Produk Inovasi yang Bersertifikasi Akan Tingkatkan Daya Saing
Mengembangkan inovasi harus beriringan dengan standardisasi. Dengan begitu, industri akan mendapat kepercayaan dari konsumen.
Oleh
SHARON PATRICIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ekosistem inovasi di Indonesia yang belum sepenuhnya terbangun menjadi hambatan dalam proses komersialisasi produk inovasi. Untuk itu, standardisasi perlu terus dilakukan sebagai fondasi inovator dalam membangun kepercayaan konsumen dan menciptakan peluang pasar.
Badan Standardisasi Nasional (BSN) mencatat, tingkat inovasi di Indonesia masih terbilang cukup rendah. Pada 2019, Indonesia berada pada peringkat ke-85 dari 129 negara dengan skor Innovation Index 29,72 dari skala 0 sampai 100.
Pelaksana Tugas Deputi Bidang Penguatan Inovasi Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional Jumain Appe menyampaikan, standardisasi dan inovasi harus berjalan berdampingan. Upaya ini untuk membangun kepercayaan di antara pengguna industri dan konsumen serta menciptakan pasar skala besar.
”Masyarakat itu butuh trust (kepercayaan) yang menjamin keselamatan dan keamanan mereka saat memanfaatkan produk serta layanan inovatif. Produk yang inovatif juga akan memiliki daya saing ketika sudah terstandardisasi atau tersertifikasi,” ujarnya, Senin (19/10/2020).
Jumain menyampaikan paparannya dalam webinar ”Standardisasi untuk Hilirisasi Produk Inovasi Unggulan Daerah Berdaya Saing Nasional”. Kegiatan ini diselenggarakan atas kerja sama antara BSN dan Direktorat Inovasi dan Kewirausahaan Universitas Hasanuddin.
Dalam upaya mendorong sebuah ide inovatif menjadi produk yang siap dikomersialisasi, dibutuhkan sinergi triple helix, mulai dari pemerintah, industri, hingga akademisi. Ekosistem yang baik akan mendorong inovasi menjadi kekuatan ekonomi nasional.
”Ekosistem inovasi itu terdiri dari kebijakan dan regulasi, sumber daya, infrastruktur, teknologi, pembiayaan, dan layanan. Tentu ini adalah suatu proses yang harus dibangun kalau ingin mengomersialkan produk-produk inovasi,” kata Jumain.
Badan Riset dan Inovasi Nasional juga mengembangkan e-Catalog Inovasi. Platform digital ini menampilkan produk-produk yang sudah terstandardisasi, dengan kata lain produk inovasi sudah layak digunakan.
”Kami juga punya program di daerah maupun di pusat, kerja sama dalam memberikan standar kepada produk inovasi nasional. Khususnya start up (usaha rintisan) dengan produk yang levelnya usaha mikro dan kecil akan dibantu dalam proses standardisasi,” ujar Jumain.
Peneliti Ahli Utama Pusat Riset dan Pengembangan Sumber Daya Manusia BSN Bambang Prasetya menuturkan, standardisasi memang penting untuk menjadi acuan masuk pasar. Namun, proses standardisasi tidak harus langsung dilakukan para pelaku usaha mikro dan kecil yang baru memulai usaha.
”Hal yang terpenting adalah pelaku usaha memiliki knowledge (pengetahuan) dari standardisasi. Jadi, jangan belum mulai langsung tertekan merasa sertifikasi itu mahal. Kalau belum memenuhi, ya, jangan disertifikasi karena akan rugi. Kita belajar dulu mendapatkan parameter untuk mendapatkan sertifikasi,” kata Bambang.
Dalam jangka pendek, strategi usaha yang dapat dilakukan antara lain berjualan di platform digital, menciptakan loyalitas pelanggan, dan beradaptasi dengan perubahan. Selanjutnya untuk jangka menengah dan panjang, pelaku usaha dapat memperbaiki kualitas produk, optimalisasi sumber daya manusia, serta analisis perubahan karakter konsumen.
”Penerapan standardisasi dan penilaian kesesuaian pada produk dan jasa juga sudah dapat dimulai. Langkah ini untuk mencari peluang pasar baru di dalam negeri maupun untuk orientasi ekspor,” ujar Bambang.
Henry Yonathan, pendiri CV Indowash, produsen mesin Sintawaka, merasakan langsung manfaat dari sertifikasi. Saat ini, CV Indowash sedang dalam proses pembinaan oleh BSN untuk penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI).
Sintawaka merupakan mesin dekomposisi sampah padat dengan menggunakan Teknologi Ionisasi Udara secara magnetik. Teknologi yang diciptakan di Jepang dan saat ini diproduksi di Bandung tersebut memberikan keuntungan dalam efisiensi biaya awal ataupun operasionalnya.
”Awalnya, saat didampingi (BSN), kok saya merasa jadi ribet, tapi ternyata memang selama ini harus diakui kami sedikit ’tarzan’ dalam melakukan proses produksi. Setelah berproses, pendampingan dari BSN ternyata sangat membantu dalam menerapkan standar yang sesuai aturan,” kata Henry.
Peran perguruan tinggi
Wakil Rektor Bidang Riset, Inovasi, dan Kemitraan Universitas Hasanuddin Nasrum Massi mengatakan, perguruan tinggi berperan dalam mengembangkan usaha produk unggulan daerah melalui penerapan SNI. Upaya yang dilakukan ialah mendorong hilirisasi riset atau inovasi dan bekerja sama dengan pemerintah daerah serta usaha mikro, kecil, dan menengah setempat untuk meningkatkan daya saing produk.
Sejauh ini, Unhas turut mengembangkan produk unggulan daerah Sulawesi Selatan, antara lain kopi, rumput laut, gula aren, garam, dan pembibitan sapi. Unhas juga mendirikan pusat unggulan terkait dengan produk-produk tersebut dan membantu pengurusan hak paten dan pengembangan SNI bagi pelaku industri.
Setelah penerapan SNI, kemudian dilanjutkan dengan pencapaian hak Indikasi Geografis (IG) pada produk unggulan tersebut. IG adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang atau produk.
”Dengan memiliki hak IG, pelaku usaha atau industri akan mendapatkan perlindungan hukum atas nama produknya. Selain itu, mendapatkan pengakuan atas mutu serta kekhasan produk kopi dan melestarikan tradisi pengolahan kopi masyarakat adat,” ujarnya.
Perguruan tinggi, kata Nasrum, memiliki tanggung jawab dalam mendorong dan mendampingi pencapaian hak IG pada produk khas daerah. Dengan begitu, pelaku usaha akan memiliki nilai tambah dan daya saing serta keuntungan sosial ekonomi lainnya.