerintah membuka ruang aspirasi dan masukan publik dalam menyusun rancangan peraturan turunan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dinilai terlambat. Presiden Joko Widodo diharapkan mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang untuk membatalkan RUU Cipta Kerja.
Penilaian itu datang dari sejumlah kelompok masyarakat yang akan mengalami dampak penerapan RUU Cipta Kerja. Penolakan terhadap substansi RUU yang bermasalah juga datang dari kelompok petani dan nelayan kecil.
Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Saragih, Jumat (23/10/2020), berpendapat, gagasan pemerintah untuk membentuk satuan tugas yang akan menampung dan menjaring masukan masyarakat terkait isi RUU Cipta Kerja terlambat. RUU sapu jagat yang disusun dengan mekanisme omnibus law itu sudah disahkan dan menunggu diundangkan.
Lagi pula, saat ini proses pembahasan rancangan peraturan turunan sudah berlangsung di sejumlah kementerian/lembaga. ”Itu ide bagus, tetapi eksekusinya terlambat. Seharusnya langkah ini dilakukan sejak awal untuk semua kluster,” katanya saat dihubungi.
Elly menilai, pemerintah mengambil langkah itu untuk meredam gejolak penolakan RUU Cipta Kerja oleh masyarakat. Namun, ia pesimistis prosesnya akan sesuai harapan publik.
”Masalahnya sudah jelas, sejak awal sudah kami sampaikan lewat berbagai forum. Dari lobi-lobi, forum tripartit, draf RUU alternatif, sampai lewat aksi di jalan,” ujar Elly.
Menurut dia, kelompok buruh sudah kehilangan rasa percaya. Forum tripartit dengan pengusaha dan pemerintah untuk membahas rancangan peraturan turunan dalam sepekan terakhir sudah tidak lagi dihadiri mayoritas konfederasi dan serikat buruh.
Kelompok buruh sudah kehilangan rasa percaya.
Wakil Presiden Dalam Negeri Serikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) Sukitman Sudjatmiko, salah satu serikat buruh yang masih bertahan di forum tripartit, berpandangan serupa. Menurut dia, langkah pemerintah ini hanya untuk ”meninabobokan” publik yang saat ini sedang kecewa.
Sukitman menilai, ruang masukan publik sangat terbatas karena rancangan peraturan turunan bersifat wajib sesuai amanat RUU Cipta Kerja. ”Poin-poin yang harus diatur di peraturan turunan sudah ditetapkan di RUU. Jadi, percuma membuat satuan tugas dan membuka layanan masukan masyarakat. Bisa saja ditampung, tetapi saya tidak yakin akan dilaksanakan,” ujarnya.
Perppu
Wakil Ketua Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia Jumisih mengatakan, Presiden dapat mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk membatalkan RUU Cipta Kerja. Sebab, substansi yang bermasalah di RUU bukan hanya kluster ketenagakerjaan, melainkan juga kluster lain yang bisa berdampak pada kelompok masyarakat lain. ”Kami tidak akan mengajukan uji materi dan formil ke Mahkamah Konstitusi. Kami masih menuntut Presiden untuk mengeluarkan perppu untuk membatalkan RUU Cipta Kerja,” katanya.
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih mengatakan, persoalan RUU Cipta Kerja bukan pada ranah operasional yang bisa diperbaiki lewat rancangan peraturan turunan. Namun, persoalannya ada pada norma substansial yang sudah telanjur diatur dalam RUU Cipta Kerja.
”Pemerintah mengatakan, RUU ini ada untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Tetapi, dilihat dari substansinya, RUU ini malah bisa menghilangkan pekerjaan bagi petani dan masyarakat perdesaan lain,” kata Henry.
Substansi yang bermasalah di RUU bukan hanya kluster ketenagakerjaan, melainkan juga kluster lain yang bisa berdampak pada kelompok masyarakat lain.
Menurut Henry, perppu menjadi opsi yang paling memungkinkan diambil jika Presiden benar-benar ingin memperbaiki kekeliruan yang sudah terjadi.
Sementara itu, Ketua Wahana Masyarakat Tani Nelayan Indonesia (Wamti) Kabupaten Indramayu Wawan Sugiarto mengatakan, meskipun terlambat, peluang untuk memperbaiki substansi yang bermasalah tetap dapat dimanfaatkan lewat pembahasan rancangan peraturan turunan.