Cari Uang dan Utang Sama-sama Sulit
Kondisi serba sulit saat pandemi memaksa semua orang melongok lagi neraca ekonomi mereka. Pendapatan sering kali tidak seimbang dengan pengeluaran. Tetapi, berutang tidak selalu menjadi jalan keluar.
Lambatnya perputaran roda ekonomi di masa pandemi tidak hanya menurunkan pendapatan. Di saat kantong sudah kosong, mencari pinjaman uang pun enggak gampang.
Pandemi Covid-19 ini cukup memukul Sukadi (47). Selama enam bulan terakhir, pendapatan sopir bajaj ini turun hingga tersisa separuh dari biasanya. Uang Rp 200.000 yang dulu biasa mengisi kantongnya dalam sehari kini tinggal kenangan. Bila keberuntungan datang, kini hanya Rp 100.000 yang digenggamnya setelah seharian bekerja.
”Rp 100.000 itu paling bagus ya, seringnya enggak sampai segitu. Itu pun masih kotor, belum dipotong bensin dan setoran,” ujarnya saat ditemui di depan Puskesmas Tanah Abang, Jakarta Pusat, Kamis (15/10/2020).
Baca juga : Pandemi Paksa Sopir Bajaj Menerima Bayaran Seikhlasnya
Sejak pandemi menghantam, pemilik bajaj memberi keringanan kepada Sukadi. Setoran tidak lagi dipatok Rp 80.000, tapi separuhnya saja sehari. Meski demikian, korting setoran ini masih terasa berat bagi Sukadi.
Sebagai gambaran, dari Rp 100.000 yang didapatnya, ia harus menyetor Rp 40.000 ke pemilik. Tak ketinggalan biaya BBM Rp 40.000 juga. Otomatis, hanya selembar uang Rp 20.000 yang menjadi rezekinya. ”Selain buat makan sehari-hari, saya juga butuh buat bayar kontrakan Rp 300.000 per bulan,” kata ayah dua anak ini.
Daftar kebutuhan yang panjang ini sempat mendorong Sukandi untuk meminjam uang kepada keluarga atau kerabatnya. Akan tetapi, pinjaman itu urung ia dapatkan karena kerabat mengalami kesulitan serupa. Di sisi lain, kemampuan Sukandi melunasi utang juga dipertanyakan.
”Di saat kayak gini, orang, kan, sulit mau percaya sama kita. Nggak ada yang tahu juga sampai kapan situasinya kembali normal lagi,” ungkapnya.
Daftar kebutuhan yang panjang ini sempat mendorong Sukandi untuk meminjam uang kepada keluarga atau kerabatnya. Akan tetapi, pinjaman itu urung ia dapatkan karena kerabat mengalami kesulitan serupa. Di sisi lain, kemampuan Sukandi melunasi utang juga dipertanyakan.
Satu-satunya yang bisa dilakukan Sukadi saat ini hanyalah meminta keringanan kepada si pemilik bajaj. Bulan lalu, misalnya, ia meminta kepada pemilik bajaj untuk menunda membayar setoran.
Baca juga : Sopir Bajaj dan Mikrolet Minim Perlindungan di Tengah Seretnya Pendapatan
Ia biasanya membayar setoran Rp 1,2 juta pada tanggal 27 setiap bulannya. Namun, September lalu, ia memohon pembayaran setoran ditunda. Kepada sang pemilik, Sukandi berjanji melunasi setoran akhir bulan ini atau bulan depan.
”Kalau buat bayaran setoran, saya jadi enggak bisa makan bulan kemarin. Mau enggak mau, saya tunda dulu bayarnya. Ya jatuhnya sama saja utang, sih,” ujarnya.
Berhemat
Serupa tapi tak sama. Pendapatan Risky (31), pengemudi ojek daring, juga jauh dari normal. Sebelum pandemi, keuntungan Rp 200.000 sehari ada di depan mata. Namun, Rabu (14/10/2020) kemarin, hanya Rp 9.500 yang digenggamnya.
Untuk memperoleh keuntungan Rp 200.000 seperti dulu setidaknya Risky harus merampungkan 10 pesanan sehari. Di masa pandemi ini, angka tersebut seakan mustahil. Paling mentok, lima pesanan yang diraihnya.
”Lima pesanan itu pas PSBB transisi yang pertama. Kalau sekarang, masih sekitar 1-2 pesanan,” kata warga Cilincing, Jakarta Utara, ini.
Keuangan yang seret ini menyulitkan Risky yang masih memiliki tanggungan cicilan mobil dan rumah. Apabila dijumlahkan, total cicilannya mencapai Rp 3,5 juta per bulan.
