Sejumlah klarifikasi dari pemerintah terkait RUU Cipta Kerja dinilai tidak jujur, parsial, dan simpang siur. Kesimpangsiuran, antara lain, dipicu ketidakjelasan draf RUU yang beredar.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Simpang-siur informasi mengenai Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja semakin semrawut dengan klarifikasi pemerintah yang dinilai parsial dan tidak jujur. Pemerintah dan DPR didesak segera membuka draf RUU versi final serta tidak melanjutkan pembahasan rancangan peraturan turunan sebelum ada kepastian draf yang final.
Perwakilan Gerakan Kesejahteraan Nasional (Gekkanas) dan Ketua Umum Federasi Pekerja Seluruh Indonesia Indra Munaswar, Minggu (11/10/2020), mengatakan, simpang-siur informasi yang terjadi terkait RUU Cipta Kerja belakangan menjadi tidak terbendung.
Pertama, pemerintah dan DPR sendiri mengatakan belum ada draf RUU yang final. Kedua, mengacu ke draf paling akhir versi rapat paripurna DPR pada 5 Oktober 2020, pemerintah sejauh ini dinilai belum mengklarifikasi duduk persoalan secara komprehensif dan jujur.
“Ini ibarat pembohongan publik. Ditambah, belum ada kepastian soal draf. Kalau seperti itu, siapapun tidak bisa mengklarifikasi dengan benar, karena draf dari DPR saat rapat paripurna ternyata bukan yang paling final,” kata Indra saat dihubungi di Jakarta.
Sebagaimana diketahui, Sabtu (9/10/2020), Presiden Joko Widodo angkat bicara untuk mengklarifikasi sejumlah isu di RUU Cipta Kerja yang dinilai berkembang menjadi hoaks di tengah publik. Penjelasan Presiden saat itu banyak menyoroti isu-isu di kluster ketenagakerjaan.
Isu yang disoroti Presiden adalah penghapusan upah minimum provinsi (UMP), upah minimum kabupaten/kota (UMK) dan upah minimum sektoral provinsi (UMSP). Presiden mengatakan, isu itu tidak benar karena pada faktanya upah minimum regional (UMR) tetap ada.
Selain itu, Presiden juga mengatakan, isu PHK sepihak itu tidak benar, karena faktanya perusahaan tidak bisa mem-PHK secara sepihak. Isu lain yang diklarifikasi Presiden adalah perihal penghapusan cuti serta penghapusan jaminan sosial dan kesejahteraan pekerja. Presiden menegaskan, RUU tidak menghapus kedua hal itu.
Menurut Indra, melihat kesimpangsiuran draf, pemerintah seharusnya tidak melanjutkan pembahasan rancangan peraturan turunan. Berdasarkan data Kementerian Koordinator Perekonomian, ada 35 peraturan pemerintah dan 4 peraturan presiden yang harus diselesaikan tiap K/L dalam waktu satu bulan, sesuai arahan Presiden.
“Tidak ada cara lain, pembahasan rancangan PP itu harus batal dulu, karena secara formil RUU ini masih ngawur. Mau membahas peraturan turunan seperti apa kalau drafnya juga belum final?” kata Indra.
Indra mengatakan, pemerintah harus membuka draf RUU yang final ke publik dan membuka dialog, bukan terburu-buru membahas rancangan PP tanpa landasan draf RUU yang jelas. Terkait proses formil ini, serikat buruh lewat Gekkanas tidak hanya akan menggugat ke Mahkamah Konstitusi, tetapi juga menggugat dari aspek keterbukaan informasi publik.
"Saat ini sedang dikaji. UU Keterbukaan Informasi Publik memungkinkan adanya pidana terhadap kebohongan publik," katanya.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar mengatakan, di satu sisi, simpang siur informasi di tengah publik memang ada. Hal ini antara lain disebabkan oleh ketidakjelasan sumber draf yang beredar. Namun, di sisi lain, sejumlah klarifikasi dari pemerintah tidak jujur, parsial, dan simpang siur.
Padahal, yang dibutuhkan oleh publik adalah kejujuran dan kepastian. Ia pun meminta agar pemerintah dan DPR segera membuka draf RUU yang final serta memberikan penjelasan yang komprehensif agar tidak menambah kesimpangsiuran informasi di tengah publik.
