Ada kekhawatiran bahwa UU Cipta Kerja memungkinkan seseorang menjadi pekerja kontrak selamanya. Lantas bagaimana nasib para pekerja kontrak saat ini dalam menghadapi ketidakpastian masa depan mereka dan keluarganya?
Oleh
INSAN ALFAJRI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Salah satu tantangan menjadi pekerja kontrak adalah ketidakpastian akan keberlanjutan kerja. Terlebih dalam Undang-Undang Cipta Kerja, soal ketenagakerjaan menjadi kontroversial, terutama terkait ketentuan perjanjian kerja waktu tertentu.
Ada kekhawatiran bahwa UU Cipta Kerja memungkinkan seseorang menjadi pekerja kontrak selamanya. Lantas bagaimana nasib para pekerja kontrak saat ini dalam menghadapi ketidakpastian masa depan mereka dan keluarganya.
Tak ada yang mau menjadi pekerja kontrak selamanya. Mereka yang selama ini menjalani profesi sebagai pekerja kontrak juga jelas-jelas tak ingin anak-anak mereka bernasib seperti orangtuanya.
Maka, investasi sebanyak mungkin diperlukan untuk menjamin masa depan keluarga para pekerja kontrak ini. Namun, investasi atau menabung menjadi tantangan tersendiri jika hanya salah satu pihak saja yang bekerja di keluarga tersebut.
Ini misalnya terjadi pada keluarga Jajang Diman (38). Gaji sebagai petugas penyedia jasa lainnya orang perorangan (PJLP) Dinas Pertamanan dan Hutan Kota DKI Jakarta menjadi satu-satunya sumber ekonomi keluarga.
Setiap bulan, dia menerima upah Rp 4,2 juta. Uang itu habis untuk menghidupi keluarga. ”Pengeluaran pokok itu untuk biaya kontrakan Rp 500.000. Terus, kalau ada utang di bulan sebelumnya, lunasin utang dulu. Kalaupun ada sisa, paling Rp 200.000 per bulan, itu pun tidak selalu bisa setiap bulan ada sisa,” kata Jajang ketika ditemui di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Sabtu (10/10/10) siang.
Tabungan yang tak selalu bisa ditambah setiap bulan itu dia gunakan untuk pulang kampung. Setiap tahun, Jajang membawa keluarganya ke Tasikmalaya, Jawa Barat. Sementara itu, dia belum punya dana darurat ataupun tabungan untuk jangka panjang. ”Kalau ada kebutuhan mendesak, ya ngutang,” jelasnya.
Dia dan keluarga tinggal di rumah kontrakan di Cakung, Jakarta Timur. Dua anaknya kini duduk di bangku SMP dan SD. Uang jajan mereka selama pandemi Covid-19 dapat ditekan karena belajar dari rumah. Di samping itu, paket internet pun dibantu pemerintah selama belajar dari rumah.
Sebagai PJLP, kontrak Jajang diperbarui setiap tahun. Dia harus memastikan kinerja bagus dan tak banyak catatan minor dari pengawas. Jika banyak catatan, kontraknya berpotensi diputus.
Posisi sebagai karyawan kontrak membuat Jajang tak berani bermimpi muluk-muluk. Dia terima kenyataan harus bertahan di rumah sewa selama berkarier. ”Akan sangat susah bagi saya kalau misalnya kredit rumah selama bekerja sebagai karyawan kontrak. Kalau kontrak tidak diperpanjang, nanti bayarnya bagaimana,” tambahnya.
Dibandingkan Jajang, kondisi keluarga Budi Setiawan (30) sedikit lebih baik. Dia bekerja sebagai pekerja kontrak di bank swasta. Sementara istrinya bekerja di perusahaan asuransi, juga sebagai pekerja kontrak.
Jika pendapatan mereka digabungkan, keluarga ini bisa mengantongi lebih dari Rp 10 juta setiap bulan. Budi dan istri bisa menabung hingga Rp 5 juta per bulan. Mereka bisa menekan pengeluaran lantaran masih tinggal bersama orangtua, dalam hal ini rumah mertua Budi di Jakarta Utara.
Akan sangat susah bagi saya kalau, misalnya, kredit rumah selama bekerja sebagai karyawan kontrak. Kalau kontrak tidak diperpanjang, nanti bayarnya bagaimana.
Selama dua tahun ke depan, dia berencana membeli tanah di kampung halamannya di Lampung. Ini untuk investasi jangka panjang. Apabila ada kebutuhan mendesak, dia sewaktu-waktu bisa menjual lagi tanah tersebut.
”Untuk tahun ini dan tahun depan, proyeksinya untuk investasi tanah itu. Belum kepikiran tinggal di rumah sendiri, baik yang sewa maupun rumah yang dibeli sendiri. Dua tahun ini masih tinggal di rumah mertua dulu,” ujarnya.
Dia sudah bekerja di bank swasta tersebut selama setahun. Target maksimal perpanjangan kontrak di perusahaannya adalah lima tahun. Setelah itu, perusahaan akan memutuskan apakah karyawan akan diangkat menjadi karyawan tetap atau tidak dipakai lagi.
Menurut Budi, tabungan dan investasi berguna untuk mempersiapkan situasi ini. Jika tidak diangkat menjadi karyawan tetap, Budi berencana membuka usaha. Namun, jenis usahanya masih belum dipikirkan hingga hari ini. ”Nanti sambil berjalan saja didiskusikan apa usaha yang mungkin dan bisa menghasilkan,” tambahnya.
Sementara itu, pekerja penanganan sarana dan prasarana umum (PPSU) Gelora, Tanah Abang, Jakarta, Aseni (59), menjelaskan, bekerja sebagai pasukan oranye selalu berada dalam keadaan waswas. Siang itu, dia sedang mengaso di bangku Jalan Pemuda, Jakarta.
”Kalau lagi duduk begini terus ada pengawas lewat, biasanya saya selalu ditanya, ’masih mau lanjut kerja tahun 2021, enggak?’ Padahal dia enggak tahu pekerjaan kita sudah selesai. Mungkin gajinya lebih besar dari tempat kerja saya dulu, tetapi suasananya kurang nyaman,” katanya.
Sebelum menjadi PPSU, Aseni bekerja sebagai petugas kebersihan di salah satu perusahaan di Blok M, Jakarta Selatan. Sudah 10 tahun dia bekerja di tempat itu. ”Kalau di perusahaan lama gajinya enggak sampai UMR (Rp 4,2 juta), tapi enggak ada bos yang main ancam,” katanya lagi.
Dari penghasilan sebesar Rp 4,2 juta itu, Aseni hanya membelanjakan Rp 500.000. Ini untuk biaya transportasinya dari Matraman, Jakarta Timur, ke tempat kerja. Sisa gajinya diberikan kepada istri untuk mengatur kebutuhan keluarga, termasuk anak semata wayang yang kini duduk di bangku SMK.
Aseni beruntung karena mendapat warisan rumah dari orangtua. Jadi, dia tak perlu lagi memikirkan sewa rumah.
Rumah itu bertingkat dua dengan ukuran 4 meter x 6 meter. Istri dan anaknya tidur di lantai atas. Sementara dia tidur di lantai dasar. Bangunan itu terbuat dari beton setinggi pinggang, sisanya berbahan papan.
Aseni menduga tak banyak uang tersisa dari gaji yang disetor kepada istri. Buktinya, lantai papan rumah yang reot belum juga bisa diganti. ”Itu rayapnya banyak sekali, kalau kita jalan di lantai dua serasa mau roboh. Ketika saya bilang ke istri untuk perbaiki rumah, katanya uangnya belum cukup,” katanya.