Undang-Undang Cipta Kerja diharapkan mendorong keberpihakan negara terhadap penyediaan lahan yang terjangkau untuk kepentingan umum, khususnya bagi upaya menyediakan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana pembentukan badan bank tanah dan badan percepatan penyelenggaraan perumahan yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja mensyaratkan perlunya sinergi antarbadan baru yang terbentuk. Upaya percepatan pemenuhan kebutuhan dasar papan memerlukan kepastian lahan yang terjangkau.
Ketentuan terkait bank tanah diatur dalam Bab VIII Pengadaan Tanah, Bagian Keempat tentang Pertanahan. Badan bank tanah diamanatkan menjamin ketersediaan tanah untuk kepentingan umum, sosial, pembangunan nasional, pemerataan ekonomi, konsolidasi lahan, dan reforma agraria.
Terkait reforma agraria, paling sedikit 30 persen dari tanah negara diperuntukkan bagi bank tanah. Tanah yang dikelola badan bank tanah diberikan hak pengelolaan, yakni hak menguasai dari negara.
Pembentukan badan bank tanah akan diatur dalam peraturan pemerintah. Adapun ketentuan mengenai komite bank tanah, dewan pengawas, dan badan pelaksana diatur dengan peraturan presiden. Selain badan bank tanah, UU Cipta Kerja juga mengatur pembentukan badan percepatan penyelenggaraan perumahan yang akan diatur lebih detail dalam peraturan pemerintah.
Ketua Umum Lembaga Pengkajian Pengembangan Perumahan dan Perkotaan Indonesia (LPP3I) atau Housing Urban Development HUD Institute Zulfi Syarif Koto berpendapat, UU Cipta Kerja diharapkan mendorong keberpihakan negara terhadap penyediaan perumahan masyarakat berpenghasilan rendah. Pihaknya mengapresiasi upaya pemerintah memasukkan lahan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah sebagai bagian dari peruntukan tanah bagi kepentingan umum.
Zulfi menilai, badan bank tanah dan badan percepatan penyelenggaraan perumahan harus dapat bersinergi untuk dapat merealisasikan pembangunan rumah susun di perkotaan bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
”Penyelenggaraan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah merupakan tanggung jawab pemerintah, pengembang, dan masyarakat. Mari duduk bersama untuk merumuskan penyediaan perumahan yang terjangkau,” kata Zulfi, Jumat (9/10/2020).
Zulfi menambahkan, kendala terbesar dalam kepemilikan hunian adalah lemahnya daya beli masyarakat berpenghasilan rendah. Apalagi, harga lahan cenderung semakin mahal. Rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah semakin terdesak jauh dari pusat kota, serta kerap tidak dekat dengan angkutan umum dan fasilitas umum. Dengan dibentuknya badan percepatan penyelenggaraan perumahan, masyarakat berpenghasilan rendah memiliki kesempatan lebih luas untuk memperoleh hunian layak.
Sekretaris Umum The HUD Institute Muhammad Joni menambahkan, tanah merupakan salah satu solusi menekan angka kekurangan rumah (backlog). Pemenuhan rumah rakyat merupakan tanggung jawab konstitusional pemerintah yang diamanatkan Pasal 28 UUD 1945.
”Bank tanah harus bisa merasionalisasi harga rumah agar lebih terjangkau, serta tidak membuat warga kian tersingkir dari kota dan lingkungannya,” katanya.
Meski demikian, ia menyoroti komitmen pemerintah dalam pengadaan sumber-sumber bank tanah. UU Cipta Kerja menyebutkan, bank tanah bersumber dari pengadaan tanah dan reforma agraria.
Apabila sumber bank tanah berasal dari pengadaan tanah, negara harus memiliki keberpihakan politik anggaran dalam mekanisme pengadaan tanah. Peraturan pemerintah harus memformulasikan secara detail terkait pengalihan aset tanah menjadi tanah negara dan mekanisme peruntukan.
”Politik hukum terkait aset bank tanah harus diformulasikan detail dalam peraturan pemerintah. Di situlah keberpihakan negara tidak boleh menghitung untung rugi aset bank tanah,” ujarnya.
Ia menambahkan, keterlibatan badan hukum swasta dalam pengelolaan tanah negara untuk perumahan rakyat dinilai wajar dengan peran sebatas pengembang rumah. Adapun status tanah harus dipastikan milik negara.
Secara terpisah, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Real Estat Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida mengemukakan, peran pengadaan bank tanah untuk perumahan rakyat bersubsidi sebelumnya sudah digulirkan pemerintah lewat Perum Perumnas. Akan tetapi, peran tersebut belum berjalan optimal.
Pembentukan bank tanah untuk perumahan diharapkan fokus ke masyarakat berpenghasilan rendah. Saat ini sekitar 80 persen dari 6.200 anggota REI merupakan pengembang rumah sederhana dan rumah subsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Pihaknya siap terlibat membangun rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah di atas lahan milik negara.
”Kami meminta pemerintah menentukan area untuk rumah sederhana subsidi guna menghindari spekulan dan mafia tanah,” kata Totok.