Mengelola Pertambangan Ekstraktif dengan Cara Berkelanjutan
Tembaga yang dihasilkan dari aktivitas pertambangan sangat dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Sejalan dengan itu, keberlanjutan juga harus menjadi perhatian dalam setiap aktivitas penambangan.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tembaga yang dihasilkan dari aktivitas pertambangan sangat dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Sejalan dengan itu, keberlanjutan juga harus menjadi perhatian dalam setiap aktivitas penambangan dan pengolahan sumber daya alam tidak terbarukan tersebut.
Hal tersebut menjadi salah satu pembahasan dalam acara Kompas Talks dengan judul ”Mining for Life” melalui siaran langsung Instagram Harian Kompas, Kamis (15/10/2020).
Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Tony Wenas selaku narasumber tunggal menjelaskan, tembaga dan mineral hasil tambang lainnya menjadi bahan baku penting dalam memproduksi barang-barang yang mendukung keseharian masyarakat. Barang-barang itu mulai dari jam tangan, alat makan, gawai, sampai alat transportasi yang digunakan publik.
Bahan baku tembaga bahkan juga banyak dimanfaatkan untuk membuat peralatan atau sistem yang mendukung kegiatan ramah lingkungan, sebut saja kendaraan listrik, panel surya, atau pembangkit listrik tenaga angin.
”Contoh, kebutuhan mobil listrik butuh tembaga empat kali lipat dari mobil konvensional. Pembangkit listrik tenaga angin butuh kabel tembaga lebih banyak dari kabel listrik biasa. Jadi, peran tembaga tetap dibutuhkan bagi manusia,” terangnya.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, saat ini total sumber daya bijih tembaga nasional mencapai 15,1 miliar ton dengan cadangan bijih tembaga sebesar 2,6 miliar ton. PT Freeport Indonesia memiliki cadangan 1,8 miliar ton bijih tembaga dari lima lapangan tambang di Papua.
Jumlah itu belum termasuk tambang bawah tanah di Grasberg yang memiliki total cadangan tambang bawah tanah mencapai 1,3 miliar ton. Menurut Tony, proses transisi penambangan di bawah tanah berlangsung hingga saat ini dan baru akan mencapai kapasitas produksi 100 persen pada 2022.
Terkait operasional pertambangan di PT Freeport Indonesia, aspek kelestarian lingkungan tetap menjadi perhatian. Aspek itu sudah tertuang dalam dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang diterbitkan pada 1997. Dokumen itu mengatur tata cara reklamasi daerah tambang yang tidak terpakai, seperti menanam kembali lahan dengan tanaman asli setempat.
”Misalnya, di Grasberg sudah sekitar 400 hektar ditanami tanaman. Daerah tailing atau sisa hasil tambang berupa batuan tergerus juga sudah sekitar 800 hektar. Kalau yang masih aktif belum bisa direklamasi,” tuturnya.
Dalam areal kerja Freeport yang luas itu pun masih banyak ditemukan spesies baru. Satu spesies tumbuhan baru misalnya, telah ditemukan dan dinamakan Diplycosia puradyatmikai Mustaqim, Utteridge and Heatubun sp nov. Diplycosia puradyatmikai tumbuh di semak dengan ranting kuat berwarna coklat, tangkai daun kemerahan, daunnya hijau, bulat, dan dipenuhi bulu halus. Spesies ini dapat tumbuh di habitat berketinggian 2.700-2.800 meter di atas permukaan laut.
Menurut Wakil Presiden PT Freeport Indonesia (PTFI) Bidang Komunikasi Riza Pratama, dalam keterangan pers, Sabtu (6/6/2020), di Jayapura, temuan itu dipublikasikan di jurnal internasional Phytotaxa pada 11 Mei 2020. Dalam eksplorasi dan publikasi tanaman itu, PTFI bekerja sama dengan IPB University, Universitas Papua, Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Papua Barat, serta Royal Botanic Gardens Kew dari Inggris.
Diplycosia puradyatmikai merupakan penemuan tanaman ke-29 PTFI dalam 23 tahun terakhir. General Superintendent of Highland Reclamation and Monitoring PTFI Pratita Puradyatmika menyatakan, penelitian dan penetapan Diplycosia puradyatmikai sebagai spesies baru memakan waktu 35 tahun sejak spesimen pertama dikoleksi pada 1985. Prosesnya lama karena area eksplorasi ekosistem alpin kompleks dan sulit menemukan kondisi fisik lengkap spesies tumbuhan itu.
Sementara untuk mengembalikan bentang alam ke kondisi sebagaimana sedia kalanya tahun ini, Freeport bahkan sudah menyiapkan dana jaminan penutupan seluruh pertambangan di Grasberg pada 2041. Total biaya penutupan tambang mencapai 350 juta dollar AS atau Rp 6 triliun.
Tidak hanya itu, Tony menjelaskan, Freeport juga bertanggung jawab dalam mengolah limbah hasil tambang, seperti oli bekas serta limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) lainnya. Limbah oli bekas, misalnya, diolah menjadi minyak bakar.
Pemahaman anak muda
Dengan memperhatikan peran pertambangan dan tanggung jawab industri terhadap lingkungan, Tony menilai anak muda perlu memahami dan mengawasi aktivitas tambang sebagai kegiatan yang bermanfaat.
”Pertambangan sifatnya mengekstrak sesuatu dari bumi, tetapi harus dilakukan dengan cara berkelanjutan. Produk yang digali memang tidak terbarukan dan aktivitas tambang mengubah bentang alam, tetapi pengelolaan bisa dilakukan sedemikian rupa agar pro terhadap daya dukung dan kelestarian lingkungan,” jelasnya.