Beda metode, beda kecakapan. Pameran virtual membutuhkan keahlian tak sama dengan di ruang fisik. Etalase daring itu kini turut menjadi panggung bagi sumber daya manusia bidang digital untuk unjuk karya dan karsa.
Oleh
M Paschalia Judith J/C Anto Saptowalyono
·5 menit baca
Banyak promotor atau penyelenggara acara (EO) yang memperkuat atau merekrut talenta-talenta digital untuk merealisasikan pameran virtual. Di sisi lain, para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah juga membutuhkan talenta digital dan pemerintah agar dapat mengikuti pameran ini serta menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.
Untuk mengikuti Trade Expo Indonesia-Virtual Event (TEI-VE) 2020 pada November mendatang, Product Designer Divisi Research and Development Wisanka R Aminy mengatakan, timnya telah merekrut tiga anggota baru. ”Kami memang sudah memiliki tim teknologi informasi dan grafis. Namun, kami membutuhkan talenta digital kreatif (untuk mengikuti pameran virtual),” ujarnya.
Bagi industri menengah yang memproduksi furnitur berbahan baku lokal seperti rotan itu, pameran virtual melahirkan diskusi baru di antara tim. Produk furnitur yang secara fisik berupa benda tiga dimensi mesti ditransformasi dalam tampilan layar dua dimensi. Oleh sebab itu, talenta digital dituntut berkreasi, baik melalui konten grafis maupun video, untuk memaparkan rincian produk yang dipamerkan kepada pengunjung.
Talenta digital dituntut berkreasi, baik melalui konten grafis maupun video, untuk memaparkan rincian produk yang dipamerkan kepada pengunjung.
Dalam menggarap TEI-VE 2020, Vice General Manager PT Debindomulti Adhiswasti sekaligus Project Manager TEI-VE Vibiadhi Swasti Pradana memilih membangun laman tersendiri. Pengunjung dan peserta dapat menyambangi pameran virtual ini di laman tradexpoindonesia.com.
Dalam membuat laman itu, perusahaan mengoptimalkan talenta digital yang sudah ada di tim produksi kreatif dan teknologi informasi. ”Kami membangunnya (laman) secara in-house, tidak ada pihak luar yang terlibat. Oleh sebab itu, kami berani mengatakan sistem ini merupakan karya anak bangsa,” katanya.
Saat ini terdapat dua macam gelaran pameran virtual. Pertama, kolaborasi dengan sistem dan wadah milik penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik atau e-dagang. Kedua, membangun laman khusus untuk pameran.
Menurut Head of StartupIndonesia Erwin Arifin, membangun laman untuk pameran membutuhkan sumber daya manusia (SDM) dengan kecakapan yang sama dengan mendirikan perusahaan teknologi. ”Tetap butuh talenta developer dan UI/UX engineer,” ujarnya.
Salah satu keahlian vital yang ada ialah pengembangan bisnis. SDM ini akan bertanggung jawab untuk mengonversi fasilitas yang ada di pameran fisik menjadi fitur digital serta memperkirakan kenyamanan penggunanya. Tugas lainnya, memproyeksikan kelanjutan bisnis pameran virtual secara jangka menengah dan panjang.
Pemasaran digital turut menjadi kemampuan yang tak kalah penting. SDM dengan keahlian pemasaran digital bertanggung jawab untuk mempromosikan pameran virtual dan menggaet pengunjung sebanyak-banyaknya.
Pameran virtual tak sekadar membuka peluang pasar yang lebih luas bagi para pelaku usaha dan industri kala pandemi Covid-19. Pameran virtual yang merupakan jembatan perdagangan ini juga membuka peluang bagi para talenta digital di Indonesia untuk unjuk gigi.
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mencatat, Indonesia memiliki 17 subsektor ekonomi kreatif. Sektor-sektor itu meliputi arsitektur, desain interior, desain-komunikasi-visual (DKV), desain produk, fashion, film-animasi-video, fotografi periklanan, kerajinan (kriya), kuliner, musik, aplikasi, pengembangan permainan, penerbitan, periklanan, televisi dan radio, seni pertunjukan, serta seni rupa.
