Industri pengolahan Indonesia makin terpuruk. Kontribusinya terhadap produk domestik bruto terus menyusut, dari 27,75 persen pada 2000 menjadi 19,7 persen pada 2019. Fondasi perekonomian Indonesia pun menjadi tak kokoh.
Oleh
M Fajar Marta
·4 menit baca
DOK PRIBADI
M Fajar Marta, Wartawan ”Kompas”
Industri pengolahan atau manufaktur merupakan pendorong pertumbuhan ekonomi yang paling efektif dan memiliki multiplier effect paling besar terhadap aspek perekonomian lainnya. Tak hanya menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, industri manufaktur juga akan meningkatkan ekspor sekaligus mengurangi impor.
Dengan industri manufaktur yang kuat, daya tahan negara menjadi lebih kokoh, tidak rentan terhadap gejolak dan tidak tergantung pada pihak eksternal. Pendek kata, fundamen ekonomi suatu negara akan kuat apabila industri manufakturnya terus berkembang.
Sayangnya, industri pengolahan di Indonesia justru makin terpuruk. Kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB) terus menyusut, dari 27,75 persen pada 2000 menjadi 19,7 persen pada 2019, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS). Ini membuat industri pengolahan semakin tidak bisa diandalkan untuk mendorong perekonomian Indonesia.
Karena tak memiliki industri pengolahan yang kuat, pemerintah pun selalu kelimpungan mencari strategi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Beruntung, selama periode 2010-2012, terjadi lonjakan harga komoditas yang menjadi andalan ekspor Indonesia, seperti batubara, gas alam, minyak kelapa sawit, karet, tembaga, dan nikel. Harga ekspor batubara, contohnya, mencatat rekor dengan rata-rata 70 dollar AS per ton.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Tambang batubara
Selama periode tersebut, ekspor Indonesia melonjak. Pada 2011, misalnya, total nilai ekspor Indonesia mencapai 203,5 miliar dollar AS, yang merupakan rekor tertinggi.
Perekonomian Indonesia pun terdorong lonjakan ekspor tersebut. Pertumbuhan ekonomi selama periode 2010-2012 rata-rata mencapai 6,14 persen per tahun, capaian yang tergolong tinggi.
Namun, setelah booming komoditas reda, perekonomian Indonesia pun kembali lunglai. Ini tidak akan terjadi apabila Indonesia memiliki industri manufaktur yang kuat.
Kondisi ini menunjukkan perekonomian Indonesia sangat tergantung pada kondisi eksternal yang sifatnya keberuntungan. Padahal, keberuntungan itu tak selalu datang karena harga komoditas di pasaran internasional sangat fluktuatif, kadang tinggi, kadang rendah.
Pada 2013, laju perekonomian Indonesia melambat di bawah 6 persen dan menyentuh titik nadir pada 2015, dengan tumbuh hanya 4,88 persen. Pemerintah pun kembali kelimpungan mencari cara untuk mendorong perekonomian. Dunia usaha tak bisa berbuat apa-apa karena kinerja industri manufaktur semakin lemah dan keberuntungan berupa lonjakan harga komoditas tak ada lagi.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Industri manufaktur
Pemerintah akhirnya terpaksa mengambil peran dengan memberikan stimulus yang lebih besar guna mendongkrak perekonomian. Langkah ini bukan tanpa konsekuensi dan tanpa risiko. Karena bukan negara kaya, pemerintah harus berutang agar bisa memberikan stimulus. Semakin besar stimulus yang diperlukan, semakin besar pula utang yang harus ditarik.
Pemerintah memberikan stimulus dengan menggelontorkan dana besar untuk pembangunan infrastruktur yang massif di Tanah Air. Langkah ini diharapkan menggerakkan ekonomi yang lesu dan memberikan multiplier effect yang besar.
Gelontoran dana jumbo untuk pembangunan infrastruktur dimulai tahun 2015, mencapai Rp 260 triliun. Setiap tahun, pemerintahan Presiden Joko Widodo terus meningkatkan anggaran infrastruktur hingga mencapai Rp 415 triliun pada 2019. Selama kurun 2015-2019, total anggaran infrastruktur mencapai Rp 1.482 triliun atau Rp 348 triliun per tahun.
KOMPAS/YOLA SASTRA
Pembangunan infrastruktur Jalan Tol Padang-Pekanbaru.
Anggaran infrastruktur selama pemerintahan Presiden Jokowi periode pertama tersebut sebagai yang terbesar sepanjang sejarah republik. Sebagai perbandingan, anggaran infrastruktur pemerintahan sebelumnya rata-rata Rp 150 triliun per tahun.
Selama periode 2015-2019, infrastruktur yang telah terbangun antara lain 980 kilometer jalan tol, 3.793 km jalan nasional, 2.778 jalan perbatasan, 330 jembatan gantung, 15 bandara baru, MRT dan LRT, dan 65 bendungan.
Dengan strategi ini, pertumbuhan ekonomi memang terdongkrak dari level 4 persen menjadi 5 persen. Namun, konsekuensinya juga sangat besar karena utang negara menjadi membengkak.
Selama periode 2015-2019, penambahan utang baru mencapai Rp 2.169 triliun atau Rp rata-rata Rp 434 triliun per tahun yang tercatat sebagai periode dengan penarikan utang terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Sebagai perbandingan, pertumbuhan utang selama lima tahun tersebut lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan lima tahun sebelumnya yang hanya Rp 932 triliun.
Ini membuat rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) naik dengan cepat dalam lima tahun terakhir, dari 24,68 persen pada akhir 2014 menjadi 30,17 persen pada akhir 2019. Sebelumnya, rasio utang terhadap PDB tak pernah sebesar itu. Pada 2012, misalnya, hanya 22,9 persen.
Semakin besar utang, semakin besar pula beban bunga utang yang harus dibayar. Meningkatnya pembayaran bunga utang tentu akan mengurangi efektivitas belanja negara. Terbukti, rasio beban bunga utang terhadap belanja negara dalam lima tahun terakhir terus meningkat, dari 7,56 persen pada akhir 2014 menjadi 11,93 persen pada akhir 2019 dan diperkirakan menjadi 12,82 persen pada akhir 2020.
Tren itu menunjukkan porsi belanja negara yang digunakan untuk membayar bunga utang semakin besar. Sebaliknya, porsi belanja untuk program pembangunan semakin mengecil.
Melihat dampaknya yang begitu besar terhadap fiskal, penarikan utang tentu tak bisa terus-menerus dijadikan strategi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Karena itu, tak ada jalan lain bagi Indonesia selain mendorong laju industri manufaktur semaksimal mungkin. Agar ke depan tak tergantung lagi pada harga komoditas dan utang. Pandemi saat ini harus dijadikan momentum untuk mentransformasi struktur perekonomian Indonesia menjadi bertumpu pada industri manufaktur.