Mereka yang Mengais Nafkah dan Mengejar Zaman
Di balik inovasi kreatif pameran virtual, tersimpan kisah getir para pekerja yang kehilangan pekerjaan. Pelatihan dan peningkatan kompetensi kerja menjadi keniscayaan agar tidak tertinggal derap cepat digitalisasi.
Di balik inovasi kreatif pameran virtual tersimpan kisah getir para pekerja konvensional yang kehilangan sumber mata pencarian. Covid-19 memaksa zaman untuk berkembang lebih cepat dari seharusnya. Pelatihan dan peningkatan kompetensi kerja menjadi keniscayaan agar tidak tertinggal derap cepat digitalisasi.
Sudah delapan bulan terakhir ini, Maria Stella (24) menggantungkan hidup pada kakak semata wayangnya. Sejak kemunculan Covid-19, Maret, Maria—yang akrab dipanggil Dela—kehilangan sumber pemasukan sebagai sales promotion girl (SPG).
Dulu, Dela sanggup membiayai diri sendiri, bahkan membantu keluarga, dengan pemasukan sebagai SPG di acara pameran. ”Sekarang, sehari-hari mau makan bergantung pada kakak, atau berharap sumbangan dari teman. Dalam seketika, hidup jadi berat banget,” kata Dela saat berbincang lewat panggilan telepon, pekan lalu.
Gadis yang berdomisili di Depok, Jawa Barat, ini bukannya hanya diam berpangku tangan. Berbagai upaya ia tempuh agar bisa mengantongi uang sendiri dan tidak merepotkan teman dan keluarga. Namun, latar belakang pendidikan yang sebatas lulusan SMA dan pengalaman kerja yang selama ini berkutat di dunia promosi sebagai SPG membuatnya sulit untuk ”banting setir” ke pekerjaan lain.
Ia sempat mendapat tawaran pekerjaan untuk mempromosikan produk dan berjualan dari rumah ke rumah. Namun, pekerjaan itu mengharuskannya memiliki motor sendiri untuk berkeliling. Sementara motor di keluarganya sudah dipakai sang kakak untuk menjadi pengemudi ojek daring.
”Mau nyari event itu susah banget. Begitu ada, mereka butuh SPG yang punya motor sendiri untuk jualan door to door, akhirnya terpaksa saya relakan,” katanya.
Dela juga mencari pekerjaan lewat jaringan penyelenggara acara (EO). Namun, berhubung banyak pameran yang dibatalkan dan pameran virtual tidak terlalu membutuhkan peran SPG, Dela tak kunjung mendapat tawaran kerja.
Ia mencoba mendaftar ke program Kartu Prakerja dengan harapan bisa mendapat pelatihan keterampilan baru dan mendapat uang saku untuk menyambung hidup. Namun, ternyata yang mendapat bantuan itu justru temannya yang masih bekerja.
”Saya yang tidak kerja malah tidak di-approve, lucu,” kata Dela sambil tertawa getir.
Dela mengatakan, jika diberikan akses dan informasi, dirinya sangat ingin menambah kompetensi dan keterampilan baru agar bisa mendapat pekerjaan yang relevan. Namun, sejauh ini, ia belum mendapat informasi tersebut. ”Akhirnya sehari-hari bertahan hidup dulu, yang penting besok masih bisa makan,” katanya.
Kegetiran yang sama dirasakan Hanisah (23), SPG untuk produk sepatu di sebuah mal yang berlokasi di Tangerang, Banten. Ia mengatakan, pandemi membuat bukan hanya penjualan yang menurun, melainkan juga berdampak pada gajinya yang turut dipotong. Bahkan, pemotongan hingga 50 persen, disesuaikan dengan hari kerja yang kini tinggal 15 hari sebulan.
Meskipun belum berkeluarga, Hanisah memiliki tanggungan untuk membiayai adiknya yang masih bersekolah. Ia pun mengaku bingung dari mana bisa mendapatkan penghasilan tambahan di tengah pandemi.
