Pemulihan ekonomi negara-negara berkembang tertahan pandemi Covid-19 yang masih meluas.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Proyeksi pertumbuhan ekonomi global pada 2020 membaik kendati masih terkontraksi cukup dalam hingga 4,4 persen. Perbaikan ditopang kelompok negara maju yang mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan ekonomi pada triwulan III-2020.
Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi kelompok negara-negara berkembang diprediksi terkontraksi semakin dalam.
Dalam laporan proyeksi ekonomi global yang dirilis Dana Moneter Internasional (IMF), Rabu (14/10/2020), perekonomian negara-negara berkembang di luar China tumbuh negatif 5,7 persen. Proyeksi kali ini lebih buruk dibandingkan dengan proyeksi pada Juni 2020 yang negatif 5 persen.
Adapun pertumbuhan ekonomi kelompok negara maju pada 2020 diproyeksikan negatif 5,8 persen atau lebih baik dibandingkan dengan proyeksi Juni 2020 yang negatif 8,1 persen. Dengan demikian, proyeksi pertumbuhan ekonomi global menjadi negatif 4,4 persen atau lebih baik dibandingkan dengan proyeksi Juni 2020 yang terkontraksi 5,2 persen.
Konselor Ekonomi dan Direktur Riset IMF Gita Gopinath menuturkan, proyeksi perekonomian global mengalami revisi ke atas akibat sejumlah hal. Salah satunya, kontraksi ekonomi triwulan II-2020 yang lebih rendah dari perkiraan dan munculnya tanda-tanda pemulihan ekonomi pada triwulan III-2020.
Namun, prospek pemulihan ekonomi kelompok negara berkembang akan tertahan pandemi Covid-19 yang semakin memburuk, termasuk di Indonesia. Pertumbuhan kumulatif pendapatan per kapita di pasar dan ekonomi negara berkembang pada 2020-2021 diproyeksikan lebih rendah dari pertumbuhan negara maju.
”Pendakian dari krisis ini kemungkinan besar akan berlangsung lama, tidak merata, dan sangat tidak pasti,” ujar Gita.
Pada 2021, pertumbuhan ekonomi global diproyeksikan positif 5,2 persen. Pemulihan negara-negara yang mengandalkan layanan intensif kontak, seperti pariwisata dan ekspor minyak, akan lebih lambat daripada yang berorientasi pada sektor manufaktur.
Gita menekankan, krisis akibat pandemi Covid-19 akan meninggalkan ”luka” dalam jangka menengah karena pasar tenaga kerja memerlukan waktu untuk pulih, investasi terhambat ketidakpastian global dan masalah neraca perusahaan, serta ancaman putus sekolah yang merusak modal manusia.
”Setelah berbalik pada 2021, pertumbuhan global diperkirakan melambat bertahap menjadi sekitar 3,5 persen dalam jangka menengah,” kata Gita.
Pemerintah disarankan tetap mendukung pendapatan dalam bentuk transfer tunai, subsidi upah, atau asuransi pengangguran. Selain itu, untuk mencegah kebangkrutan dalam skala besar dan memastikan pekerja kembali produktif, perusahaan yang rentan harus tetap didukung melalui penangguhan pajak, moratorium utang, atau suntikan ekuitas.
Perekonomian Indonesia
Dalam laporan yang sama, IMF memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 menjadi negatif 1,5 persen. Dalam laporan tiga bulanan IMF edisi Juni 2020, Indonesia diproyeksikan tumbuh negatif 0,3 persen.
IMF memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 menjadi negatif 1,5 persen.
Secara terpisah, ekonom yang juga menteri keuangan periode 2013-2014, M Chatib Basri, menyampaikan, aktivitas perekonomian membaik pascapelonggaran pembatasan sosial berskala besar. Namun, kebijakan pembukaan kembali ini tidak menjadikan ekonomi dapat segera pulih.
Data indeks ritel, kepercayaan konsumen yang semula meningkat tajam pada Mei-Juni kembali melandai pada Juli-Agustus. ”Ekonomi sudah mulai membaik, sepakat. Namun, sampai kapan? Hal ini sangat menentukan dosis fiskal yang diperlukan sampai ekonomi benar-benar pulih,” katanya.
Menurut Chatib, pemulihan ekonomi Indonesia akan tertahan karena perubahan perilaku masyarakat. Kelompok masyarakat kelas menengah-atas memilih untuk tidak keluar rumah dan berbelanja karena khawatir terpapar virus. Implikasinya, pendapatan dialihkan ke tabungan.
”Pemulihan ekonomi tidak akan terjadi jika pandemi tidak teratasi. Hal ini karena perubahan perilaku masyrakat akan menahan pertumbuhan konsumsi dan investasi yang menjadi motor penggerak ekonomi,” ujar Chatib.
Pemulihan ekonomi tidak akan terjadi jika pandemi tidak teratasi.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyampaikan, Indonesia merapkan bauran kebijakan untuk menghadapi krisis akibat pandemi Covid-19. Bauran kebijakan tersebut untuk menjaga volatilitas nilai tukar dan aliran modal serta konsistensi target inflasi. Bauran kebijakan ini bisa diterapkan di semua negara berkembang.
Konsistensi target inflasi tidak bisa hanya mengandalkan kebijakan suku bunga, tetapi perlu intervensi nilai tukar dan manajemen aliran modal. Di Indonesia, tekanan nilai tukar terkait aliran keluar-masuk modal karena kepemilikan surat berharga negara oleh asing cukup tinggi, yakni 30-40 persen.
”Bauran kebijakan akan lebih efektif menjaga stabilitas sistem keuangan baik nilai tukar, harga, ataupun SBN pemerintah,” kata Perry.