OJK: Permodalan Bank Syariah Tetap dalam Pengawasan Kami
OJK mengklaim penulisan perundang-undangan bidang penanaman modal menggunakan huruf kecil dapat diinterpretasikan sebagai peraturan umum di bidang penanaman modal, termasuk peraturan OJK yang berkaitan dengan permodalan
Oleh
dimas waraditya nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Otoritas Jasa Keuangan memastikan tetap akan menjadi otoritas tunggal yang berwenang melakukan uji tuntas terhadap badan hukum asing yang mau berinvestasi atau mengakuisisi perbankan syariah nasional. Kepastian ini sempat dipertanyakan karena Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja tidak secara tertulis menyebutkan OJK sebagai pengatur investasi bank syariah.
Dalam Pasal 9 Ayat (3) RUU Cipta Kerja yang telah disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang pada 5 Oktober 2020 disebutkan, untuk menarik investasi modal asing, bank syariah mengacu pada peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal.
Pasal tersebut masuk dalam Bab III terkait Peningkatan Ekosistem Investasi dan Kegiatan Berusaha, Bagian Kelima tentang Penyederhanaan Persyaratan Investasi pada Sektor Tertentu, dan Paragraf 4 tentang Perbankan Syariah.
Sementara pada pasal dan ayat yang sama, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah memuat ketentuan tentang maksimum kepemilikan bank umum syariah oleh badan hukum asing diatur dalam peraturan Bank Indonesia (BI). UU ini dibuat sebelum ada pengalihan fungsi pengawasan perbankan dari BI ke OJK pada 2013.
Deputi Komisioner Hubungan Masyarakat dan Logistik Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Anto Prabowo, Jumat (9/10/2020), memastikan pengaturan permodalan pada industri keuangan, termasuk perbankan syariah, masih dalam kewenangan OJK. Penulisan perundang-undangan bidang penanaman modal menggunakan huruf kecil dapat diinterpretasikan sebagai peraturan umum di bidang penanaman modal, termasuk peraturan OJK yang berkaitan dengan permodalan.
”Semangat dari pasal ini adalah pemerintah membuka kepemilikan asing di perbankan dengan memperhatikan kondisi saat ini. Ini pun bergantung pada bagaimana kebutuhan ke depan untuk membuat industri perbankan syariah menjadi lebih kuat,” ujarnya melalui keterangan tertulis.
Pengaturan permodalan pada industri keuangan, termasuk perbankan syariah, masih dalam kewenangan OJK.
Komisaris Utama PT Bank Syariah Mandiri Mulya E Siregar menilai, ayat dalam pasal tersebut memang multitafsir dan perlu diperjelas agar tidak menjadi polemik di kemudian hari. Akan lebih baik jika ditegaskan secara tertulis apabila memang aturan permodalan bank syariah merujuk pada peraturan OJK.
”Tetapi mungkin juga dikarenakan semangat UU ini ingin mendorong investasi, maka aturan maksimum kepemilikan bank syariah oleh badan hukum asing pun diaturnya dalam UU Badan Koordinasi Penanaman Modal,” ujar Mulya.
Akan lebih baik jika ditegaskan secara tertulis apabila memang aturan permodalan bank syariah merujuk pada peraturan OJK.
Sebelumnya, pengamat ekonomi syariah IPB University, Irfan Syauqi Beik, mengatakan, perubahan ayat pada pasal yang mengatur permodalan bank syariah yang sebelumnya mengacu pada peraturan BI kemudian menjadi mengacu pada peraturan BKPM bisa menimbulkan persoalan.
”Kalau memang di industri bank konvensional yang sudah lebih mapan diaturnya hanya oleh peraturan OJK, seharusnya industri bank syariah juga sama-sama diatur OJK untuk menjaga unsur kesetaraan,” ujarnya.
Ia khawatir jika yang mengatur investasi pada industri perbankan syariah adalah BKPM, perbankan syariah perlu menyesuaikan diri untuk memenuhi peraturan penanaman modal asing dalam negeri. Padahal entitas industri keuangan tidak bisa disamakan dengan entitas-entitas dari industri lain seperti manufaktur.