Semangat mendorong pemanfaatan energi terbarukan terus tumbuh. Salah satu caranya adalah mengurangi pemakaian batubara pada PLTU dan menggantinya dengan limbah biomassa.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah bersama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) terus mendorong uji coba co-firing pada sejumlah pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU dengan memanfaatkan palet kayu. Metode ini untuk mengurangi penggunaan batubara yang menjadi sumber energi primer pada PLTU.
Namun, metode ini menghadapi tantangan penyediaan bahan baku palet kayu.
Metode co-firing dilakukan dengan mencampur material lain pada komposisi tertentu bersama batubara sebagai sumber energi PLTU. Persentase palet kayu dalam campuran rata-rata paling banyak 10 persen. Metode ini ada dalam dokumen Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional 2019-2038 sebagai salah satu cara konservasi energi pada sisi penyediaan sumber energi primer pembangkit listrik.
“Co-firing menjadi salah satu bagian rencana pemerintah mengoptimalkan energi terbarukan untuk mendorong target 23 persen dalam bauran energi nasional pada 2025,” ujar Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Agung Pribadi saat dihubungi, Minggu (11/10/2020).
Baru-baru ini, tambah Agung, uji coba co-firing diterapkan pada PLTU Ropa di Kabupaten Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur. PLTU tersebut menggunakan campuran biomassa 10 persen yang diperoleh dari tempat olahan sampah. Uji coba lainnya ada di PLTU Bolok, Kupang, NTT, yang menggunakan campuran palet kayu 5 persen.
Co-firing menjadi salah satu bagian rencana pemerintah mengoptimalkan energi terbarukan untuk mendorong target sebesar 23 persen dalam bauran energi nasional pada 2025.
Dalam siaran pers, Executive Vice President Corporate Communication and CSR PLN Agung Murdifi menyatakan, program co-firing merupakan bagian dari program transformasi PLN menjadi ”green company”. Tak hanya menggunakan palet kayu, metode ini juga memanfaatkan biomassa dari sampah ranting pohon, daun, sekam padi, dan serbuk kayu hasil gergaji. Bahan-bahan tersebut diolah untuk dipadatkan.
”Ini adalah teknologi substitusi batubara. Namun, kami tetap mempertimbangkan kualitas bahan bakar sesuai spesifikasi yang disyaratkan,” kata Agung Murdifi.
Pada 16 Agustus 2020, PLTU Gorontalo berkapasitas 2 x 25 MW yang diresmikan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa juga menggunakan metode co-firing. Campuran sebesar 5 persen menggunakan bahan palet kayu dari hutan lamtoro yang berlokasi di sekitar PLTU tersebut.
Dalam rapat dengar pendapat jajaran direksi PLN dengan Komisi VII DPR pada akhir Agustus 2020, Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini mengungkapkan, PLN berkomitmen mengoptimalkan penggunaan sumber energi bersih sebagai sumber energi primer pembangkit listrik. Beberapa hal yang dilakukan PLN adalah pengalihan pemakaian bahan bakar solar murni dengan biosolar (B-30), penggunaan teknologi rendah karbon pada sejumlah pembangkit, seperti teknologi supercritical dan ultra-supercritical, serta metode co-firing.
”Cara lainnya adalah dengan terus mendorong pengembangan pembangkit listrik tenaga bayu, pemanfaatan lahan bekas tambang sebagai area pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), atau membangun PLTS terapung pada waduk-waduk yang tak perlu pembebasan lahan,” ujar Zulkifli.
Metode co-firing dapat berpotensi mengurangi pemakaian batubara pada PLTU. Hanya, metode ini memerlukan kepastian ketersediaan palet kayu yang menjadi bahan campuran.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa menyebutkan, metode co-firing berpotensi mengurangi pemakaian batubara pada PLTU. Namun, metode ini memerlukan kepastian ketersediaan palet kayu yang menjadi bahan campuran. Harus ada syarat ketat agar produksi palet kayu tidak merambah hutan dan tidak memicu deforestasi.
”Selain soal ketersediaan bahan baku palet kayu, jarak antara lokasi stok palet dengan PLTU harus menjadi pertimbangan. Sebab, apabila jaraknya di atas 100 kilometer, akan menyebabkan pembengkakan biaya operasional. Metode co-firing juga bisa menjadi metode transisi untuk meninggalkan batubara,” kata Fabby.
Data pemerintah menunjukkan, sampai dengan Mei 2020, bauran energi pembangkit listrik di Indonesia masih didominasi batubara yang sebesar 63,92 persen. Gas berada di posisi kedua sebesar 18,08 persen, energi terbarukan sebesar 14,95 persen, dan bahan bakar minyak sebesar 3,05 persen.