RUU Cipta Kerja menawarkan kemudahan guna menarik investasi dan membuka lapangan kerja. Namun, segenap kemudahan itu berpotensi mengundang para pihak yang justru merugikan masyarakat.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Segenap kemudahan investasi yang dijanjikan pemerintah melalui Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja berpeluang diboncengi oleh ”penumpang gelap”. Mereka adalah investor yang berniat mengeruk sumber daya alam tanpa memberi dampak bagi kesejahteraan masyarakat. Namun, pemerintah meyakinkan bahwa regulasi ini bisa mengatasi hambatan investasi, menarik lebih banyak investor, dan membuka lapangan kerja.
Peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, mengatakan, ada banyak manfaat dan kemudahan investasi yang dimunculkan RUU Cipta Kerja. Namun, segala kemudahan ini justru menarik pembonceng gelap. Mereka berinvestasi hanya untuk mengeruk sumber daya alam tanpa memberi dampak pada kesejahteraan masyarakat.
”Dengan segala hormat, ada kemudahan yang justru bisa ditumpangi oleh penumpang gelap, khususnya di aspek pengelolaan sumber daya alam. Andaikan semua pengusaha itu benar, bukan masalah. Namun, ada kelompok hitam yang berinvestasi untuk mengeksploitasi sumber daya alam tanpa memberi dampak ke kesejahteraan masyarakat,” kata Enny dalam diskusi ”UU Cipta Kerja untuk Siapa” yang digelar secara virtual di Jakarta.
Enny meragukan pemerintah memiliki peta jalan atau desain besar yang pada akhirnya bisa menyejahterakan masyarakat. Selama ini serapan tenaga kerja terus merosot, tidak sejalan dengan besarnya investasi yang masuk.
Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal, tahun 2010, penyerapan per Rp 1 triliun dapat mencapai 5.014 orang tenaga kerja. Pada 2019, penyerapan per Rp 1 triliun hanya mencapai 1.600 orang. Sementara realisasi investasi pada 2010-2019 meningkat drastis. Hal ini menjadi salah satu anomali yang perlu dijawab oleh pemerintah.
”Pemerintah harus punya cetak biru (blue print) perekonomian ke depan. Apa saja kendala investasi, apa yang kritis, dan krusial diselesaikan. Itu kemudian diintegrasikan lewat RUU ini dan RUU seharusnya tak dibahas dengan tempo sangat cepat seperti sekarang,” kata Enny.
Proses formil berupa simpang siur draf UU dan berubahnya sejumlah substansi dalam berbagai versi draf semakin menambah keruh persoalan. Apalagi, dalam berbagai versi draf, ada perubahan substansi yang signifikan meski RUU sudah disahkan di Rapat Paripurna DPR, 5 Oktober 2020.
Selain perubahan substansi di kluster ketenagakerjaan, ada juga perubahan signifikan pada penambahan bab khusus mengenai kebijakan fiskal nasional yang berkaitan dengan retribusi dan pajak. Bab ini memberi kewenangan kepada pemerintah untuk mengintervensi kebijakan pajak dan retribusi yang ditetapkan pemerintah daerah.
Bab ini sebelumnya tercantum di draf UU Cipta kerja versi 905 halaman (5 Oktober 2020), menghilang di draf versi 1.035 halaman (5 Oktober 2020 siang), dan kembali muncul di draf versi 812 halaman (5 Oktober 2020 malam).
Isi draf yang simpang siur dinilai menambah keraguan atas janji dan niat baik pemerintah untuk menarik investasi demi kesejahteraan rakyat. ”Ini pertama kali dalam sejarah penyusunan perundang-undangan, ada UU yang setelah disahkan, tetapi perbedaan versinya luar biasa,” kata Enny.
Problem investasi
Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Anton J Supit mengatakan, banyak persoalan terkait investasi selama ini berkaitan dengan aturan di undang-undang yang memengaruhi implementasi. Ia mencontohkan, investor padat karya akan ragu untuk berinvestasi di Indonesia jika biaya pesangonnya begitu tinggi.
Ia mengandaikan pabrik sepatu, dengan 9.000 karyawan dan 20 tahun masa kerja, harus menyiapkan setidaknya Rp 800 miliar untuk mem-PHK karyawannya. Sementara aset yang dimiliki terbatas. ”Selama UU Ketenagakerjaan saat ini masih ada, orang tidak akan berani masuk. UU ini harus diubah untuk memaksa orang melaksanakannya,” katanya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan, pemerintah menyusun UU Cipta kerja untuk memangkas regulasi yang terlalu gemuk dan menghambat penciptaan lapangan pekerjaan. ”UU Cipta Kerja mementingkan kepentingan rakyat dan menegaskan kepastian hukum yang dibutuhkan dalam penciptaan lapangan kerja,” Airlangga.
Buruh sebenarnya tidak keberatan dengan upaya pemerintah menarik investasi.
Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia Elly Rosita Silaban mengatakan, buruh sebenarnya tidak keberatan dengan upaya pemerintah menarik investasi. Namun, ikhtiar itu tidak seharusnya dijawab dengan mempreteli aturan ketenagakerjaan. Sebab, meski buruh mahal menjadi salah satu keluhan investor, kendala utama investasi bukanlah faktor regulasi ketenagakerjaan.
Laporan Global Competitiveness Report 2017-2018 dari Forum Ekonomi Dunia (WEF) pada 2019 menyebutkan, faktor utama penghambat investasi di Indonesia adalah korupsi, disusul inefisiensi birokrasi, akses pembiayaan, infrastruktur tidak memadai, dan kebijakan tidak stabil. Faktor peraturan tenaga kerja ada di urutan terbawah.