Sebanyak 36 perusahaan global resmi memungut PPN produk dan layanan digital. Potensi penerimaan dari salah satu korporasi itu diperkirakan Rp 500 miliar setahun.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
REUTERS/CHARLES PLATIAU/FILE PHOTO
Logo Alibaba Group di Paris, Perancis.
JAKARTA, KOMPAS â Sejauh ini sudah ada 36 perusahaan global yang resmi menjadi pemungut Pajak Pertambahan Nilai atau PPN atas barang dan jasa digital dari luar negeri. Perusahaan global itu akan mengenakan PPN sebesar 10 persen kepada konsumen di Indonesia.
Dari total 36 perusahaan, ada delapan perusahaan asing yang baru bergabung menjadi pemungut PPN atas barang dan jasa digital. Kedelapan perusahaan asing itu adalah Alibaba Cloud (Singapore) Pte Ltd, GitHub Inc, Microsoft Corporation, Microsoft Regional Sales Pte Ltd, UCWeb Singapore Pte Ltd, To The New Pte Ltd, Coda Payments Pte Ltd, dan Nexmo Inc.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan Hestu Yoga Saksama mengatakan, delapan perusahaan asing tersebut akan memungut PPN atas produk dan layanan digital yang mereka jual kepada konsumen di Indonesia mulai 1 November 2020. Tarif PPN sebesar 10 persen dari harga sebelum pajak.
âPungutan PPN juga harus dicantumkan pada kuitansi atau invoice yang diterbitkan penjual sebagai bukti pungut,â ujar Hestu, dalam keterangan tertulis, Jumat (9/10/2020).
Delapan perusahaan asing tersebut akan memungut PPN atas produk dan layanan digital yang mereka jual kepada konsumen di Indonesia mulai 1 November 2020. Tarif PPN sebesar 10 persen dari harga sebelum pajak.
Indonesia resmi mengenakan PPN atas produk digital dari luar negeri mulai 1 Agustus 2020 berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48 Tahun 2020. Beberapa perusahaan asing yang sudah memungut PPN kepada pelanggan di Indonesia antara lain Facebook, Netflix, Spotify, Twitter, LinkedIn, Skype, Zoom Video Communications, Tiktok, Amazon, Apple Distribution International, dan PT Shopee International Indonesia.
Hestu mengatakan, salah satu kriteria perusahaan asing pemungut PPN atas barang dan jasa digital dari luar negeri adalah memiliki penjualan Rp 600 juta per tahun atau Rp 50 juta per bulan. Perusahaan asing yang sudah memenuhi kriteria, tetapi belum menjadi pemungut PPN diharapkan segera menginformasikan ke DJP.
Dihubungi terpisah, Jumat, Research Manager Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menyebutkan, pemajakan barang dan jasa digital menggunakan PPN adalah solusi cepat atau quick wins saat ini. Pungutan PPN tidak menimbulkan perselisihan antara Indonesia dan perusahaan asing ataupun asal negaranya.
âPPN tidak akan ada perselisihan. Berbeda dengan PPh badan yang menimbulkan pro kontra terkait hak pemajakan. Organisasi Perdagangan Dunia bahkan merekomendasikan PPN atas jasa digital untuk mendukung perdagangan internasional,â tutur Fajry.
Negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) serta G-20 tengah merumuskan pengenaan pajak atas layanan digital berdasarkan kehadiran ekonomi signifikan (significant economic presence). Proses pencapaian konsensus sedang berlangsung hingga akhir 2020.
KOMPAS/HARYO DAMARDONO
Suasana kerja di Gedung MPK 21 Facebook di Menlo Park, California, Rabu (12/6/2019). Pegawai Facebook bekerja di ruang yang terbuka tanpa sekat-sekat.
Konsensus internasional, termasuk Indonesia, berencana mengenakan pajak langsung terhadap perusahaan-perusahaan layanan digital. Namun, pengenaan pajak langsung dihadapkan pada berbagai persoalan, antara lain persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B).
Potensi penerimaan
Sebelumnya, Kementerian Keuangan memproyeksikan potensi penerimaan PPN atas perdagangan melalui sistem elektornik (PMSE) mencapai Rp 10,4 triliun dengan asumsi nilai transaksi tahun 2017 sebesar Rp 104,4 triliun. Transaksi PMSE, antara lain, meliputi perangkat lunak dan aplikasi; gim, video, dan musik; serta media sosial dan layanan perusahaan over the top (OTT).
Fajry menuturkan, potensi penerimaan PPN dari PMSE sulit diproyeksikan karena mayoritas proses bisnis menawarkan layanan gratis atau freemium. Perusahaan dengan layanan gratis ini tidak ada penerimaan PPN. Pungutan PPN hanya berlaku bagi perusahaan dengan layanan berbayar atau premium.
âOleh karena itu, potensi penerimaan PPN PMSE tidak bisa menggunakan data makro atau industri, seperti data akses penggunaan platform,â kata Fajry.
Berdasarkan hitungan CITA, potensi penerimaan PPN dari salah satu platform layanan terbesar bisa mencapai Rp 500 miliar. Bahkan, potensi penerimaan bisa lebih tinggi pada masa pandemi Covid-19 menjadi sekitar Rp 700 miliar. Hitungan potensi penerimaan tidak bisa dipukul rata karena kapasitas setiap platform layanan berbeda.
Fajry menambahkan, potensi penerimaan PPN dari PMSE memang cukup besar. Namun, belum cukup untuk menutup defisit APBN 2020 yang diperkirakan mencapai Rp 1.039 triliun atau 6,37 persen PDB. âPungutan PPN PMSE tidak cocok jika tujuan pengenaan pajaknya untuk mencari penerimaan, tapi demi menciptakan keadilan berusaha,â katanya.
Sebelumnya, ekonom Bank Dunia Bidang Makroekonomi, Perdagangan, dan Investasi, Jaffar Al-Rikabi, berpendapat, potensi penerimaan Indonesia cukup besar, tetapi belum digarap optimal. Penerimaan pajak seharusnya bisa ditingkatkan dengan mengenakan pajak digital atas konsumsi produk digital dari luar negeri.
Upaya meningkatkan penerimaan melalui reformasi perpajakan tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Berdasarkan pengalaman beberapa negara di dunia, butuh waktu setidaknya 6-10 tahun untuk meningkatkan rasio pajak yang berujung ke peningkatan penerimaan. Rasio perpajakan Indonesia relatif rendah, hanya 9,76 persen pada 2019.