Substansi Kluster Ketenagakerjaan Berubah pada Detik Akhir
Sejumlah pasal RUU Cipta Kerja di kluster ketenagakerjaan berubah menjelang penyerahan draf RUU ke Presiden. Perubahan, antara lain, terjadi di beberapa substansi yang sebelumnya diprotes oleh kalangan buruh.
JAKARTA, KOMPAS — Substansi kluster ketenagakerjaan dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja berubah pada detik-detik akhir, Senin (12/10/2020), menjelang diserahkan kepada Presiden. Perubahan itu dinilai menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dan DPR dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.
Mengacu draf RUU Cipta Kerja versi 12 Oktober 2020 pagi yang berjumlah 1.035 halaman, ada delapan poin dalam kluster ketenagakerjaan yang substansinya berubah jika dibandingkan dengan draf versi 5 Oktober 2020, yang berjumlah 905 halaman.
Kedelapan poin perubahan itu adalah ketentuan tambahan bahwa istirahat/cuti panjang akan diatur di peraturan pemerintah; aturan pengenaan denda bagi pengusaha yang terlambat membayar upah dan bagi buruh yang melakukan pelanggaran yang disengaja; serta penegasan bahwa Dewan Pengupahan memberikan saran dan pertimbangan ke pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam merumuskan kebijakan upah.
Selain itu, ada ketentuan tambahan yang mengatur secara lebih detail mengenai alasan pemutusan hubungan kerja (PHK); perubahan ketentuan pembayaran pesangon; penghapusan sanksi untuk buruh yang mogok kerja; penegasan bahwa iuran Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JPK) akan dibayarkan oleh pemerintah pusat; serta penegasan bahwa JKP akan diberikan paling banyak 6 bulan.
Beberapa perubahan itu termasuk dalam isu yang diprotes buruh. Misalnya, aturan pesangon. Pasal 156 dalam draf versi 5 Oktober 2020 disebutkan, pemberian pesangon saat PHK diberikan ”paling banyak” 19 kali upah, sesuai masa kerja. Ketentuan ini sempat diprotes buruh karena dengan demikian, besaran pesangon terancam menjadi lebih rendah dari sebelumnya.
Mengacu pada ketentuan sebelumnya, yakni di UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, penghitungan uang pesangon diberikan ”paling sedikit” 19 kali upah sesuai dengan lama masa kerja.
Sementara dalam draf UU versi 12 Oktober 2020 pagi, frasa ”paling banyak” itu dihapus. Sebagai gantinya, Pasal 156 di draf itu berbunyi, uang pesangon diberikan ”dengan ketentuan” 19 kali upah sesuai masa kerja.
Baca juga: Buruh Pertanyakan Keberpihakan Negara
Isu lain, mengenai PHK. Draf versi 12 Oktober 2020 pagi juga memunculkan ketentuan tambahan lebih detail, yakni di Pasal 154A Ayat (1) mengenai alasan PHK. Draf itu memasukkan lagi aturan bahwa pengusaha harus memberi tiga kali surat peringatan sebelum mem-PHK pekerja. Sebelumnya, di draf yang dibawa ke paripurna, ketentuan dalam Pasal 161 UU Ketenagakerjaan itu dihapus.
Hal lain yang berubah dalam draf versi 12 Oktober 2020 adalah buruh tetap bisa menggugat dan memohon di-PHK ke pengadilan hubungan industrial jika pengusaha merugikan mereka. Misalnya, jika pengusaha menganiaya buruh, telat membayar upah, dan membahayakan nyawa buruh. Di draf sebelumnya, ketentuan dalam Pasal 169 UU Ketenagakerjaan itu dihapus.
Perubahan itu muncul setelah pengesahan RUU Cipta Kerja pada Senin (5/10/2020), memantik aksi unjuk rasa penolakan di sejumlah daerah pada 6-8 Oktober 2020. Penolakan datang dari serikat pekerja dan buruh, mahasiswa, serta elemen masyarakat lain. Unjuk rasa itu berujung ricuh dengan pembakaran fasilitas umum dan penangkapan pengunjuk rasa oleh polisi.
