Optimalisasi Pemanfaatan Sumber Daya Nabati Akan Dorong Perekonomian
Perubahan arah industri yang memanfaatkan sumber daya nabati tidak hanya menguntungkan bagi lingkungan, tetapi juga secara ekonomi. Indonesia dinilai belum optimal mendayagunakan potensi sumber daya nabati.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perubahan arah industri yang memanfaatkan sumber daya nabati tidak hanya menguntungkan bagi lingkungan, tetapi juga secara ekonomi. Dengan kekayaan alam yang tersedia, Indonesia dinilai belum optimal mendayagunakan potensi tersebut.
Pandangan ini disampaikan akademisi Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Tatang Hernas Soerawidjaja. Tatang yang juga anggota Komisi Ilmu Rekayasa (KIR) menyampaikan pandangannya sebagai pembicara tunggal dalam Widjojo Nitisastro Memorial Lecture 2020 yang diadakan secara virtual, Selasa (13/10/2020).
Gagasan beralih ke perekonomian berbasis nabati (bioekonomi) telah muncul sejak awal abad ke-21. Menekan pemanasan global, akibat emisi karbon yang dipicu penggunaan bahan bakar fosil menjadi salah satu alasannya.
”Namun, selain mengurangi emisi gas rumah kaca, alasan dari gagasan bioekonomi ini adalah untuk menjamin pasokan energi, pengembangan industri sambil menyehatkan neraca pembayaran negara. Lalu, membuka kesempatan pekerjaan, terutama di perdesaan, memberikan nilai tambah sumber daya alam, dan mengurangi ancaman kesehatan,” paparnya.
Gagasan itu pada 2015 dituangkan juga ke dalam 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), yaitu industrialisasi yang inklusif dan berkelanjutan. Sebagai salah satu negara yang berkomitmen menjalankan agenda tersebut, Indonesia disebut Tatang belum optimal menggarap bioekonomi.
”Indonesia negara kepulauan terbesar di wilayah tropika dan memiliki tanah subur dengan keanekaragaman hayati. Potensi nilai ekonomi untuk pangan dan pakan, kesehatan, manufaktur, bioenergi, dan lainnya amat sangat tinggi,” katanya.
Tatang mencontohkan pemanfaatan tanaman penghasil gula, seperti aren dan lontar, yang kurang maksimal karena ketergantungan pada perkebunan tebu. Sejumlah pohon yang menjadi sumber asam lemak tertentu untuk bahan bakar, seperti pala, tengkawang dan taban merah, kelor, rambutan, hingga saga utan, juga kurang dimaksimalkan.
”Pemanfaatan minyak dari pohon-pohon itu memungkinkan setiap pulau atau daerah di Indonesia dapat memproduksi bahan bakar nabati biohidrokarbon,” katanya.
Pemerintah Indonesia kini tengah mengembangkan bahan nabati dari kelapa sawit untuk bahan bakar minyak (BBM) solar nabati. Saat ini, Indonesia mengarah pada pemanfaatan 100 persen bahan bakar nabati pengganti solar (B100) untuk semakim menekan impor BBM.
Sebelumnya, pemanfaatan bahan bakar 20 persen nabati pada solar atau B20 pada 2019 diklaim membantu Indonesia menurunkan impor solar hingga 45 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Konversi sumber energi itu juga membantu mengatasi menurunnya produksi minyak bumi di dalam negeri. Pada 2018, Indonesia hanya mampu memproduksi 283 juta barel dengan kebutuhan 466 juta barel dalam setahun.
Agar keanekaragaman hayati bisa dimanfaatkan sebagai sumber bioekonomi, Tatang berpendapat, Indonesia harus meningkatkan inovasi dan kreativitas dalam pemberdayagunaan sumber daya alam berproduktivitas rendah menjadi berproduktivitas tinggi.
Mengutip analisis Dietz pada 2018, Indonesia termasuk negara tanpa kebijakan dan strategi pembangunan bioekonomi. Hal itu, menurut Tatang, sejalan dengan daya saing inovasi Indonesia yang terbenam di antara negara-negara lain di dunia.
Berdasarkan Indeks Inovasi Global (GII), pada 2019, Indonesia berada di peringkat ke-85 dari 129 negara. Tahun ini, prestasi Indonesia turun menjadi peringkat ke-85 dari 131 negara.
”Padahal, Indonesia bisa memimpin bioekonomi dunia jika ada program-program yang bisa menyulut inovasi dan kreativitas generasi muda. Inovasi dan kreativitas harus mendapat perhatian pemerintah dan pihak terkait,” katanya.
Ia pun menyampaikan beberapa saran. Perguruan tinggi, misalnya, sebaiknya tidak hanya membelajarkan ilmu formal, tetapi juga mengenalkan kekayaan alam yang relevan dan menghidupkan adu pikir tentang bagaimana kekayaan alam dapat didayagunakan.
Lembaga riset dan badan usaha juga sebaiknya kerap mengadakan diskusi tentang pendayagunaan kekayaan alam dan riwayat keberhasilan inovasi yang banyak beredar di dunia maya.