Agar UMKM di Indonesia bisa memaksimalkan potensi mereka, diperlukan upaya dan strategi terencana lintas sektoral sehingga sektor ini bisa menyumbang PDB hingga 140 miliar dollar AS pada 2030.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagai penopang struktur ekonomi, sektor usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM di Indonesia dianggap belum optimal menangkap peluang untuk naik kelas. Strategi terencana lintas lembaga diperlukan untuk membantu UMKM mengadopsi teknologi digital serta menangkap peluang pasar.
Dalam diskusi virtual yang diselenggarakan McKinsey & Company, Rabu (21/10/2020), Managing Partner McKinsey & Company Indonesia Phillia Wibowo mengungkapkan, UMKM di Tanah Air sulit naik kelas karena minimnya pendampingan. Padahal, bila potensi tersebut tergarap, pada 2030 sektor ini bisa menyumbang produk domestik bruto (PDB) mencapai 140 miliar dollar AS (Rp 2.052 triliun).
”Dibandingkan dengan negara-negara lain di regional Asia Tenggara, UMKM Indonesia memiliki ruang yang relatif lebih besar untuk tumbuh. Akan tetapi, dibutuhkan upaya lebih dari para pemangku kebijakan agar UMKM bisa naik kelas,” ujarnya.
Dibandingkan dengan negara lain di regional Asia Tenggara, UMKM Indonesia memiliki ruang yang relatif lebih besar untuk tumbuh. Akan tetapi, dibutuhkan upaya lebih dari para pemangku kebijakan agar UMKM bisa naik kelas. (Managing Partner McKinsey & Company Indonesia, Phillia Wibowo)
Phillia melanjutkan, UMKM perlu didukung untuk mengatasi persoalan likuiditas akibat permintaan terhadap produk UMKM yang tidak berlanjut.
Untuk mengatasi kendala tersebut, UMKM perlu bermitra dengan perusahaan besar agar terlibat dalam rantai pasok perdagangan nasional. Namun, hal ini membutuhkan dukungan regulasi, misalnya insentif bagi perusahaan besar yang mau bermitra dengan UMKM.
Perusahaan besar juga berperan menghasilkan platform yang bisa mengakomodasi kebutuhan UMKM. Selama ini sudah banyak platform digital, tetapi masih melihat dari sisi konsumen saja. ”Diperlukan platform yang bisa melihat dari sisi pelaku UMKM agar mereka bisa mengadaptasi keperluan digital untuk keperluan bisnis mereka,” kata Phillia.
Setelah mampu mengadopsi teknologi digital, sektor UMKM juga perlu memanfaatkannya untuk menangkap peluang pasar baru dengan cara mengidentifikasi pasar alternatif. UMKM didorong tidak hanya berjualan di Indonesia, tetapi juga merambah pasar ekspor.
Dalam meyalurkan bantuan dan insentif, lanjut Phillia, pemerintah dan pihak swasta perlu mengerti secara terperinci bantuan yang diperlukan dari kacamata UMKM sehingga solusi yang diberikan bisa tepat sasaran.
”Penting untuk meningkatkan kapasitas dan jangkauan pasar pelaku UMKM untuk menopang daya beli masyarakat yang mulai terdongkrak sehingga ekonomi bisa lekas pulih,” ujarnya.
Pemulihan ekonomi
Phillia memperkirakan, konsumsi yang meningkat bisa membuat Indonesia akan pulih lebih cepat dari dampak pandemi Covid-19. Pasalnya, struktur ekonomi Indonesia lebih banyak ditopang konsumsi domestik yang menyumbang 50-60 persen terhadap PDB.
Dalam kesempatan yang sama, Senior Partner McKinsey Indonesia Khoon Tee Tan mengatakan, meski stimulus ekonomi yang disalurkan pemerintah lewat program Pemulihan Ekonomi Nasional hanya 9-10 persen dari PDB, bukan berarti stimulus tersebut tidak akan efektif untuk memulihkan ekonomi yang anjlok akibat pandemi.
Sejumlah negara memang mengucurkan stimulus secara besar-besaran yang jumlahnya hampir separuh dari PDB, di antaranya Jerman 41 persen dari PDB, Italia 47 persen dari PDB, dan Selandia Baru sebesar 48 persen dari PDB.
”Besaran stimulus tidak bisa dibandingkan antarnegara lantaran menyesuaikan dengan kapasitas dan struktur ekonomi negara tersebut. Di Indonesia, bantuan tersebut lebih banyak menyasar UMKM dan bantuan sosial yang menopang struktur ekonomi Indonesia,” ujarnya.
Sementara itu, melalui keterangan tertulis, Chief Economist & Investment Strategist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia Katarina Setiawan mengatakan, hingga akhir September 2020, pemerintah sudah mencairkan 43 persen dari total anggaran stimulus. Angka ini naik signifikan dibanding pada akhir Agustus, yakni 31 persen.
Katarina mengatakan, percepatan distribusi stimulus pada triwulan IV-2020 diharapkan dapat mempercepat pemulihan ekonomi. Meski demikian, kondisi pandemi yang sulit diprediksi membuat mitigasi penyebaran Covid-19 tetap perlu menjadi prioritas.
”Jika kasus Covid-19 terus meningkat, hal tersebut menimbulkan risiko harus diterapkannya kembali PSBB ketat yang dapat berdampak negatif pada proses pemulihan ekonomi,” ujarnya.