Sebelum adanya Covid-19, perempuan asal Cisauk, Tangerang, ini rutin mengikuti berbagai pameran baik di mal maupun di expo. Setidaknya, setiap tiga bulan sekali, ia dapat mengantongi hingga Rp 10 juta selama dua minggu.
”Sekarang pameran semuanya sudah virtual. Jadi SPG seperti saya rasanya enggak dibutuhkan lagi. Semoga saja korona segera berlalu. Saya takut, kalau begini terus, ekonomi bakal makin sulit,” ujar Hanisah.
Indonesia Event Industry Council (Ivendo) memperkirakan, kerugian dari 1.218 penyelenggara jasa pertemuan, insentif, konvensi/konferensi, dan pameran (MICE) akibat pandemi Covid-19 berkisar Rp 2,69 triliun-Rp 6,94 triliun. Sekitar 96,43 persen acara di 17 provinsi ditunda dan 84,2 persen acara yang lainnya dibatalkan, serta sekitar 90.000 pekerja sektor tersebut kehilangan pekerjaan.
Baca juga : Jembatan Virtual Perdagangan
Berbeda dengan para pekerja konvensional yang tergerus Covid-19, para pekerja di industri kreatif dengan keterampilan tinggi justru tetap mendapat tawaran dan peluang kerja. Apalagi, dengan bergesernya berbagai sektor bisnis menjadi terdigitalisasi.
Bimo (25), seorang software engineer yang berdomisili di Bumi Serpong Damai, Tangerang, masih mendapat lebih kurang satu tawaran proyek dalam sebulan. Meski jumlahnya menurun dibandingkan dengan sebelum pandemi, tawaran tetap masuk. Tawaran paling banyak datang dari orang-orang yang baru mau merintis bisnis dan mendigitalisasi bisnisnya.
”Tawaran tetap ada, tetapi tidak semuanya saya ambil karena proyeknya terlalu besar dan saya juga harus mengatur waktu antara pekerjaan tetap saya dan tawaran-tawaran lepas itu,” kata Bimo.
Bertransformasi
Riza Ardiansyah, pemilik bisnis jasa EO Menara Redline, menyampaikan, pandemi Covid-19 sangat memukul usahanya. Dalam kondisi normal, setidaknya ada lima proyek per bulan. Namun, sejak Maret hingga Juli 2020, tidak ada satu pun proyek yang dikerjakan.
Pembatasan sosial berskala besar memang tidak memungkinkan Menara Redline menyelenggarakan acara tatap muka secara langsung. Riza bersama timnya kemudian mencoba bertransformasi ke pameran virtual.
”Kala pameran konvensional, kami bekerja sama dengan teman-teman lighting dan sound. Tapi, sekarang kami bekerja sama dengan web developer, desain grafis, 3D theatre, dan teman-teman lainnya di industri kreatif,” ujarnya.
Kala pameran konvensional, kami bekerja sama dengan teman-teman lighting dan sound. Tapi, sekarang kami bekerja sama dengan web developer, desain grafis, 3D theatre, dan teman-teman lainnya di industri kreatif. (Riza Ardiansyah)
Baca juga : Talenta Digital Indonesia, Saatnya Unjuk Gigi!
Kini, Menara Redline sedang menyiapkan 360 Virtual Event Experience yang dapat membawa pengunjung seolah berada di ruang pameran melalui layar kaca. Acara ini juga memungkinkan pengunjung berinteraksi secara langsung dengan bagian pemasaran dari perusahaan yang dituju.
Pameran virtual dinilainya masih akan bertahan satu hingga dua tahun ke depan. Sebagai upaya beradaptasi, Menara Redline memfasilitasi penyelenggaraan acara hybrid yang merupakan gabungan luring dengan peserta terbatas dan tetap disiarkan secara online bagi seluruh peserta.
”Saya rasa antusiasme dalam pameran virtual tetap tidak akan mengalahkan pameran secara langsung. Tapi, pameran virtual ini setidaknya menunjukkan kepada publik bahwa perusahaan-perusahaan ini tetap eksis,” kata Riza.
