Meski Pandemi, Jumlah Investor Pasar Modal Terus Meningkat
Pandemi Covid-19 tak menyurutkan niat para investor untuk berinvestasi di pasar modal yang juga diharapkan turut meningkatkan literasi dan inklusi keuangan di pasar modal.
Oleh
SHARON PATRICIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah investor di pasar modal bertambah 750.000 investor meski di tengah kondisi pandemi Covid-19. Peningkatan jumlah investor diharapkan turut meningkatkan literasi dan inklusi keuangan, khususnya di pasar modal.
Berdasarkan data PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), jumlah investor yang terdaftar dalam sistem identifikasi investor tunggal (single investor identification/SID) pasar modal pada akhir September 2020 sebanyak 3,28 juta investor. Jumlah ini meningkat dari 2,48 juta investor pada 1 Januari 2020.
Kepala Otoritas Jasa Keuangan Provinsi Riau Yusri menilai, peningkatan jumlah investor pasar modal di tengah pandemi Covid-19 merupakan sebuah anomali. Meski demikian, kondisi ini mengindikasikan sektor lembaga keuangan, khususnya pasar modal kembali mendapatkan kepercayaan investor.
”Ketika masyarakat masih wait and see (menunggu) untuk investasi di sektor riil, sektor keuangan (pasar modal) sudah memberikan alternatif daya tarik. Saya harap para investor dapat terus berinvestasi di pasar modal yang juga untuk mengungkit keterpurukan ekonomi akibat pandemi,” kata Yusri, Rabu (21/10/2020).
Yusri menyampaikan paparannya dalam Webinar Inklusi Keuangan bertemakan ”Peluang Investasi di Masa Pandemi”. Hadir pula dalam webinar ini, antara lain, Direktur Pengembangan Bursa Efek Indonesia Hasan Fawzi dan konsultan keuangan Adrian Maulana.
Hasan Fawzi menyampaikan, peningkatan juga terjadi dari sisi perusahaan baru yang mencatatkan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI). Sejak 2018, BEI tercatat sebagai bursa efek tertinggi yang mampu menarik minat Initial Public Offering (IPO) di antara negara-negara Asia Tengara (ASEAN).
IPO merupakan istilah bagi perusahaan untuk melakukan penawaran saham perdana. Pada 2018 tercatat 57 perusahaan baru yang melakukan IPO dan tahun 2019 tercatat 55 perusahaan baru yang melakukan IPO.
”Sekalipun terjadi dampak pandemi, kami (BEI) masih tercatat sebagai bursa efek di negara ASEAN yang mencatatkan IPO tertinggi. Sepanjang 2020, sampai hari ini sudah ada 47 IPO baru yang tercatat di BEI,” ujarnya.
Peningkatan jumlah investor serta perusahaan baru yang melakukan IPO, menurut Hasan, diharapkan dapat turut serta meningkatkan literasi dan inklusi keuangan. Mengingat, pemahaman dan akses layanan keuangan pasar modal masih rendah.
Literasi dan inklusi keuangan
Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2019 menunjukkan, terjadi peningkatan indeks tingkat pemahaman (literasi) keuangan menjadi 38,03 persen dari 29,66 persen pada 2016. Sementara indeks akses layanan (inklusi) keuangan juga meningkat menjadi 76,19 persen dari 67,82 persen pada 2016.
Meski demikian, jika dilihat per lembaga jasa keuangan, pasar modal menempati posisi terendah dibandingkan lembaga jasa keuangan lainnya. Tingkat literasi pasar modal, yaitu 4,92 persen, jauh di bawah perbankan (36,12 persen), perasuransian (19,4 persen), dan lembaga pembiayaan (15,17 persen).
Begitu pun dengan tingkat inklusi keuangan pasar modal yang menempati posisi terendah dibandingkan lembaga jasa keuangan lain, yaitu 1,55 persen. Posisi ini jauh di bawah lembaga perbankan (73,88 persen), lembaga pembiayaan (14,56 persen), dan perasuransian (13,15 persen).
Hasan menilai, rendahnya literasi dan inklusi keuangan di pasar modal berarti masih sedikit masyarakat yang aktif menikmati layanan pasar modal. Dengan kata lain, dari 100 orang baru 2 orang yang dapat mengakses layanan pasar modal.
”Kondisi ini menjadi tantangan bagi kita untuk meningkatkan literasi dan inklusi keuangan untuk mendukung perluasan keuangan Indonesia. Kami tentu berharap dari kemudahan mengakses informasi terkini, akan turut menjadikan pasar modal sebagai alternatif investasi,” kata Hasan.
Kelola investasi
Adrian Maulana menyampaikan, dalam masa pandemi, sangat penting bagi masyarakat menyusun rencana keuangan untuk menghadapi risiko hidup. Menyusun rencana keuangan artinya menentukan skala prioritas pengeluaran.
Saat menerima penghasilan setiap bulan, kata Adrian, sisihkan yang pertama untuk kegiatan sosial (5 persen) kemudian membayar cicilan utang (maksimal 30 persen), dan menabung (minimal 15 persen). Selebihnya (50 persen) baru untuk membiayai kebutuhan harian.
”Biaya kebutuhan harian ini diletakkan paling akhir karena pada dasarnya kita bisa menyesuaikan besaran dana tersebut. Misalnya, dengan uang yang ada, untuk lebih hemat kita bisa memilih makan di rumah daripada di restoran,” ujarnya.
Sementara sebesar 15 persen untuk menabung dapat digunakan untuk berinvestasi. Pada dasarnya, investasi harus dilakukan seumur hidup untuk memenuhi kebutuhan di masa mendatang.
”Sebelum memutuskan berinvestasi, kita harus tahu tujuan, jangka waktu, profil risiko, dan instrumen yang dipilih. Penting juga untuk mengecek rekam jejak kinerja perusahaan tempat kita berinvestasi,” kata Adrian.
Misalnya, apabila memilih investasi reksadana, guna mengetahui rekam jejak perusahaan, calon investor dapat terlebih dahulu mengontak Whatsapp OJK di nomor 081-157-157-157. Pengguna dapat mengetikkan nama perusahaan teknologi finansial (fintech) yang ingin diketahui dan kemudian pesan akan dibalas dengan penjelasan apakah perusahaan tersebut legal atau ilegal.