“Selagi rakyat berjuang di Mahkamah Konstitusi, pemerintah seharusnya jujur saja. Jangan terburu-buru dan tertutup. Beri kepastian, apa jaminannya RUU ini nanti tidak akan mendegradasi hak dan perlindungan buruh?” katanya.
Parsial
Jika dibandingkan dengan substansi draf paling terakhir yang berjumlah 905 halaman dan diterima langsungdari pimpinan Badan Legislasi DPR sebelum rapat paripurna, 5 Oktober 2020, beberapa penjelasan pemerintah masih parsial dan melenceng dari isi draf.
Sebagai contoh, keberadaan upah minimum memang tidak dihapus. Namun, keberadaan komponen upah minimum kabupaten/kota dan upah minimum berdasarkan sektor (UMSP atau UMSK) hilang karena Pasal 89 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dihapus dari draf RUU.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, penghapusan UMSP dan UMSK itu tidak adil terhadap pekerja di sejumlah sektor, seperti otomotif dan pertambangan. UMK yang dibuat tidak wajib itu juga bisa mengurangi standar upah minimum pekerja di sejumlah daerah.
“Nilai upah minimum mereka jadi sama dengan perusahaan baju atau perusahaan kerupuk. Itulah sebabnya, di banyak negara berlaku upah minimum sektoral,” katanya.
Isu mengenai PHK sepihak juga dinilai tidak tepat. Sebab, mengacu pada draf , keharusan pengusaha memberi surat peringatan sebanyak tiga kali sebelum mem-PHK pekerja karena melakukan kesalahan, sebagaimana diatur di Pasal 151 ayat (3), dihapus.
Demikian pula, Pasal 155 UU Ketenagakerjaan, yang mengatur PHK yang dilakukan tanpa penetapan pengadilan otomatis batal demi hukum, juga dihapus. “Jadi, klarifikasi Presiden tidak tepat karena PHK sepihak tetap bisa dilakukan dengan melihat ketentuan-ketentuan yang sekarang diatur di RUU Cipta Kerja,” kata Timboel.
Perihal penghapusan cuti juga menjadi sorotan. Presiden mengatakan cuti tidak dihapus, tetapi faktanya, draf RUU Cipta Kerja menghapus kewajiban pengusaha memberi cuti panjang kepada pekerja. Dalam RUU Cipta Kerja, ketentuan yang sebelumnya wajib di UU Ketenagakerjaan itu, diserahkan pada perjanjian kerja atau peraturan perusahaan masing-masing.
Hal lain, dalam paparannya, mengacu pada draf versi 905 halaman, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengklaim tidak ada penghapusan sanksi. Namun, draf RUU Cipta Kerja justru menghapus Pasal 184 UU Ketenagakerjaan tentang sanksi untuk pengusaha yang mem-PHK pensiunan tanpa jaminan pensiun dan uang pesangon. Sebelumnya, pengusaha bisa dipidana penjara 1-5 tahun atau denda Rp 100-Rp 500 juta.
Sosialisasi
Sekretaris Kemenaker Anwar Sanusi mengatakan, pemerintah akan segera membahas rancangan peraturan turunan. Untuk itu, akan dibuka forum tripartit nasional yang melibatkan serikat pekerja, buruh dan pengusaha. Untuk isu ketenagakerjaan, ada 3-5 rancangan PP yang harus disiapkan.
Saat ini, Kemenaker sedang gencar melakukan sosialisasi ke sejumlah elemen terkait substansi RUU Cipta Kerja. Anwar mengatakan, sosialisasi itu diharapkan bisa meluruskan informasi menyimpang terkait kluster ketenagakerjaan.
Pemerintah akan segera membahas rancangan peraturan turunan. Untuk itu, akan dibuka forum tripartit yang melibatkan serikat pekerja, buruh dan pengusaha.
Dalam kunjungan ke Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Sabtu malam, Ida kembali menjamin bahwa pemerintah akan menjamin perlindungan pekerja lewat RUU Cipta Kerja. Oleh karena itu, dalam penyusunan aturan turunan nanti, serikat buruh akan dilibatkan. “Saya ditugaskan Presiden untuk merumuskan sejumlah PP yang akan jadi turunan. Pemerintah akan sangat terbuka kepada buruh,” kata Ida.