Dunia sedang bergerak meninggalkan energi kotor menuju energi bersih dan berkelanjutan. Indonesia harus bersiap dengan memasukkan agenda transisi energi dalam perencanaan pembangunan, termasuk mengantisipasi dampaknya.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Truk berat mengangkut batubara di Blok Tutupan yang ditambang PT Adaro Indonesia di perbatasan Kabupaten Tabalong dan Balangan, Kalimantan Selatan, Rabu (19/5/2010).
JAKARTA, KOMPAS — Dampak transisi energi di Indonesia harus diperhitungkan karena bakal berpengaruh langsung terhadap rantai pasok energi fosil, khususnya batubara. Sejauh ini, Indonesia belum memiliki peta jalan mengenai penerapan peta jalan dalam perencanaan pembangunan.
Transisi energi adalah peralihan dari sistem energi berbasis fosil menuju sistem yang berbasis energi terbarukan.
Menurut Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa, transisi energi sudah terjadi di banyak negara. Transisi energi merupakan respons banyak negara terhadap ancaman perubahan iklim akibat emisi yang dihasilkan dari pemakaian energi fosil. Indonesia juga menandatangani Perjanjian Paris 2015 dan berkomitmen mengurangi gas emisi rumah kaca di tahun-tahun mendatang.
”Transisi energi tentu akan berdampak terhadap industri atau rantai pasok energi fosil di Indonesia. Oleh karena itu, pendekatan transisi energi yang berkeadilan harus dapat memastikan dampak-dampak tersebut bisa diantisipasi,” ujar Fabby pada peluncuran laporan mengenai peta jalan transisi energi di Indonesia secara virtual, Selasa (20/10/2020).
Fabby menambahkan, dampak paling signifikan dari transisi energi di Indonesia diperkirakan terjadi pada sektor industri hulu dan hilir batubara. Indonesia adalah negara pengekspor terbesar batubara dan batubara sangat dominan sebagai sumber energi primer pembangkit listrik. Apabila pemakaian batubara ditinggalkan, hal itu berdampak terhadap merosotnya penerimaan daerah penghasil batubara dan kejatuhan harga komoditas tersebut.
”Pemerintah harus mengantisipasi hal ini. Cepat atau lambat, transisi energi di Indonesia pasti terjadi meski belum semua pengambil kebijakan menyetujuinya bahwa akan ada transisi energi. Harus ada kesadaran dari sekarang dan memasukkan isu transisi energi dalam perencanaan pembangunan ke depan,” ujar Fabby.
Apabila pemakaian batubara ditinggalkan, hal itu berdampak terhadap merosotnya penerimaan daerah penghasil batubara dan kejatuhan harga komoditas tersebut.
Pamela Simamora, salah seorang penulis laporan mengenai peta jalan transisi energi di Indonesia oleh IESR, mengatakan, transisi energi akan mendorong diversifikasi ekonomi. Sektor alternatif yang dapat dikembangkan ialah industri manufaktur atau konstruksi. Adapun sektor baru yang juga menarik untuk dikembangkan ialah pariwisata.
”Dampak positif lain dari transisi energi adalah pertumbuhan lapangan kerja hijau, kualitas udara yang membaik, dan penurunan biaya kesehatan. Bappenas memperkirakan akan ada tambahan 15,4 juta pekerjaan baru untuk lapangan kerja hijau hingga 2045,” kata Pamela.
Penopang
Sementara itu, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Kalimantan Timur M Aswin, yang juga menjadi pembicara dalam diskusi, menyampaikan, batubara merupakan penopang utama perekonomian daerah di Kalimantan Timur sejak 2007. Sebelumnya, perekonomian di Kaltim ditopang industri kayu olahan dan minyak bumi. Dalam tiga tahun terakhir, industri batubara dan migas di Kaltim berkontribusi 46 persen terhadap produk domestik regional bruto.
”Kalimantan Timur tengah bersiap dalam menghadapi perubahan ekonomi di masa mendatang menuju pembangunan yang lebih seimbang, yakni tak lagi mengandalkan batubara sebagai komoditas, tetapi untuk pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan di masa mendatang,” kata Aswin.
Sektor industri di Kalimantan Timur yang saat ini hanya berperan 9 persen bagi perekonomian daerah akan didorong menjadi setidaknya 42 persen pada 2030.
Sejumlah turbin Pembangkit Listrik Tenaga Bayu Sidrap terlihat di salah satu dari tiga bukit di Desa Mattirosi dan Desa Lainungan, Kecamatan Watang Pulu, Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan, Senin (22/7/2019).
Dalam visi transformasi ekonomi Kaltim 2030, diperlukan modal untuk investasi setidaknya Rp 1.057 triliun. Provinsi itu juga tengah menyusun peta jalan hilirisasi komoditas sumber daya alam. Sektor industri di Kaltim yang saat ini hanya berperan 9 persen bagi perekonomian daerah akan didorong menjadi setidaknya 42 persen pada 2030.
Dalam Kebijakan Energi Nasional, Indonesia berkomitmen menaikkan peran energi baru dan terbarukan dalam bauran energi nasional menjadi sedikitnya 23 persen pada 2025. Peran itu ditingkatkan menjadi setidaknya 31 persen pada 2050. Saat ini, kontribusi energi baru dan terbarukan dalam bauran energi nasional masih kurang dari 10 persen.
Dalam bauran energi pada pembangkit listrik Indonesia, batubara masih sangat dominan, yakni 63,92 persen, per Mei 2020. Adapun peran energi terbarukan 14,95 persen dan sisanya berupa gas bumi dan bahan bakar minyak.
Pada webinar ”Urgensi Energi Bersih pada Rancangan UU Energi Terbarukan”, Rabu (23/9/2020), Energy Project Lead pada Yayasan WWF Indonesia Indra Sari Wardhani mengatakan, kepemimpinan politik menjadi kunci terpenting dalam kemajuan pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Faktor kepemimpinan tersebut yang akan mendukung realisasi komitmen Indonesia terhadap penanggulangan krisis akibat perubahan iklim, peningkatan kedaulatan energi, serta peningkatan kualitas udara dan kesehatan.