Baca juga : Daya Ungkit Ruang Pamer Virtual
Ketimpangan
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, berpendapat, pandemi Covid-19 mendorong adanya pergeseran jenis pekerjaan atau jabatan pekerjaan yang juga menuntut keahlian lebih, khususnya di bidang teknologi. Disrupsi pekerjaan khususnya terjadi pada pekerjaan konvensional karena mengutamakan interaksi fisik.
Untuk itu, pemerintah perlu memikirkan keahlian-keahlian apa saja yang saat ini dan ke depannya dibutuhkan. Upaya ini guna mengurangi ketimpangan antara kebutuhan dan suplai tenaga kerja.
”Digitalisasi memang menjadi tantangan bagi pekerja yang bergantung pada kegiatan secara langsung. Pemerintah pun harus tetap merangkul dan memberi harapan kepada mereka untuk tidak khawatir tidak akan dipakai. Misalnya, dengan melibatkan mereka dalam pemasaran virtual secara kreatif,” kata Heri.
Digitalisasi memang menjadi tantangan bagi pekerja yang bergantung pada kegiatan secara langsung. Pemerintah pun harus tetap merangkul dan memberi harapan kepada mereka untuk tidak khawatir tidak akan dipakai. (Ahmad Heri Firdaus)
Baca juga: Membangun Nyali Berwirausaha dari Sekolah
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal menyampaikan, pemerintah juga harus memikirkan untuk memberikan bantuan sementara bagi mereka.
Pendistribusian bantuan, kata Faisal, harus memperhatikan pemutakhiran data dan membuka setiap masukan, terutama dari akar rumput. Upaya pendataan secara dinamis menjadi penting di tengah pandemi Covid-19 yang membuat perubahan terus terjadi.
”Banyak hal yang sebetulnya tidak dalam jangkauan pemerintah karena yang sebenarnya mengetahui persoalan, kan, RT, RW, dan organisasi masyarakat setempat. Maka evaluasi data harus terus dilakukan agar dapat memotret gambaran utuh tentang persoalan ketenagakerjaan,” tutur Faisal.
Mismatch
Pada 2017, pemerintah melakukan kajian pasar kerja yang memperkirakan industri teknologi informasi dan telekomunikasi akan menjadi industri yang paling tinggi pertumbuhannya. Ada banyak jenis usaha dan jenis pekerjaan konvensional yang tidak akan berkembang, bahkan hilang.
Survei Angkatan Kerja Nasional 2019 juga memprediksi pergeseran kebutuhan tenaga kerja di sektor konvensional akan segera terjadi dan menyebabkan keterputusan (mismatch) di pasar kerja dan menciptakan pengangguran struktural. Namun, perubahan drastis itu tidak diprediksi secepat ini. Covid-19 memaksa zaman untuk berubah lebih cepat.
Menangkap pergeseran tren ketenagakerjaan akibat pandemi ini, Kementerian Ketenagakerjaan kini menggencarkan dan memperluas balai latihan kerja (BLK) komunitas untuk menyiapkan tenaga kerja agar tidak tergerus digitalisasi dan menambah keterampilan. Program pelatihan itu juga akan mempersiapkan pekerja menjadi wirausaha baru.
Baca juga : Perlindungan Pekerja Era Disrupsi Membutuhkan Aturan Lebih Fleksibel
Sekretaris Jenderal Kemenaker Anwar Sanusi mengatakan, pemerintah sedang berupaya menyusun strategi peningkatan produktivitas dan daya saing pekerja. Pemetaan jenis pekerjaan yang di era ini menjadi relevan akan dilakukan untuk menyediakan pelatihan ketenagakerjaan yang spesifik.
Hal itu akan dilakukan secara berkelanjutan sebagai bagian dari upaya mitigasi dan pemulihan ekonomi dari dampak Covid-19. ”Khususnya, untuk meningkatkan kemampuan dan daya saing, serta ketahanan dan ketangkasan pekerja dalam menghadapi pergeseran pasar kerja di masa depan,” katanya.