Pada 2019, ketujuh belas subsektor ekonomi kreatif memberi kontribusi besar bagi perekonomian Tanah Air. Berdasarkan data yang dihimpun dalam OPUS Ekonomi Kreatif tahun 2019, kontribusi ekonomi kreatif terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional sebesar Rp 1.105 triliun.
Indonesia berada di peringkat ketiga setelah AS dan Korea Selatan dalam jumlah kontribusi ekonomi kreatif terhadap PDB. Pada 2020, kontribusinya diperkirakan meningkat 7,44 persen. Sektor ekonomi kreatif juga memiliki serapan tenaga kerja yang tinggi, mencapai 17 juta orang.
Tantangan dan peluang
Ketua Umum Asosiasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Indonesia (Akumindo) Ikhsan Ingratubun mengatakan, salah satu tantangan bagi UMKM saat hendak merambah promosi dan pemasaran lewat pemanfaatan teknologi digital adalah di sisi kemahiran menampilkan produk mereka agar menarik secara visual. Sebagai contoh, konsumen yang hanya melihat, membaca, atau mendengar narasi pun harus diyakinkan bahwa produk makanan dan minuman yang ditampilkan secara virtual itu memang lezat.
Belum semua pelaku UMKM bisa melakukan hal itu sehingga membutuhkan pendampingan atau pelatihan dari pemerintah atau instansi-instansi lain yang peduli. Tak jarang mereka juga melibatkan mahasiswa atau siswa SMK yang memiliki kompetensi khusus di bidang teknologi digital.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani menilai, penyelenggaraan pameran virtual baik seiring perubahan gaya hidup masyarakat yang serba daring karena tuntutan pandemi. Namun, tetap harus diingat, tidak semua perusahaan bisa sukses ketika konversi ke daring.
”Untuk memasuki dunia pemasaran daring, persiapannya tak bisa sembarangan. Harus siapkan foto, video, lalu cara berpromosi yang baik. Perlu keterampilan sendiri sehingga belum tentu usaha yang awalnya luring sukses di daring,” ujarnya.
Untuk memasuki dunia pemasaran daring, persiapannya tak bisa sembarangan. Harus siapkan foto, video, lalu cara berpromosi yang baik. Perlu keterampilan sendiri sehingga belum tentu usaha yang awalnya luring sukses di daring.
Bagi Widya Surya, owner Pradnya!, usaha kecil menengah produk mode dan kain shibori asal DI Yogyakarta, pameran virtual tak sebatas gelaran massal yang digagas EO. Pebisnis bisa menggelar pameran virtual pribadi melalui akun media sosial atau salah satu platform digital.
”Pameran virtual adalah solusi yang baik walaupun sebenarnya banyak bisnis daring yang secara tidak sadar sudah sering berpameran virtual melalui media sosial mereka,” ujar Widya.
Pertimbangan pebisnis mengikuti pameran virtual ataupun konvensional sebenarnya sama. Salah satunya penyelenggara acara dan target pengunjung. Tim EO harus benar-benar paham tentang dunia pemasaran daring sehingga dapat mendorong minat pengunjung membeli produk UKM.
Ketimbang mengikuti pameran virtual dalam skala besar, Widya lebih tertarik membuat workshop daring yang diselenggarakan langsung melalui akun media sosial. Hal ini karena bisnis yang dirintisnya tak hanya menjual produk mode, tetapi juga menawarkan pengalaman membuat kain shibori. Kegiatan ini sulit dilakukan dalam pameran virtual umum.
Shibori adalah teknik menghias kain dengan ikat celup. Kain diikat dengan berbagai cara, lalu dicelup ke dalam pewarna. Bagian yang diikat tidak akan terkena pewarna sehingga muncul berbagai corak. Teknik ini telah terkenal sejak abad ke-7 di Jepang, lalu menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia (Kompas, 21/10/2018).
Di sisi lain, menurut Widya, gelaran pameran virtual berskala besar masih belum tren di semua daerah, termasuk di lokasi bisnisnya. Mayoritas pebisnis memanfaatkan fitur khusus di akun media sosial untuk memamerkan produknya dan berinteraksi langsung dengan pembeli, seperti melalui Instagram Live dan Facebook Live.
”Dengan pameran virtual melalui akun media sosial, pebisnis bisa menarget pembeli yang memang menyukai produknya,” ujar Widya. (ERK/KRN/HEN)