Pendekatan bisnis ke bisnis melatih petani untuk berbisnis dengan mitra perusahaan. Mitra perusahaan pun dapat melihat pertanian sebagai sektor yang menguntungkan.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah pelaku usaha bermitra dengan kelompok tani. Syaratnya, petani menggarap lahan yang memenuhi skala keekonomian.
Kemitraan semacam ini berpotensi meningkatkan kesejahteraan petani.
Konsep yang disebut korporasi tani ini berupaya diwujudkan Perkumpulan Insan Tani dan Nelayan Indonesia (Intani). Caranya dengan menginisasi kemitraan untuk menggarap 1.000 hektar lahan milik petani di Ujung Genteng, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Penanaman padi perdana berlangsung pada Sabtu (17/10/2020).
Kolaborasi ini menggandeng TaniFund dari TaniHub Group, PT Mitra Bumdes Nusantara, PT Pupuk Indonesia Pangan (Persero), PT Pupuk Kujang, dan Pesantren Pemberdayaan Al-Muhtadiin.
Menurut Ketua Umum Intani Guntur Subagja, kolaborasi ini yang membentuk ekosistem lokal untuk menggarap pertanian setempat, juga menyederhanakan rantai pasok.
”Pendekatannya bisnis ke bisnis. Dengan demikian, petani dilatih untuk berbisnis dengan mitra perusahaan. Sebaliknya, mitra perusahaan dapat melihat pertanian sebagai sektor yang menguntungkan asalkan digarap dengan skala ekonomi tertentu,” kata Guntur saat dihubungi, Minggu (18/10/2020).
Produktivitas lahan diperkirakan mencapai 6 ton per hektar. Berdasarkan simulasi bisnis, petani berpotensi meraih pendapatan Rp 13,5 juta-Rp 15 juta per orang saat panen.
kolaborasi ini yang membentuk ekosistem lokal untuk menggarap pertanian setempat, juga menyederhanakan rantai pasok.
Proyek percontohan seluas 50 hektar dengan model bisnis dan lokasi yang sama telah menunjukkan keberhasilan pada musim panen lalu pada tahun ini. Sebelum kemitraan bisnis terjalin, produktivitas lahan di bawah 5 ton per hektar.
Menurut rencana, lahan seluas 1.000 hektar itu akan digarap 15 kelompok tani yang masing-masing beranggotakan rata-rata 200 orang. Mereka didampingi anggota pesantren setempat dan sekitar 20 orang yang telah memperoleh pendidikan vokasi di bidang pertanian dan agribisnis.
”Di wilayah itu, 60 persen penduduknya adalah petani. Budaya bertani sudah ada sehingga kita juga mempertahankan kearifan lokal serta mengandalkan pendekatan dan pendampingan dari pesantren yang dipimpin tokoh masyarakat. Kami juga berkomitmen untuk tidak mengakuisisi lahan milik petani tersebut,” kata Guntur.
Pesantren yang menjadi pendamping sedang mendirikan koperasi. Nantinya, mesin pengering dan penggiling padi akan diberikan kepada koperasi sehingga beras yang dihasilkan dapat dijual dalam jaringan. Selain itu, PT Mitra Bumdes Nusantara dan PT Pupuk Indonesia Pangan (Persero) berperan sebagai penyerap hasil panen.
Direktur TaniFund Edison Tobing menyatakan, TaniHub Group berkontribusi membantu menyelesaikan permasalahan petani, dari sisi pemanfaatan teknologi dan pasar.
VP of Business Development TaniFund (TaniHub Group) Grace Astari menambahkan, TaniFund menyalurkan lebih dari Rp 20 miliar kepada 15 kelompok tani yang menggarap lahan. Menurut dia, sistem operasional yang dibangun melalui kolaborasi ini memaksimalkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan pertanian setempat.
Kemandirian petani
Pegiat Ilmu Sosiologi Pertanian, Pangan, dan Lingkungan sekaligus dosen Manajemen Sumber Daya Hayati Institut Teknologi Bandung, Angga Dwiartama, mengapresiasi model dan ekosistem bisnis yang digalang tersebut. ”Dalam pergerakan bersama komunitas setempat, titik beratnya pada kesejahteraan petani, bukan hanya hasil. Selain itu, pastikan kemandirian petani tetap terjaga. Jangan sampai menimbulkan ketergantungan baru,” tuturnya dalam diskusi berjudul ”Menggapai Asa Kemerdekaan Pangan Indonesia” yang diadakan Gema.co, Minggu.
Dalam pergerakan bersama komunitas setempat, titik beratnya pada kesejahteraan petani, bukan hanya hasil.
Adapun peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rusli Abdullah, berpendapat, kemitraan bisnis harus mampu mentrasmisikan nilai tambah optimal dari produk yang dihasilkan bagi petani. ”Sebisa mungkin, nilai tambah itu dinikmati secara lokal. Produk yang keluar dari wilayah tersebut minimal sudah bersifat setengah jadi,” katanya. (JUD)