Pemerintah tidak bisa mengharapkan pertumbuhan investasi pada 2021. Konsumsi dan penanganan Covid-19 harus didorong dulu, baru kemudian investasi.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
Kompas/AGUS SUSANTO
Aktivitas sejumlah alat berat dalam proyek konstruksi pendirian pabrik otomotif di kawasan industri GICC, Desa Sukamukti, Kecamatan Bojongmangu, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Kamis (13/8/2020). Pemerintah tengah gencar berburu investor, khususnya bidang berbasis padat karya, untuk menekan dampak resesi. Sektor penanaman modal yang diincar, antara lain, industri alat kesehatan, energi, tambang, manufaktur, dan infrastruktur.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah akan kesulitan mendorong pertumbuhan investasi selama konsumsi masyarakat masih lemah. Permintaan domestik yang lesu, ekspansi bisnis sulit, ditambah kasus infeksi Covid-19 terus naik akan menurunkan daya saing investasi Indonesia.
Ekonom yang juga Menteri Keuangan periode 2013-2014, M Chatib Basri, Selasa (13/10/2020), mengatakan, perbaikan ekonomi memang terjadi setelah pelonggaran pembatasan sosial berskala besar, tetapi sementara. Mayoritas penduduk kelas menengah atas masih menahan belanja. Penemuan vaksin Covid-19 diharapkan mengubah situasi saat ini.
Namun, selama vaksin belum ditemukan dan didistribusikan, penerapan protokol kesehatan ketat tetap diperlukan. Implikasinya, operasional bisnis hanya bisa berjalan maksimal 50 persen sehingga risiko kebangkrutan membayangi. Pengusaha juga lebih memilih menahan ekspansi sehingga investasi tidak tumbuh.
”Karena itu, pemerintah tidak bisa mengharapkan pertumbuhan investasi pada 2021. Konsumsi dulu harus didorong kemudian investasi,” ujarnya dalam diskusi virtual ”Bincang APBN 2021” di Jakarta.
Pemerintah tidak bisa mengharapkan pertumbuhan investasi pada 2021. Konsumsi dulu harus didorong kemudian investasi. (M Chatib Basri)
Untuk mendorong konsumsi, lanjut Chatib, kebijakan fiskal tahun 2021 harus tetap ekspansif. Keputusan pemerintah mempertahankan pelonggaran defisit anggaran menjadi 5,7 persen tahun 2021 dinilai tepat. Namun, pelonggaran defisit tetap harus dibarengi perbaikan birokrasi dan penyerapan belanja.
Chatib menekankan, pemerintah jangan mengulang kesalahan tahun ini. Realisasi defisit APBN 2020 masih sangat rendah yang mencerminkan penyerapan anggaran pemerintah pusat dan transfer ke daerah bermasalah. Penyerapan anggaran terkendala isu-isu klasik, seperti koordinasi, desain program, dan ketakutan pengambilan keputusan.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, realisasi defisit APBN per 31 Agustus baru Rp 304 triliun atau 3,05 persen PDB. Padahal, pemerintah menetapkan defisit APBN 2020 sebesar Rp 1.039,2 triliun atau 6,34 persen.
”Pemerintah harus mencari program paling efektif yang menyerap belanja. Kalau institusi masih di era jurassic park, jangan datang dengan kebijakan ala star wars,” ujar Chatib.
Menurut Chatib, disiplin fiskal jangan terlalu cepat dilakukan ketika kondisi sektor privat masih lesu karena akan berbalik mengakibatkan kontraksi ekonomi. Disiplin fiskal ke level 3 persen sebaiknya saat ekonomi mulai pulih. Kondisi ini harus dibarengi pembiayaan yang hati-hati dan pruden.
Kepala Ekonom PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Andry Asmoro mengemukakan, peningkatan daya saing investasi memang diperlukan, tetapi bukan prioritas saat ini. Pemerintah sebaiknya fokus memulihkan sisi permintaan untuk menghindari risiko perbankan enggan menyalurkan kredit karena permintaan rendah atau credit crunch.
Di sisi lain, pemulihan sisi permintaan juga terkait dengan penanganan Covid-19. Jangan sampai Indonesia tertinggal dalam pemulihan ekonomi karena Covid-19 tak kunjung tertangani. ”Semakin lama berkutat dengan Covid-19, semakin lama dan kecil peluang investor akan masuk ke Indonesia,” ujar Andry.
Semakin lama berkutat dengan Covid-19, semakin lama dan kecil peluang investor akan masuk ke Indonesia.
KOMPAS/ADITYA DIVERANTA
Sepasang suami-istri memakai masker dan pelindung wajah saat melintas di Jalan Haji Agus Salim, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (13/10/2020). Sebagian orang makin waspada terhadap Covid-19 saat kurva penularan belum melandai.
Di sisi lain, pemerintah yakin investasi akan menjadi motor penggerak perekonomian pada 2021. Reformasi regulasi dilakukan demi menangkap momentum investasi salah satunya melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja. Berbagai relaksasi dan ketentuan baru dalam RUU Cipta Kerja diharapkan mampu memperbaiki daya saing investasi Indonesia yang dinilai masih lemah.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Febrio Kacaribu, Senin lalu, mengatakan, RUU Cipta Kerja menjadi payung hukum strategi memperbaiki peringkat kemudahan berusaha Indonesia (EODB) hingga masuk 40 besar dunia pada 2025. EODB Indonesia cenderung stagnan di peringkat ke-73 pada 2019 dan 2020. Bahkan, menurun dari 2018 di peringkat ke-82.
”Daya saing investasi Indonesia belum mengalami perbaikan signifikan. Perbaikan ini harus dilanjutkan dengan reformasi,” kata Febrio.
Ekonomi makro
Berdasarkan pemetaan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu, Covid-19 membentuk garis dasar atau baseline baru makro fiskal Indonesia. Rasio perpajakan diproyeksikan turun dari 9,76 persen pada 2019 menjadi 7,9 persen pada 2020 dan 8,18 persen pada 2021. Kondisi ini berkolerasi dengan pelebaran defisit APBN dan rasio utang terhadap PDB.
Defisit APBN akan tetap diperlonggar pada level 6,34 persen pada 2020 dan 5,7 persen pada 2021. Sementara rasio utang terhadap PDB akan melonjak dari 30,18 persen pada 2019 menjadi 37,6 persen pada 2020 menjadi 41,38 persen pada 2021.
SUMBER: BADAN KEBIJAKAN FISKAL
Dampak Covid-19: Membentuk Baseline Baru Makro Fiskal Indonesia.
Kepala Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara BKF Kementerian Keuangan Ubaidi Socheh Hamidi mengatakan, kondisi tahun 2020 dan 2021 akan memengaruhi kebijakan konsolidasi fiskal beberapa tahun ke depan. Pada 2023, pemerintah harus mengembalikan kebijakan disiplin fiskal
”Dampak Covid-19 signifikan sehingga memperlemah aktivitas perekonomian dan kinerja makro fiskal yang pada akhirnya memicu new baseline,” ujar Ubaidi.
Kinerja makro fiskal ke depan sangat dipengaruhi efektivitas penanganan Covid-19. Pemerintah perlu menjaga keseimbangan antara menjaga fleksibilitas dan pengendalian risiko dalam percepatan pemulihan dan penguatan reformasi. Karena itu, konsolidasi fiskal akan dilakukan sehalus mungkin dibarengi reformasi yang holistik.