Cicilan mobil masih harus ia bayar hingga 1,5 tahun ke depan, sedangkan cicilan rumah lunas enam tahun lagi. Beruntung, istrinya masih aktif bekerja sebagai karyawan swasta sehingga cicilan-cicilannya tersebut masih mampu dipenuhi walaupun diikuti dengan pengetatan pengeluaran keluarga.
”Kebetulan istri masih kerja di Mampang, Jakarta Selatan. Gajinya kira-kira di atas UMR-lah. Jadi masih bisa diandalkan,” ungkapnya.
Pendapatan Risky (31), pengemudi ojek daring, juga jauh dari normal. Sebelum pandemi, keuntungan Rp 200.000 sehari ada di depan mata. Namun, Rabu (14/10/2020) kemarin, hanya Rp 9.500 yang digenggamnya.
Risky dan istri harus pintar-pintar mengelola keuangan. Membeli makanan di luar, misalnya, ditabukan sementara agar bisa berhemat. Sebagai gantinya, istri selalu memasak dan menyiapkan bekal untuk seluruh anggota keluarga.
”Dulu (istri) enggak pernah masak. Sekarang, istri selalu masak. Kalau kerja juga dia bawa bekal. Saya juga kalau nunggu penumpang enggak pernah di warung, di pinggir-pinggir jalan saja,” tambah ayah satu anak ini.
Hingga kini, Risky belum berpikir untuk mengambil pinjaman, baik ke kerabat maupun perbankan. Baginya, pinjaman akan menambah beban keluarga.
Aset keluarga berupa emas batangan seberat 6 gram menjadi pegangan Risky sekeluarga. Logam mulia ini hanya akan ia lepas di saat situasi mendesak.
Pinjam orang terdekat
Bhakti (29), karyawan asal Semarang, Jawa Tengah, memilih meminjam kepada kakak atau temannya jika ekonomi kian sulit. Alasannya, meminjam uang kepada orang terdekat sifatnya bisa lebih fleksibel.
”Kalau minjam di bank, kan, harus bayar tepat waktu. Kalau enggak, malah bisa kena denda. Beban lagi,” ungkapnya.
Dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas yang dilakukan 9-12 Juni 2020, masyarakat cenderung akan meminjam uang kepada keluarga terdekat jika mengalami kesulitan ekonomi di masa pandemi. Sebanyak 26,5 persen responden mengaku akan melakukan hal ini.
Sementara itu, 24,4 persen responden akan meminjam kepada teman, kerabat, atau saudara mereka. Adapun 9,7 persen responden akan meminjam kepada tetangga dan 9,3 persen memilih menjual aset.
Responden yang meminjam kepada pihak perbankan cenderung rendah. Hanya 4,3 persen responden yang akan meminjam ke bank. Di sisi lain, hanya 0,7 persen responden yang akan memanfaatkan uang seadanya atau tidak meminjam ke pihak mana pun.
Menurut Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Media Wahyudi Askar, masyarakat memang cenderung meminjam uang ke keluarga dan kerabat ketimbang ke perbankan dan koperasi saat mengalami kesulitan ekonomi. Alasannya, masih banyak masyarakat yang belum memahami program-program kredit yang ditawarkan perbankan.
”Berdasarkan survei yang pernah saya lakukan, 43 persen responden mengaku tidak memahami konsep finansial. Yang memahami hanya 14 persen,” ujarnya saat dihubungi.
Di sisi lain, pada masa pandemi ini masyarakat cenderung membutuhkan uang tunai dengan proses yang cepat dan tidak berbelit-belit. Cara paling efektif yang kerap dilakukan oleh kebanyakan keluarga di Indonesia adalah meminjam uang ke orang terdekat. Opsi lain yang kerap dilakukan adalah menjual aset mereka.
”Pola-pola ini harus segera ditangkap oleh pemerintah supaya program penanganan Covid-19 bisa efektif. Bantuan tunai kepada masyarakat rentan saat ini perlu menjadi prioritas,” katanya.
Selain mengajukan pinjaman ke keluarga dan kerabat, masyarakat kini juga mulai mengatur strategi dengan menghemat pengeluaran. Dari survei yang dilakukan oleh Media, angkanya mencapai 46 persen. Strategi lain yang dilakukan adalah menabung.
Kondisi serba sulit saat pandemi memaksa semua orang melongok lagi neraca ekonomi mereka. Pendapatan yang sering kali tidak seimbang dengan pengeluaran mesti disiasati dengan baik demi mencegah ekses yang lebih buruk lagi.