Kios kelontong itu kosong melompong. Tak ada lagi keramaian makanan ringan atau rokok yang biasanya menghiasi etalase. Ada apa ini?
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·4 menit baca
Pasangan Imam Arifin (29) dan Sari Dwi Lestari (25), pemilik kios di Jalan Panjang, Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, itu rupanya tengah kepayahan. Hampir putus asa mereka memutarkan uang yang kian seret. Omzet yang biasanya bisa mencapai Rp 1,6 juta sehari kini tersisa Rp 700.000. Otomatis uang untuk belanja barang-barang pengisi kios turut tergerus.
”Tadinya (barang) warung penuh. Sekarang enggak bisa kulakan banyak-banyak. Kalau pinjam bank keliling juga enggak berani. Takut jadi beban,” kata Imam saat ditemui pada Rabu (21/10/2020).
Roda ekonomi yang melambat sejak pandemi ditengarai menjadi penyebab keringnya omzet kios ini sejak tujuh bulan terakhir. Itulah sebabnya pasangan ini mesti cermat mengatur uang yang mereka terima dari kios.
Dari Rp 700.000 omzet harian, Rp 600.000 di antaranya digunakan untuk kulakan. Praktis hanya tersisa Rp 100.000 untuk membeli makan dan susu bagi anak mereka yang masih berusia balita. Sebelum pandemi, kulakan barang toko bisa mencapai Rp 1 juta.
Bukan hanya pengeluaran rutin harian. Imam dan Dwi juga harus menyisihkan pemasukan untuk biaya kontrak kios Rp 12 juta setahun. Di masa pandemi ini, mereka diperkenankan mencicil Rp 1 juta per bulan.
Sulitnya mengais rezeki membuat mereka menantikan hibah dari Presiden RI untuk kegiatan produktif usaha mikro yang ditawarkan oleh pemerintah. Mereka sudah mengajukan diri sejak Agustus lalu. Walakin, hibah dari program yang ia kenal sebagai BLT UMKM tersebut urung didapatkan.
”Kebetulan kemarin pendaftarannya dibantu sama kelurahan tempat tinggal saya di Kebon Jeruk. Sudah dua bulan yang lalu, tetapi sampai sekarang belum ada pemberitahuan,” katanya.
Jika nantinya cair, uang Rp 2,4 juta ini akan dimanfaatkan Imam dan istri untuk kulakan. Ia ingin kios kelontongnya kembali penuh dengan barang-barang dagangan seperti sebelum pandemi.
Kebetulan kemarin pendaftarannya dibantu sama kelurahan tempat tinggal saya di Kebon Jeruk. Sudah dua bulan yang lalu, tetapi sampai sekarang belum ada pemberitahuan.
Selain dari Bantuan Presiden (Banpres) Produktif Usaha Mikro, Imam dan istri tak memiliki alternatif lain untuk mengembalikan kemeriahan barang dagangan di kiosnya. Selain tak mungkin berutang, aset Imam juga sudah ludes setelah satu-satunya sepeda motor yang ia miliki dijual beberapa bulan lalu. Sepeda motor itu berubah menjadi pemenuh kebutuhan sehari-hari selama beberapa saat saja.
Kabar mengenai Banpres Produktif Usaha Mikro ini juga sudah sampai ke telinga Sunawan (42), pemilik warteg di Jalan Joglo, Kembangan, Jakarta Barat. Akan tetapi, ia belum mendaftar. Ia masih berpikir ulang setelah mendengar pengakuan dari kerabatnya.
Kerabat Sunawan yang memiliki usaha potong rambut sudah mengajukan Banpres Produktif Usaha Mikro ini melalui ketua RT setempat. Tepatnya pada Agustus silam. Hingga kini, bantuan itu sebatas kabar. ”Belum ada kabar sampai sekarang. Sekarang kabarnya dibuka lagi, saya masih belum daftar. Rencana, sih, mau minta surat keterangan usaha dari kelurahan dulu,” katanya.
Sunawan masih memiliki tanggungan cicilan rumah di bank. Ia khawatir, cicilan ini menjadi penghambat untuk mendapatkan Banpres Produktif Usaha Mikro ini.
”Kemarin sempat baca-baca. Salah satu syaratnya kalau enggak salah enggak boleh punya cicilan. Makanya saya ragu mau ngajuin,” ujarnya.
Banpres Produktif Usaha Mikro ini sebenarnya sangat dibutuhkan Sunawan untuk mempertahankan bisnis wartegnya. Setelah pensiun dini dari perusahaannya pada Februari lalu, ia hanya bertumpu pada warteg.
”Saya pensiun dini Februari, enggak berapa lama langsung pandemi. Rasanya nyesek karena penghasilan sekarang hanya dari warteg yang sebelumnya diurus istri. Pesangon waktu itu juga sudah buat renovasi rumah,” kata ayah dari dua anak ini.
Tambah kuota
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop dan UKM) menyiapkan anggaran Rp 28 triliun untuk Banpres Produktif Usaha Mikro. Program yang diluncurkan sejak 24 Agustus 2020 ini menyasar 12 juta pelaku usaha mikro.
Menurut Menkop dan UKM Teten Masduki, realisasi program pada 6 Oktober 2020 telah mencapai 100 persen. Kini, pemerintah telah menambah lagi penyaluran kepada 3 juta pelaku usaha mikro lainnya.
”Masih banyak usulan dari berbagai pihak yang belum bisa kami penuhi karena estimasi kami jumlah usaha mikro yang unbankable lebih dari 20 juta,” kata Teten (Kompas, 8 Oktober 2020).
Salah satu yang sudah mendapatkan hibah ini adalah Baihaqi (19), penjual pulsa di kawasan Gelora, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Ia mengajukan bantuan pada Agustus lalu dibantu pengurus RW setempat. Setelah menunggu hampir dua bulan, ia mendapatkan pemberitahuan pencairan dari bank pemerintah pada pekan lalu.
”Begitu dapat pemberitahuan, langsung saya cairkan ke bank. Alhamdulillah dapat Rp 2,4 juta. Lumayan bisa buat lanjutin usaha,” katanya.
Meski begitu, masih ada beberapa pelaku usaha mikro yang sama sekali tidak mengetahui program ini. Salah satunya Sri (50), penjual minuman di Jalan Tentara Pelajar, Grogol Utara, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
Ia sama sekali tidak mengetahui ada Banpres Produktif Usaha Mikro karena selama ini tidak memiliki ponsel untuk mencari berita. Ia juga tidak pernah mendapatkan informasi dari ketua RT, ketua RW, hingga lurah di tempat tinggalnya.
”Saya enggak tahu. Saya dapatnya bantuan sosial sembako. Alhamdulillah cukup membantu. Bahkan, bisa saya bagikan ke anak saya,” katanya.