RUU Cipta Kerja membuka peluang kapal ikan asing memanfaatkan perairan zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI) yang dikhawatirkan memukul daya saing nelayan lokal untuk mengisi ZEEI. Nasib nelayan lokal terancam.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perizinan kapal penangkapan ikan berbendera asing untuk beroperasi kembali di zona ekonomi eksklusif Indonesia yang tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja menuai penolakan sejumlah kalangan. Izin kapal ikan asing dikhawatirkan akan mematikan usaha nelayan lokal.
Perizinan berusaha kapal penangkap ikan berbendera asing diatur dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, yakni terkait perubahan Undang-Undang (UU) Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Dalam Pasal 27 UU 45/2009, kapal penangkapan ikan berbendera asing yang melakukan penangkapan ikan di zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI) wajib mematuhi perizinan berusaha dari pemerintah pusat, serta wajib membawa dokumen perizinan. Pelanggaran terhadap ketentuan itu dikenai sanksi administratif.
Adapun Pasal 28 mengatur kapal pengangkut ikan berbendera asing yang mengangkut ikan di wilayah pengelolaan perikanan di wilayah RI wajib memenuhi perizinan dari pemerintah pusat.
Penolakan RUU Cipta Kerja, antara lain, disampaikan oleh Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (Iskindo) dan Aliansi Nelayan Indonesia. Penyusunan RUU Cipta Kerja dinilai cacat prosedur karena tidak melibatkan partisipasi publik serta menuai keresahan dan mengabaikan dinamika sosial masyarakat kelautan dan perikanan.
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Iskindo Zulficar Mochtar mengemukakan, kebijakan moratorim kapal asing dan penutupan investasi perikanan tangkap bagi asing yang berlangsung selama 5 tahun terakhir telah berdampak tumbuhnya usaha perikanan rakyat dan meningkatnya stok ikan nasional. Pemberian izin operasi kapal asing di ZEEI akan menekan pelaku usaha dalam negeri dan nelayan kecil.
Penggunaan alat tangkap modern dan skala besar oleh kapal asing selama beberapa dekade telah menguras sumber daya ikan Indonesia. Pembukaan kembali operasi penangkapan ikan asing di ZEEI dikhawatirkan akan kembali melanggar zona tangkap kapal dalam negeri dan nelayan lokal.
”Penangkapan ikan skala besar dikhawatirkan mematikan usaha penangkapan ikan rakyat yang kini sedang tumbuh dengan modal dan kekuatan sendiri,” kata Zulficar, yang juga mantan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan, akhir pekan lalu.
Zulficar menambahkan, proses penyusunan RUU Cipta Kerja terkait kluser perikanan dan pengelolaan pesisir tidak transparan dan minim partisipasi publik dan pemangku kepentingan kelautan dan perikanan. Di sisi lain, terdapat indikasi resentralisasi kewenangan dalam pengelolaan sumber daya laut dan perizinan perikanan dan pengelolaan sumber daya pesisir yang ditarik ke pemerintah pusat menggambarkan pelemahan peran pemerintah daerah. Padahal, pengelolaan pesisir dan perikanan selama ini mengusung prinsip desentralisasi dan mendekatkan pengelolaan kepada rakyat.
Secara terpisah, Ketua Dewan Pengurus Pusat Aliasi Nelayan Indonesia (Anni) Riyono menilai, RUU Cipta Kerja akan berimplikasi pada tata kelola wilayah laut, kesejahteraan nelayan, kedaulatan negara di laut Indonesia. UU ini juga memberikan ruang laut untuk dikuasai oleh kapal asing. Dalam UU No 45/2009 tentang Perikanan disebutkan bahwa kapal berbendara asing harus menggunakan anak buah kapal dalam negeri minimal 70 persen. Namun, RUU Cipta Kerja menghapuskan aturan itu.
Anni mengkhawatirkan, operasi penangkapan ikan asing di ZEEI akan kembali melanggar zona tangkap kapal dalam negeri dan nelayan lokal. Selain itu, penangkapan ikan skala besar pun dikhawatirkan akan mematikan usaha penangkapan ikan rakyat yang kini sedang tumbuh dengan modal dan kekuatan sendiri.
Nelayan kecil
Pihaknya juga menyoroti definisi nelayan yang semakin kabur. RUU Cipta Kerja mengubah definisi nelayan kecil diubah sehingga tidak lagi berbasis kepemilikan kapal maksimal 10 GT dan hanya berbasis kegiatan penangkapan ikan. Hal ini dikhawatirkan mengancam perlindungan nelayan tradisional dan nelayan kecil.
”Ini membuat nelayan akan semakin sulit, bahkan kita akan sulit menemukan nelayan kecil atau tradisional di laut karena ruang laut bisa jadi dikuasai oleh pengusaha dan investor asing yang berlindung di balik RUU Cipta Kerja,” kata Riyono.
Ia menambahkan, RUU Cipta Kerja cacat secara prosedur dan melanggar UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang–undangan. RUU Cipta Kerja itu sulit diakses oleh publik.
Direktur Pengelolaan Sumber Daya Ikan Kementerian Kelautan dan Perikanan Trian Yunanda mengemukakan, kehadiran RUU Cipta Kerja sesuai dengan semangat percepatan dan efektivitas pengurusan izin. Selain itu, perizinan diintegrasikan ke dalam satu lembaga. ”Aturan tersebut menegaskan komitmen pemerintah untuk memudahkan dan mendukung pelaku usaha,” katanya dalam siaran pers.
Kehadiran RUU Cipta Kerja sesuai dengan semangat percepatan dan efektivitas pengurusan izin.
Sebelum RUU Cipta Kerja disetujui, Trian mengeklaim, proses perizinan melalui sistem informasi layanan cepat (silat) di lingkup KKP telah dipangkas dari 14 hari menjadi 1 jam dan dilakukan secara daring. Selama Januari-September 2020, pemerintah telah menerbitkan 1.787 izin usaha perikanan, 4.041 izin penangkapan ikan, dan 286 izin kapal pengangkutan ikan. Total penerimaan negara bukan pajak dari proses perizinan itu mencapai Rp 454,13 miliar.