Penyesuaian Pajak dan Retribusi, Daerah Bisa ”Kering” Otonomi
Regulasi pajak dan retribusi daerah dalam RUU Cipta Kerja ”kering” otonomi. Penetapan tarif pajak dan retribusi yang berlaku secara nasional juga memperkecil ruang fiskal daerah.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Regulasi yang berkaitan dengan pajak dan retribusi daerah kembali muncul dalam draf Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Kebijakan pajak dan retribusi daerah akan diatur ulang dan ditetapkan secara nasional. Ini berpotensi menjadikan daerah ”kering” otonomi dan ruang fiskal semakin menyempit.
Di antara Bab VI dan Bab VII dalam draf RUU Cipta Kerja sepanjang 812 halaman disisipkan Bab VII A tentang Kebijakan Fiskal Nasional yang Berkaitan dengan Pajak dan Retribusi. Bab VII A ini sempat muncul dalam draf RUU Cipta Kerja sepanjang 905 halaman, tetapi hilang dalam draf sepanjang 1.035 halaman.
Ada dua aturan baru yang dinilai krusial dalam Bab VII A tentang Kebijakan Fiskal Nasional yang Berkaitan dengan Pajak dan Retribusi. Pertama, penyesuaian kebijakan pajak dan retribusi yang ditetapkan pemerintah daerah. Kedua, pemberian insentif fiskal oleh gubernur/bupati/wali kota kepada pelaku usaha di daerahnya.
Pasal 156 A menyebutkan, pemerintah pusat dapat mengubah tarif pajak dan retribusi yang ditetapkan pemerintah daerah dengan menetapkan tarif pajak dan retribusi yang berlaku secara nasional. Tarif yang berlaku secara nasional ini mencakup tarif atas jenis pajak provinsi dan pajak kabupaten, serta obyek retribusi.
Penyesuaian kebijakan pajak dan retribusi daerah dalam rangka mendukung kemudahan berinvestasi dan mendorong pertumbuhan industri dan atau usaha. Pemerintah pusat juga akan mengevaluasi peraturan daerah mengenai pajak dan retribusi yang dinilai menghambat ekosistem investasi dan kemudahan berusaha.
Adapun dalam Pasal 156 B, gubernur/bupati/wali kota dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di daerahnya untuk mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi. Insentif fiskal berupa pengurangan, keringanan, pembebasan, atau penghapusan pokok pajak dan atau sanksinya.
Tata cara pemberian insentif fiskal ditetapkan dengan peraturan kepala daerah. Sementara ketentuan penyesuaian tarif pajak dan retribusi daerah akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengatakan, regulasi pajak dan retribusi daerah dalam RUU Cipta Kerja ”kering” otonomi. Penetapan tarif pajak dan retribusi yang berlaku secara nasional tidak hanya memperkecil ruang fiskal daerah, tetapi membatasi reformasi di tingkat daerah.
Otonomi daerah yang direnggut pusat tecermin dalam pemilihan diksi dalam RUU Cipta Kerja. Dalam draf RUU sepanjang 905 halaman, Pasal 156 A menggunakan kata ”intervensi” terhadap kebijakan pajak dan retribusi yang ditetapkan pemerintah daerah (pemda). Kata ”intervensi” diubah dalam draf RUU 812 halaman menjadi ”melakukan penyesuaian”.
”Rezim pajak dan retribusi dalam RUU Cipta Kerja fiskal sekali. Otonomi yang seharusnya jadi momentum pembelajaran pemda hilang,” kata Robert yang dihubungi, Rabu (14/10/2020).
Dalam draf RUU sepanjang 905 halaman, Pasal 156 A menggunakan kata ”intervensi” terhadap kebijakan pajak dan retribusi yang ditetapkan pemerintah daerah. Kata ”intervensi” diubah dalam draf RUU 812 halaman menjadi ”melakukan penyesuaian”.
Menurut Robert, pemerintah pusat sebaiknya tidak menarik seluruh pajak dan retribusi daerah. Beberapa jenis tarif pajak yang memungkinkan berlaku secara nasional adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB). Sementara pajak hotel, restoran, hiburan, dan retribusi tetap wewenang pemda.
Penyesuaian tarif pajak dan retribusi daerah menimbulkan pro dan kontra sejak wacana digulirkan pada 2019. Kebijakan ini memang dinilai dapat memperbaiki keadilan iklim berinvestasi di dalam negeri, tetapi akan berdampak negatif terhadap kapasitas fiskal daerah.
Berdasarkan data yang diolah Universitas Indonesia, kemampuan pemda memungut pajak dan retribusi masih rendah. Rata-rata rasio pajak pemerintah daerah 1,2 persen pada 2017. Rasio pajak itu dihitung dari data agregasi provinsi, kabupaten, dan kota yang dibagi produk domestik bruto (PDB) nasional.
Dari 34 provinsi, hanya 10 provinsi yang rasio pajak pemerintah daerahnya di atas rata-rata 1,2 persen. Provinsi itu antara lain Bali, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kalimantan Selatan, Banten, Maluku Utara, Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Nusa Tenggara Barat.
Rata-rata rasio pajak pemerintah daerah di Indonesia tergolong rendah dibandingkan dengan sejumlah negara. Rasio pajak pemerintah daerah di Swedia, misalnya, 16 persen, Australia 4,4 persen, Portugal 2,3 persen, dan Hongaria 2 persen.
Hingga Rabu (14/10/2020) malam, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan dan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, yang dimintai konfirmasi terkait munculnya kembali regulasi terkait pajak dan retribusi daerah dalam draf RUU Cipta Kerja terbaru, belum memberikan jawaban.
Pada Senin (12/10/2020), Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu, dalam telekonferensi pers, tidak menampik tarik ulur regulasi pajak dan retribusi daerah dalam RUU Cipta Kerja. Regulasi masih harus dilihat secara keseluruhan, bukan hanya dalam konteks pajak dan retribusi daerah saja.
”Ini memang harus kita pikirkan pelan-pelan dalam bentuk apa nanti peraturannya. Saya tidak bisa jawab detail, tetapi ini harus dilihat secara keseluruhan, bukan hanya dalam konteks pajak dan retribusi daerah, tetapi hubungan antara pusat dan daerah,” kata Febrio.
Dalam RUU Cipta Kerja, lanjut Febrio, pemerintah harus memastikan kesinambungan antara pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Kendati sebagian jenis pajak dan retribusi ditarik ke pusat, pemerintah daerah akan mendapatkan transfer dana yang dapat digunakan untuk membangun perekonomian.