Hingga kini program jaminan sosial pensiun baru mencakup 37 persen pekerja formal atau 16 persen dari total pekerja. Reformasi sistem pensiun mendesak untuk menciptakan keadilan sosial dan keberlanjutan ekonomi nasional.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Warga menghitung dana pensiun yang diambil di Kantor Pos Besar, Yogyakarta, beberapa waktu lalu.
JAKARTA, KOMPAS — Sistem pensiun Indonesia dinilai belum mumpuni karena baru mencakup pekerja formal. Reformasi sistem mendesak dilakukan untuk menciptakan keadilan sosial dan keberlanjutan ekonomi nasional.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio N Kacaribu menuturkan, proporsi penduduk lanjut usia atau di atas 65 tahun akan meningkat dua kali lipat di negara-negara berkembang. Di Indonesia, penduduk lansia diproyeksikan meningkat dari 10 persen pada 2020 menjadi 20 persen tahun 2045 dan 26 persen tahun 2070.
Meski demikian, saat ini sebagian besar penduduk bekerja di sektor informal yang belum terjamah sistem pensiun. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), per Februari 2020, sekitar 56,99 juta orang atau 43,5 persen bekerja di sektor formal dan 74,04 juta orang atau 56,5 persen bekerja di sektor informal.
”Sistem pensiun yang adil dan berkelanjutan penting untuk menjamin kesejahteraan pekerja ketika mereka memasuki usia lansia,” kata Febrio dalam webinar bertema ”Mendesain Ekosistem Pensiun yang Optimal”, Rabu (21/10/2020).
Regulasi saat ini memang hanya mewajibkan pemerintah memberikan program jaminan sosial pensiun dan tabungan hari tua ke pekerja formal. Ironisnya, berdasarkan data yang diolah dari BPJS Ketenagakerjaan, PT ASABRI, dan PT Taspen, program jaminan sosial pensiun baru mencakup 37 persen dari pekerja formal atau 16 persen dari total pekerja.
KOMPAS/KARINA ISNA IRAWAN
Perhitungan manfaat pensiun bagi TNI/Polri dan PNS di Indonesia. Sumber: Badan Kebijakan Fiskal
Febrio mengatakan, sistem pensiun Indonesia masih dihadapkan pada berbagai tantangan. Sekitar 60 persen pekerja informal tidak masuk dalam program jaminan sosial pemerintah, terutama pekerja UMKM dan pekerja dengan pendapatan tidak tetap. Pemerintah harus berhati-hati dalam mendesain program jaminan sosial untuk pekerja informal ini.
Selain cakupan, manfaat sistem pensiun Indonesia juga dinilai rendah. Saat ini, pensiunan TNI/Polri dan PNS rata-rata memperoleh uang pensiun 9-35 persen dari gaji pokok, tergantung jabatan atau golongan terakhir sebelum pensiun. Padahal, menurut Organisasi Buruh Internasional (ILO), pensiun idealnya diberikan minimal 40 persen dari gaji pokok.
”Perluasan cakupan dan manfaat untuk mengakomodasi pekerja informal akan menjadi pekerjaan rumah yang cukup berat,” kata Febrio.
Guru Besar Universitas Indonesia Aris Ananta menambahkan, ada tiga hal penting yang perlu dipertimbangkan dalam membangun sistem pensiun, yakni kesinambungan keuangan negara, efisiensi, dan keadilan sosial. Ketiga kritera itu akan terbentuk ketika pemerintah membangun pasar tenaga kerja yang kompetitif.
”Di banyak negara berkembang, pensiun dianggap sebagai hukuman. Padahal, di negara maju, pensiun adalah hadiah,” kata Aris.
Jaminan kehilangan pekerjaan
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, pemerintah berupaya membangun jaminan perlindungan sosial bagi pekerja informal melalui program jaminan kehilangan pekerjaan. Jaminan ini diberikan kepada pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).
Payung hukum program jaminan kehilangan pekerjaan adalah RUU Cipta Kerja. Dalam draf RUU yang beredar di publik, negara akan menanggung pesangon maksimal enam kali upah melalui program jaminan kehilangan pekerjaan. Modal awal untuk program ini telah ditetapkan paling sedikit Rp 6 triliun melalui APBN.
KOMPAS/ WAWAN H PRABOWO
Ratusan pensiunan antre untuk mendapatkan dana pensiun di Kantor Pos Besar Yogyakarta beberapa waktu lalu.
”Skema jaminan kehilangan pekerjaan ini mungkin berbeda dengan skema pensiun yang ada, tetapi merupakan program yang sama untuk pasar tenaga kerja,” kata Suahasil.
Indonesia sejatinya telah membangun berbagai sistem pensiun sejak 1960-an. Sistem pensiun terbagi dalam berbagai program, seperti pensiun khusus prajurit TNI, anggota Polri, dan PNS Kementerian Pertahanan Republik Indonesia melalui PT ASABRI, pensiunan PNS melalui PT Taspen, dan pensiunan pegawai swasta melalui BPJS Ketenagakerjaan.
Namun, harus diakui, beberapa regulasi dalam sistem pensiun yang ada belum harmonis. Ketidakharmonisan regulasi berimplikasi terhadap rendahnya fasilitas perlindungan dan akumulasi aset. Hal ini juga mengakibatkan sektor keuangan menjadi tidak stabil dan dukungan ke pertumbuhan ekonomi terbatas.
Guru Besar National University of Singapore Mukul G Asher menambahkan, reformasi sistem pensiun tak bisa lagi menggunakan cara-cara biasa. Tujuan penyelenggaraan pensiun dan jaminan hari tua harus diubah dari orientasi proses ke hasil dan orientasi kesejahteraan ke profesionalisme.
KOMPAS/KARINA ISNA IRAWAN
Sistem pensiun Indonesia dari tahun ke tahun. Sumber: Badan Kebijakan Fiskal
Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, perlu mempertimbangkan pembangunan pusat penelitian pensiun semi-otonom yang tugasnya menganalisis data dan kebijakan. Skema sistem pensiun harus disesuaikan dengan karakteristik negara baik profil pekerja dan sosial budaya masyarakat.
”Reformasi sistem pensiun membutuhkan proses, tidak bisa dalam waktu singkat,” kata Asher.