Roda Usaha Peternak Kecil Terancam RUU Cipta Kerja
Pasal tentang pengutamaan produk dalam negeri, penciptaan nilai tambah di dalam negeri, dan kemitraan peternak dengan industri seperti di UU Peternakan dihapus di RUU Cipta Kerja. Eksistensi peternak kecil terancam.
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja mengubah pasal-pasal yang menyuratkan pengutamaan produk dalam negeri, penciptaan nilai tambah di dalam negeri, serta kemitraan dengan industri sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Perubahan ini berpotensi membuat peternak skala kecil menjadi semakin tidak bergairah dan berisiko gulung tikar.
Menurut Guru Besar Fakultas Peternakan IPB University Muladno, RUU Cipta Kerja bukan solusi terhadap problematika riil yang tengah dihadapi peternak. ”Perubahan tersebut (dalam RUU Cipta Kerja) justru tidak menciptakan pekerjaan bagi peternak di desa,” ujarnya saat dihubungi, Rabu (14/10/2020).
Hal itu salah satunya tampak dari perubahan Pasal 36B dalam RUU Cipta Kerja. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan Pasal 36B Ayat 1, pemasukan ternak dan produk hewan dari luar negeri ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dilakukan apabila produksi dan pasokan di dalam negeri belum mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat.
Ayat 2, 3, dan 5 dalam pasal itu menyebutkan, pemasukan ternak harus berupa bakalan yang beratnya tidak boleh melebihi batas berat tertentu. Pihak yang mengimpor bakalan wajib melakukan penggemukan di dalam negeri untuk memperoleh nilai tambah dalam jangka waktu paling cepat empat bulan sejak dilakukan tindakan karantina berupa pelepasan.
RUU Cipta Kerja mengubah Pasal 36B Ayat 1 menjadi pemasukan ternak dan produk hewan dari luar negeri ke dalam wilayah NKRI dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dengan memperhatikan kepentingan peternak. Ketentuan yang mengharuskan pemasukan ternak berupa bakalan pun tidak tertera dalam rancangan aturan itu.
Padahal, lanjut Muladno, ketentuan wajib impor produk ternak berupa bakalan bertujuan untuk mendapatkan nilai tambah di dalam negeri dan menciptakan kegiatan ekonomi. Penggemukan bakalan pun dapat menggerakkan petani yang menghasilkan hijauan bahan pakan untuk ternak ruminansia. Dengan tidak adanya ketentuan mengenai bakalan, Indonesia tidak lagi memiliki nilai tambah.
Ketua Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi Yeka Hendra Fatika menambahkan, perubahan Pasal 36B membuka peluang impor daging beku dan ayam potong beku yang berisiko membanjiri pasar. Produk hewan beku tersebut cenderung lebih murah dibandingkan yang dihasilkan peternak dalam negeri. Akibatnya, peternak dalam negeri akan gulung tikar dan beralih menjadi pedagang.
Selain itu, kegiatan peternakan turut berkontribusi dalam penyediaan bahan baku untuk pupuk organik dari kotoran hewan. Dengan tidak adanya kewajiban mengimpor dalam bentuk bakalan, petani akan kehilangan sumber bahan baku pupuk organik.
Tiada insentif
RUU Cipta Kerja turut mengubah Pasal 37 UU Nomor 41 Tahun 2014. Pasal 37 dalam dokumen RUU Cipta Kerja berbunyi, pemerintah pusat dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh pemerintah pusat membina dan memfasilitasi berkembangnya industri pengolahan produk hewan.
Dalam UU Nomor 41 Tahun 2014 Pasal 37 Ayat 1 disebutkan, pemerintah membina dan memfasilitasi berkembangnya industri pengolahan produk hewan dengan mengutamakan penggunaan bahan baku dari dalam negeri. Ayat 2 dan Ayat 2a dalam pasal yang sama mengamanatkan pemerintah membina terselenggaranya kemitraan yang sehat antara industri pengolahan dan peternak dan/atau koperasi yang menghasilkan produk hewan yang digunakan sebagai bahan baku industri. Kemitraan itu dapat berupa kerja sama permodalan atau pembiayaan, pengolahan, pemasaran, pendistribusian, dan/atau rantai pasok.
Menurut Yeka, perubahan Pasal 37 itu membuat peternak tidak lagi memiliki insentif dalam kegiatan beternak. Perlindungan bagi peternak pun semakin tergerus. Secara jangka panjang, industri peternakan nasional akan terdampak.
Sentralisasi
Selain itu, RUU Cipta Kerja mengubah UU Nomor 18 Tahun 2009 Pasal 29 Ayat 2 menjadi peternak yang melakukan budidaya ternak dengan jenis dan jumlah ternak di bawah skala usaha tertentu diberikan perizinan berusaha oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan pemerintah pusat.
Sebelumnya, ayat ini berbunyi, peternak yang melakukan budidaya ternak dengan jenis dan jumlah ternak di bawah skala usaha tertentu diberikan tanda daftar usaha peternakan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota.
Perubahan ayat itu, menurut Muladno, menimbulkan sentralisasi dalam proses perizinan usaha bagi peternak rakyat. Peternak rakyat berpotensi menghadapi kesulitan dalam membuat izin usaha apabila harus memperolehnya dari pemerintah pusat.
Yeka menilai, dampak perubahan pasal itu bergantung pada aturan teknis turunannya. ”Apabila tidak ada pertimbangan kondisi jenuh di sektor peternakan di suatu wilayah, keseimbangan suplai dan permintaan akan terganggu,” katanya.
Di sisi lain, Ketua Paguyuban Peternak Rakyat Nusantara (PPRN) Alvino Antonio mengatakan, perubahan tersebut mestinya dapat membuat data peternak semakin terintegrasi. Selama ini, pemerintah daerah belum memiliki data yang lengkap dan komprehensif mengenai peternak rakyat.
Dengan adanya data yang terintegrasi antara pemerintah pusat dan daerah, produksi bibit ayam umur sehari (day old chicken), kapasitas kandang, dan kebutuhan daging ayam di daerah akan terekam. Hal ini dapat membantu menyeimbangkan permintaan dan penawaran.