Rentetan Deflasi Jadi Tanda Bansos Tak Terhubung ke Sistem Pangan
Deflasi sepanjang Juli-September 2020 menandakan tak terhubungnya bantuan sosial dengan sistem pangan. Bantuan mengalir ke masyarakat, tetapi hasil panen petani tak terserap. Deflasi adalah sinyal buruk pertanian.
Oleh
M Paschalia Judith J
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sepanjang Juli-September 2020, Indonesia mengalami deflasi, indeks harga konsumen turun dalam tiga bulan berturut-turut. Hal ini dinilai menjadi indikator tidak terhubungnya bantuan sosial, yang bertujuan menjaga daya beli masyarakat, dengan sistem pangan nasional.
Menurut pegiat Komite Pendayagunaan Pertanian, Khudori, deflasi selama tiga bulan berturut-turut menandakan tidak terkaitnya program bantuan sosial (bansos) dengan pangan dan pertanian nasional.
”Deflasi menjadi sinyal buruk bagi pertanian. Produksi pertanian berjalan terus, tetapi penyerapannya tidak sesuai harapan. Hal ini dapat menyebabkan anjloknya harga di tingkat petani,” katanya dalam diskusi yang digelar oleh Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka) secara virtual, Kamis (8/10/2020).
Program bansos idealnya berhubungan dengan produksi pangan setempat. Keterhubungan itu, misalnya, sejumlah daerah berinisiasi menyalurkan bantuan pangan ke masyarakat yang membutuhkan selama pandemi Covid-19 dengan memanfaatkan hasil panen di wilayahnya. Sayangnya, inisiatif ini masih bersifat sporadis.
Badan Pusat Statistik (BPS) mendata, Indonesia mengalami deflasi secara bulanan sepanjang triwulan III-2020. Deflasi pada Juli, Agustus, dan September 2020 masing-masing sebesar 0,1 persen, 0,05 persen, dan 0,05 persen dibandingkan dengan satu bulan sebelumnya.
Keterkaitan antara produksi pertanian dan program bantuan sosial, lanjut Khudori, juga dapat diwujudkan dengan menyerap pangan lokal. Dampaknya, anggaran untuk bantuan sosial tidak hanya menjaga daya beli penerima manfaat, tetapi juga jaminan penyerapan hasil panen petani sebagai produsen pangan.
Dalam penyaluran bantuan pangan, akses penerima manfaat ke gerai penyalur atau e-Warong (Elektronik Warung Gotong Royong) patut menjadi perhatian. Keterbatasan akses dapat membuat penerima manfaat membeli bahan pangan yang tidak sesuai dengan keinginan ataupun kebutuhannya.
Di sisi penerima manfaat, ketepatan sasaran seluruh program bansos menjadi aspek krusial. Apabila memungkinkan, pemerintah membuat mekanisme yang membuat penerima manfaat tidak membelanjakan uang yang diterima untuk produk nonpangan.
Ketua Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi Yeka Hendra Fatika menilai, kebijakan bantuan sosial terputus dengan pangan. ”Pendapatan produsen sejumlah komoditas pangan tengah menurun, misalnya peternakan dan hortikultura,” katanya.
Data BPS menunjukkan, nilai tukar petani (NTP) hortikultura pada September 2020 sebesar 97,38 atau turun 0,43 persen dibandingkan sebulan sebelumnya. NTP peternakan pun turun 0,63 persen menjadi 98,01.
Staf Ahli Kementerian Sosial Andi ZA Dulung memaparkan, penerima bantuan sembako dalam menghadapi pandemi Covid-19 berjumlah 20 juta keluarga penerima manfaat (KPM). Anggarannya mencapai Rp 43,6 triliun. Hingga Desember 2020, setiap KPM menerima Rp 200.000 per bulan.
Pada 2021, pemerintah berencana memutakhirkan data terpadu kesejahteraan sosial bersama BPS. Selain itu, Kementerian Sosial tengah merumuskan regulasi yang mengatur pemasok bantuan sembako atau yang berorientasi pada pangan.