Jalan tengah
Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Anwar Sanusi mengatakan, tim dari Kemenaker dilibatkan dalam proses merapikan redaksional draf terbaru dengan DPR. Proses itu dilakukan sekitar sepekan setelah RUU Cipta Kerja disetujui untuk disahkan menjadi UU di rapat paripurna DPR, Senin (5/10/2020). ”Betul, kami ikut memberi masukan. Karena kami sudah ikut mengawal sejak di panja (panitia kerja). Ada tim khusus untuk itu,” katanya.
Terkait adanya sejumlah perubahan ketentuan dalam draf 1.035 halaman, Anwar mengatakan, beberapa hal yang pada draf sebelumnya belum jelas, dibuat jelas dalam draf terbaru itu. Saat ditanyakan, apakah perubahan itu dibuat untuk merespons penolakan dan unjuk rasa dari publik, Anwar mengatakan tidak semata-mata seperti itu.
”Tidak semata-mata begitu. Ada perujukan pasal per pasal yang memang harus dilakukan penyesuaian,” katanya.
Baca juga: Hak dan Perlindungan Buruh Terciderai
Saat ditanya mengenai sejumlah ketentuan yang berubah, misalnya isu pesangon yang tidak lagi diberikan ”paling banyak”, menurut Anwar, perubahan itu dilakukan agar tidak merugikan pihak mana pun, sebagai jalan tengah.
”Mungkin begini, jangan sampai (pemilihan kata) itu terlalu mengunci. Kalau kita membatasi paling banyak, tentu ada yang dirugikan. Kalau kita membatasi paling sedikit, juga ada yang dirugikan. Jadi, ya, sudah kita buat kalimat yang tidak usah menggunakan kata-kata itu,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan, ada empat rancangan PP yang harus disiapkan oleh Kemenaker. Pertama, terkait persoalan tenaga kerja asing. Kedua, terkait hubungan industrial. Ketiga, terkait JKP. Keempat, terkait sanksi-sanksi di ranah ketenagakerjaan.
Saat ini, proses itu sudah berlangsung di Kemenaker dengan mengacu pada draf 1.035 halaman. Forum tripartit nasional akan dibuka dengan serikat pekerja/buruh dan pengusaha untuk membahas bersama rancangan PP tersebut.
”Akan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, meski risikonya butuh waktu lebih lama karena harus mengonsolidasikan berbagai masukan,” katanya.
Jika ada perubahan draf RUU lagi, pihaknya tinggal menyesuaikan dengan yang terbaru. ”Kalau tidak ada perubahan lagi, mungkin titik koma. Dari sisi material sudah cukup jelas, apa yang harus kami turunkan lewat RPP,” ujar Anwar.
Baca juga: Karpet Merah Impor Pangan, Nasib Petani Jadi Taruhan
Draf berubah lagi
Sementara itu, Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar mengatakan, hingga Senin malam, Baleg DPR telah menuntaskan perbaikan terhadap draf RUU Cipta Kerja, yang terdiri atas 812 halaman. Draf ini berbeda dengan format sebelumnya yang dirilis oleh Kesekretariatan Jenderal, pada Senin pagi, yakni dengan draf dalam 1.035 halaman.
Terdapat sejumlah perubahan kembali di dalam draf 812 halaman tersebut, yakni terutama pada bagian retribusi dan pajak. ”Ini hanya soal perubahan format saja. Tadi kan 1.035 halaman dalam bentuk A4, sekarang dalam bentuk legal. Soal fromat kertas saja. Lalu ada perubahan substansi sedikit,” katanya.
Indra menegaskan, draf 812 halaman itu merupakan draf terakhir, dan tidak akan ada lagi perbaikan draf oleh Baleg. ”Iya, itu yang terakhir. Tidak ada lagi rapat perbaikan, karena sudah selesai,” ujarnya.
Sebelumnya, pada Senin siang, Indra sempat membenarkan, draf berjumlah 1.035 halaman itu sebagai draf terakhir yang akan dikirim ke Presiden. Namun, ia juga mengatakan, DPR masih memiliki waktu sampai Rabu (14/10/2020) untuk merapikan redaksional draf.
