Kepercayaan merupakan napas produk dan layanan dari entitas usaha, lembaga, bahkan pemerintahan. Para pengguna mampu menilai positif dan negatifnya. Jika sudah merasa tidak nyaman dan aman, produk itu akan ditinggalkan.
Oleh
Hendriyo widi
·4 menit baca
Kepercayaan atau trust merupakan salah satu landasan esensial kehidupan, tak terkecuali di bidang bisnis dan pemerintahan. Kepercayaan ini menjadi dasar pilihan bagi konsumen untuk membeli produk dan setia menjadi pelanggan produk itu. Kepercayaan juga menjadi salah satu pertimbangan utama masyarakat untuk memilih pemimpin negara dan menguji kualitas layananannya.
Jika produk atau layanannya yang ditelurkan tak bisa terjaga baik, habislah sudah produk dan layanan itu ditinggalkan pelanggan. Pada 2017, Accenture Strategy menyurvei sekitar 25.000 konsumen di 33 negara untuk memahami preferensi, keyakinan, dan perilaku mereka, serta bagaimana perusahaan dapat memahami perubahan sentimen konsumen.
Hasilnya, lebih dari separuh (53 persen) pelanggan lama beralih ke produk lain dan 47 persen langsung berhenti membeli produk. Hal ini terjadi karena responden kurang atau tidak lagi percaya terhadap produk atau perusahaan tersebut. Dalam surei tersebut juga disebutkan, produk atau konten yang relevan berkolerasi secara langsung dengan tingkat kepuasan pelanggan.
Pada saat yang sama, kegagalan untuk melindungi data konsumen dan kurangnya transparansi informasi mengakibatkan ketidakpercayaan pelanggan. Berkurangnya kepercayaan pelanggan ini merugikan para pemegang merek global sebesar 6,6 triliun dollar AS pada 2017.
Ini selaras dengan konsep kepercayaan atau loyalitas merek (brand trust) yang digulirkan Gheok Theng Lau dan Sook Han Lee dalam jurnalnya, Consumers’ Trust in a Brand and The Link to Brand Loyalty (1999). Disebutkan, karakteristik perusahaan yang berpengaruh terhadap kepercayaan pelanggan pada sebuah merek adalah kepercayaan pelanggan terhadap reputasi, motif-motif, dan integritas perusahaan.
Dalam skala lebih luas, Edelman dalam surveinya awal tahun ini ”Edelman Trust Barometer 2020” menunjukkan, ada kekhawatiran dan ketidakpercayaan responden terhadap pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, kalangan bisnis, dan media. Kekhawatiran dan ketidakpercayaan itu didorong oleh rasa ketidakadilan yang tumbuh dalam sistem. Ada persepsi dari para responden bahwa lembaga-lembaga tersebut semakin melayani kepentingan segelintir orang di atas semua orang.
Sebanyak 57 persen responden memandang pemerintah paling tidak adil karena melayani segelintir orang, sedangkan hanya 30 persen responden yang menyatakan pemerintah melayani kepentingan semua orang. Jajak pendapat yang dilakukan Edelman itu melibatkan sekitar 34.000 orang di 28 negara.
Berlatar tumbuhnya sinisme tentang kapitalisme baru dan keadilan sistem ekonomi, survei tersebut juga menggambarkan ketakutan para pekerja. Sebanyak 83 persen responden pekerja menyatakan takut kehilangan pekerjaan karena bayangan resesi, kurangnya keterampilan, dijadikan pekerja lepas, pesaing asing dengan upah murah, otomatisasi, dan relokasi usaha ke negara lain.
Sebanyak 83 persen responden pekerja menyatakan takut kehilangan pekerjaan karena bayangan resesi, kurangnya keterampilan, dijadikan pekerja lepas, pesaing asing dengan upah murah, otomatisasi, dan relokasi usaha ke negara lain.
Di tengah resesi dan pagebluk Covid-19, kepercayaan terhadap sebuah produk atau layanan di berbagai sektor semakin diuji. Kinerja pemerintahan dalam mengatasi atau menekan resesi dan pandemi Covid-19 akan disorot masyarakatnya. Produk usaha kuliner, mulai dari mikro hingga besar, juga akan dicermati dan dipilah-pilah oleh sebagaian besar konsumennya yang lebih mengutamakan keamanan ketimbang harga di tengah merebaknya penyakit yang disebabkan virus korona baru.
Di tengah perkembangan teknologi informasi, masyarakat akan semakin memilih produk-produk atau platform digital yang mampu memberikan tingkat keamanan penggunanya. Ini utamanya terkait dengan keamanan data pribadi pengguna yang berpotensi untuk diretas dan diperjualbelikan.
Apalagi, dari sektor jasa layanan keuangan, kepercayaan menjadi napas bisnis ini. Kasus-kasus investasi bodong, gagal bayar klaim asuransi, peretasan akun pembayaran, dan potensi jual-beli data nasabah semakin menjadi perhatian nasabah atau calon nasabah. Jika salah satu hal itu terjadi, nasabah sudah pasti berteriak menuntut hak dan kemudian hengkang dari produk atau perusahaan itu.
Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang tengah menjadi perbincangan panas sejak awal tahun ini juga ibarat brand yang membutuhkan dasar utama trust. Para pembuat brand tersebut saat ini tengah diuji dari berbagai sisi, terutama menyakut proses dan isi drafnya. Berbagai narasi membangun kepercayaan brand Cipta Kerja digulirkan. Misalnya, UU sapu jagat atau omnibus law itu mampu menghadirkan investasi yang berujung pada penyerapan tenaga kerja baru dan pekerja lama yang telah dirumahkan atau mengalami pemutusan hubungan kerja.
Di sisi lain, narasi atas ketidakpercayaan terhadap brand Cipta Kerja tersebut juga muncul. Misalnya, tentang semakin terpinggirkannya kaum marjinal (buruh/pekerja, nelayan, dan petani), kekhawatiran terhadap kerusakan lingkungan, semakin tereduksinya otonomi daerah, dan potensi terjadinya komersialisasi pendidikan.
Sekali lagi, kepercayaan merupakan napas produk dan layanan dari entitas usaha, lembaga, bahkan pemerintahan. Para penggunanya mampu menilai positif dan negatifnya setelah memakai produk dan layanan tersebut. Jika mereka sudah merasa tidak nyaman dan aman, produk itu akan ditinggalkan.