Mayoritas Tarif Pajak dan Retribusi Daerah Akan Ditetapkan secara Nasional
Pemerintah pusat akan menarik wewenang pemerintah daerah dalam menetapkan tarif pajak dan retribusi. Nantinya, hampir semua tarif pajak dan retribusi daerah akan ditetapkan secara nasional.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hampir semua tarif pajak daerah dan retribusi daerah akan ditetapkan secara nasional. Penarikan wewenang pengenaan tarif dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat ini diharapkan memberikan kepastian bagi investor.
Regulasi yang berkaitan dengan pajak dan retribusi daerah masuk dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja. Dalam Pasal 156 A RUU Cipta Kerja disebutkan, pemerintah pusat dapat mengubah tarif pajak dan retribusi yang ditetapkan pemerintah daerah dengan menetapkan tarif pajak dan retribusi yang berlaku secara nasional.
Tarif yang berlaku secara nasional ini mencakup tarif atas jenis pajak provinsi dan pajak kabupaten serta obyek retribusi.
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Astera Primanto Bhakti mengatakan, penyesuaian kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah bertujuan untuk memberikan kepastian hukum. Selama ini daerah menerapkan tarif pajak dan retribusi yang berbeda-beda sehingga menghambat investasi.
”Pajak dan retribusi yang akan ditetapkan secara nasional adalah pajak dan retribusi yang dipungut daerah berbeda-beda antara satu dan lain serta menimbulkan ketidakpastian investasi,” kata Astera dalam telekonferensi pers APBN edisi September 2020, Senin (19/10/2020).
Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, ada lima jenis pajak yang berwenang dipungut pemerintah provinsi, 11 jenis pajak kabupaten/kota, dan 3 obyek retribusi. UU hanya menetapkan batas minimum dan maksimum tarif pajak dan retribusi sehingga setiap daerah bisa memungut pajak dan retribusi berbeda.
Sebagai contoh, tarif pajak air permukaan, pajak hotel, dan pajak restoran ditetapkan paling tinggi 10 persen. Tarif pajak hiburan maksimal 35 persen. Tarif pajak air tanah paling tinggi 20 persen. Satu-satunya tarif yang ditetapkan tunggal adalah pajak rokok, yakni 10 persen dari cukai rokok.
Selain itu, ada beberapa obyek yang juga dikenai pungutan pajak berganda antara pusat dan daerah. Misalnya, tarif pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan yang ditetapkan paling tinggi 0,3 persen serta tarif pajak mineral bukan logam dan batuan maksimal 25 persen.
”Penyesuaian pajak dan retribusi perlu dilakukan agar terbangun keselarasan kebijakan fiskal pusat dan daerah, terutama terkait investasi,” kata Astera.
Perdebatan
Secara terpisah, Senin, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, regulasi pajak daerah dan retribusi daerah masih diperdebatkan. Pengalihan wewenang dari pemerintah daerah ke pusat harus memperhatikan keseimbangan fiskal daerah.
Penetapan tarif pajak dan retribusi daerah secara nasional menegaskan adanya pelanggaran atau permasalahan dalam peraturan daerah. Namun, pemerintah tetap harus berhati-hati dalam melakukan intervensi. Terlebih, ada wewenang Presiden mencabut peraturan daerah yang dianggap bertentangan dengan aturan di atasnya.
”Paling krusial terkait status pembatalan karena ada perbedaan prinsip dan mungkin tidak sesuai dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah,” kata Tauhid.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng menambahkan, penetapan tarif pajak dan retribusi yang berlaku secara nasional tidak hanya memperkecil ruang fiskal daerah, tetapi juga membatasi reformasi di tingkat daerah. Beberapa daerah memanfaatkan tarif batas atas dan bawah justru untuk menarik investasi.
Pemerintah pusat sebaiknya tidak menarik seluruh pajak dan retribusi daerah. Beberapa jenis tarif pajak yang memungkinkan berlaku secara nasional adalah pajak bumi dan bangunan serta bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB). Sementara pajak hotel, restoran, hiburan, dan retribusi tetap jadi wewenang pemda.