Draf 812 halaman itu merupakan draf terakhir dan tidak akan ada lagi perbaikan draf oleh Baleg
Indra mengatakan, draf versi 5 Oktober 2020 yang berjumlah 905 halaman adalah draf yang disepakati Badan Legislasi DPR dan menjadi dasar saat pengesahan di rapat paripurna DPR. Sementara draf setelah itu adalah yang redaksionalnya sudah dirapikan dan akan dikirimkan kepada Presiden.
Meskipun sejumlah ketentuan berubah di draf RUU Cipta Kerja versi 1.035 halaman, pasal-pasal krusial lain yang menjadi sorotan buruh karena mengancam hak dan perlindungan buruh tetap ada.
Antara lain, Pasal 59 yang menghapus batasan tegas masa kontrak pekerja PKWT (perjanjian kerja untuk waktu tertentu); penghapusan Pasal 65 yang meniadakan batasan tegas jenis pekerjaan yang bisa dialihdayakan; penetapan upah berdasarkan satuan waktu lewat pasal 88B; penetapan upah minimum kabupaten/kota yang diatur bersyarat dan penghapusan upah minimum sektoral dalam Pasal 89.
Baca juga: Dengarkan Suara Rakyat
Ketentuan yang ditengarai memudahkan proses pemutusan hubungan kerja juga masih diatur dalam draf terbaru. Misalnya, penghapusan Pasal 158 dan pasal 159 yang meniadakan pembuktian serta hak buruh untuk membela diri dan menggugat pengusaha jika tidak diterima di-PHK atas alasan kesalahan berat.
Tetap merugikan
Menanggapi perubahan di draf terbaru RUU Cipta Kerja itu, Wakil Ketua Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) Jumisih mengatakan, substansi draf yang terus berubah-ubah membuat masyarakat semakin bingung dan informasi semakin simpang-siur.
”Ini sungguh aneh dan ajaib. Bagaimana mungkin, RUU sudah diketuk palu, tetapi masih ada perubahan secara substansi?” kata Jumisih.
Ia mencurigai alasan di balik perubahan draf versi terakhir. Kemunculan draf terakhir, beserta perubahan substansi di dalamnya, menandakan proses formil telah diabaikan oleh pemerintah dan DPR saat membahas RUU ini.
Menurut Jumisih, meski dalam draf terbaru itu ada perbaikan terkait beberapa aspek, tetapi itu tidak mengubah substansi secara keseluruhan. Ia menegaskan, bukan hanya kluster ketenagakerjaan yang menjadi masalah, melainkan juga kluster-kluster lain yang merugikan rakyat secara keseluruhan.
”Tetap saja, posisi kita dirugikan sebagai rakyat. Jangan seolah-olah setelah kita melakukan aksi penolakan, lalu sedikit-sedikit substansi berubah. Itu tidak akan mengubah penilaian kami. Kok, membahas UU dianggap enteng seperti ini, padahal itu mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara kita,” katanya.
Baca juga: RUU Cipta Kerja Bukan Solusi
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal menuturkan, buruh akan tetap menempuh jalur hukum dan nonhukum untuk memprotes RUU Cipta Kerja. Selain langkah uji materi ke Mahkamah Konstitusi, buruh juga mendesak executive review dan legislative review, serta akan tetap mengadakan aksi unjuk rasa dan mogok nasional susulan secara tertib.
Ia mengatakan, protes buruh tidak datang dari udara kosong. Buruh telah mengawal proses pembahasan dan kesepakatan sejak tahap Panja RUU Cipta Kerja antara Baleg DPR dan wakil pemerintah. ”Kami juga terus berkomunikasi dengan anggota panja, mengecek ulang isu yang kami terima. Jadi, ini bukan hoaks, kami punya dasar pijakan yang tegas,” katanya.
Munculnya berbagai versi draf, mulai dari draf dengan 1.028 halaman, 905 halaman, 1.052 halaman, sampai 1.035 halaman, membuat informasi semakin simpang-siur dan memperparah kekecewaan publik. ”Rakyat dibodohi dengan retorika pemerintah yang meminta rakyat membaca sebelum protes, padahal bisa saja yang disahkan saat itu adalah kertas kosong,” katanya.