Pajak Jadi Daya Tarik, Penerimaan Berisiko Merosot
Pemerintah menambah daya tarik investasi lewat relaksasi perpajakan. Risiko penerimaan merosot diperhitungkan dalam APBN 2020 dan APBN 2021.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah akan merelaksasi sejumlah peraturan dan mengubah sanksi administrasi pajak. Langkah ini diharapkan menambah daya tarik investasi yang ditawarkan dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, selain pemberian insentif.
RUU Cipta Kerja meliputi perubahan berbagai ketentuan dalam tiga UU terkait perpajakan, yaitu UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, dan UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Sebelumnya, pemerintah menyusun RUU Ketentuan Umum dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian Perpajakan. Namun, RUU itu dibatalkan dan sebagian ketentuannya dimasukkan ke dalam RUU Cipta Kerja.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan, investasi menjadi kunci penciptaan lapangan kerja, peningkatan pertumbuhan ekonomi, dan produktivitas. Namun, iklim investasi masih menghadapi berbagai tantangan sehingga perlu reformasi besar dan cepat.
Iklim investasi yang belum ideal tecermin dalam peringkat kemudahan berusaha yang dirilis Bank Dunia. Dalam Laporan Kemudahan Berusaha 2020, Indonesia di peringkat ke-73 dari 190 negara. Beberapa indikator dalam kemudahan berusaha belum optimal, terutama terkait perizinan, hukum, dan perpajakan.
”Peringkat kemudahan berusaha Indonesia belum mengalami perbaikan signifikan. Perbaikan ini harus dilanjutkan dengan reformasi,” kata Febrio dalam telekonferensi pers di Jakarta, Senin (12/10/2020).
Dalam RUU Cipta Kerja, reformasi perpajakan mencakup empat aspek, yaitu penghapusan pajak penghasilan atas dividen yang diinvestasikan di Indonesia, perubahan penentuan subyek pajak orang pribadi, pengaturan ulang sebagian pengertian penyerahan barang kena pajak, dan kemudahan administrasi perpajakan.
Febrio menambahkan, reformasi perpajakan dalam RUU Cipta Kerja terutama dalam konteks perizinan. Pemerintah memberikan sejumlah insentif pajak, tetapi titik berat kebijakan adalah menyederhanakan dan merelaksasi regulasi. Tujuannya, memperbaiki kemudahan berusaha di Indonesia .
Insentif pajak
Pemerintah memberi beberapa insentif fiskal untuk meningkatkan daya tarik investasi. Salah satunya penghapusan PPh dividen dari dalam dan luar negeri yang diinvestasikan di Indonesia. Sebelumnya, wajib pajak badan dalam negeri dengan kepemilikan kurang dari 25 persen dikenai tarif PPh normal dan wajib pajak orang pribadi dikenai PPh final 10 persen. Tarif PPh 26 atas penghasilan bunga dari dalam negeri yang diterima subyek pajak luar negeri dapat diturunkan lebih kecil dari 20 persen. Adapun aturan saat ini 20 persen.
Bagian laba atau sisa hasil usaha koperasi serta dana haji yang dikelola Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) juga tidak dikenai PPh. RUU Cipta Kerja mengategorikan penghasilan kedua institusi tersebut bukan merupakan obyek pajak.
Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Suryo Utomo mengakui, pemberian insentif berisiko menurunkan penerimaan pajak. Risiko penurunan penerimaan sudah dipertimbangkan dan terkalkulasi dalam proyeksi APBN 2020 dan 2021. Insentif pajak perlu diberikan sebagai daya tarik. ”Pemberian insentif perpajakan akan lebih selektif dengan mempertimbangkan penciptaan lapangan kerja dan investasi baru yang mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi,” ujar Suryo.
Pemerintah juga mengubah sanksi administrasi pajak. Sanksi administrasi berupa bunga per bulan mengacu pada suku bunga yang ditentukan Menteri Keuangan dibagi 12, ditambah uplift factor sesuai dengan tingkat kesalahan wajib pajak. Aturan saat ini, sanksi administrasi berupa bunga per bulan dengan tarif tetap 2 persen.
Menurut Suryo, sanksi administrasi pajak diatur ulang karena terlalu besar dibandingkan dengan tingkat bunga yang berlaku umum. Pengaturan ulang sanksi juga dibarengi perbaikan administrasi pajak dan pemberian kepastian hukum.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda, menuturkan, reformasi perpajakan di tengah pandemi Covid-19 tetap harus dilakukan. Jika tidak, potensi penerimaan akan terus merosot. Rata-rata realisasi penerimaan perpajakan dalam satu dekade terakhir sekitar 93 persen dari target. Titik terendah pada 2015 yang hanya 83,29 persen.
Reformasi perpajakan di tengah pandemi Covid-19 tetap harus dilakukan.
Adapun rasio perpajakan pada 2019 sebesar 9,8 persen atau terendah dalam 10 tahun terakhir. ”Rasio perpajakan terus merosot yang mencerminkan penurunan kinerja perpajakan,” kata Nailul.