Mereka Pilih Buka Usaha ketimbang Cari Lowongan Kerja
Sebagian pekerja yang menjadi korban pemutusan hubungan kerja kini lebih yakin merintis usaha ketimbang mencari kembali lowongan kerja. Mereka beranggapan, nasib pekerja ternyata tak selalu lebih baik dari berdagang.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·5 menit baca
Menjadi pekerja tidak selalu indah. Kenyataan inilah yang mendorong sejumlah mantan pekerja untuk banting setir. Mereka tidak lagi berdiri di bawah bayang-bayang orang, tetapi berpijak di atas kaki sendiri. Keuntungan yang tak pasti tiada membuat jera.
Jumat (9/10/2020) siang, Solikun (39), penjual kopi keliling, melayani para pembeli di kawasan Taman Pirus, Permata Hijau, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Tak jauh dari tempatnya berdiri, sekumpulan pengemudi ojek daring duduk di taman sambil menenggak minuman buatan Solikun.
Pria yang menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK) ini tak pernah menyangka bahwa dagangannya bakal laku keras seperti sekarang. Sebab, di awal berjualan pada Maret silam, jumlah pembeli hanya bisa dihitung dengan jari. ”Awal-awal buka dulu kebetulan bersamaan dengan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Sepi banget yang beli. Kalau sekarang, alhamdulillah sudah ramai terus,” katanya saat ditemui.
Saat ini, Solikun rata-rata bisa mendapatkan penghasilan Rp 180.000-Rp 200.000 per hari. Apabila ia bekerja setiap hari tanpa libur, dalam sebulan penghasilannya bisa Rp 5 juta-Rp 6 juta. Angka itu setara dengan dua kali lipat gajinya dulu.
Saat ini, Solikun rata-rata bisa mendapatkan penghasilan Rp 180.000-Rp 200.000 per hari. Apabila ia bekerja setiap hari tanpa libur, dalam sebulan penghasilannya bisa Rp 5 juta-Rp 6 juta. Angka itu setara dengan dua kali lipat gajinya dulu.
Sebelum berkeliling menjajakan kopi, Solikun adalah pramubakti pada kantor notaris di Jakarta Pusat. Pandemi Covid-19 membuat roda ekonomi seret sehingga kantornya mengeliminasi sejumlah karyawan. Maret 2020, Solikun diberhentikan setelah tiga tahun bekerja. Saat itu, ia hanya mendapatkan pesangon satu kali gaji, yakni Rp 2,5 juta.
”Gaji saya dulu tidak sampai UMR (upah minimum regional), tapi saya juga enggak enak kalau mau protes. Saya kerja di sana karena diajak teman waktu itu,” ungkapnya.
Pesangon itu belakangan ia gunakan sebagai modal usahanya. Ditambah sepeda motor yang sudah dimilikinya terlebih dahulu, ia berkeliling mencari penghidupan.
Saat ini, Solikun tak ingin kembali ke dunia kerja. Tidak ada surat lamaran kerja yang dilayangkannya. Ia memilih terus berjualan. Bahkan, ia berangan-angan untuk membuka warung kopi jika modal cukup.
Gaji saya dulu tidak sampai UMR (upah minimum regional), tapi saya juga enggak enak kalau mau protes. Saya kerja di sana karena diajak teman waktu itu.
Selain urusan pendapatan, waktu kerja Solikun kini jauh lebih fleskibel dan santai. Ia biasanya berangkat dari rumahnya di Kebayoran Lama sekitar pukul 09.00 dan pulang pukul 17.00. Sementara, saat di kantor notaris, ia bekerja dengan ritme tinggi dari pukul 07.00 hingga 17.00.
”Saya dulu kerjanya memfotokopi, menstempel, dan mengantarkan dokumen. Kerjanya bolak-balik ke banyak tempat,” ujarnya.
Kini, Solikun juga berencana membelikan laptop untuk putrinya yang duduk di bangku SMP. Sebelumnya, jangankan untuk memikirkan laptop, untuk membayar biaya kontrakan rumah senilai Rp 500.000 saja ia merasa berat.
Nasib Arif (32) tak jauh berbeda dengan Solikun. Pada Juli lalu, ia juga di-PHK oleh perusahaannya. Lagi-lagi, efisiensi menjadi dalih perusahaan untuk mendepak para karyawannya. Tak terkecuali Arif yang saat itu menjadi pesuruh (OB) alih daya.
Arif yang sudah menjadi OB selama 10 tahun itu kemudian mendapatkan pesangon dari BPJS Ketenagakerjaan Rp 15 juta. Uang itu sampai sekarang masih tersimpan utuh. Ia berencana akan memulai usaha bermodalkan pesangon itu.
Setelah didepak dari perusahaannya, Arif sempat beralih menjadi pak ogah yang membantu pengendara di persimpangan. Dua hari terakhir, Arif mulai merintis usaha berjualan masker scuba di pinggir Jalan Permata Hijau, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
”Ini mulai ikutan jualin masker temen, kemarin baru untung Rp 30.000. Coba liat dulu hasilnya gimana, soalnya lagi nyari-nyari usaha yang pas,” kata pria yang tinggal di Kota Bambu Selatan, Jakarta.
Selama bekerja sebagai OB, lulusan SMK ini menerima gaji UMR sebesar Rp 4,2 juta. Bukan angka yang sedikit. Meskipun begitu, ia cukup yakin untuk membuka usaha ketimbang harus kembali bekerja sebagai OB.
Hal yang sama juga dijalani oleh Wildan (28). Dulunya, ia adalah admin di sebuah event organizer (EO) di daerah Mampang, Jakarta Selatan. Namun, pada Juli lalu, kantornya mengurangi karyawan agar bisa bertahan. Ia pun menjadi salah satu tumbalnya.
Kini, ia mulai banting stir ke sektor kuliner. Meski belum mulai membuka usaha, Wildan tengah merintis ke arah sana. Ia membantu kakaknya yang berjualan di warteg di Jalan Petamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
”Sekarang saya bantuin kakak jualan warteg. Saya mau cari ilmunya dulu. Kalau udah siap, rencananya mau buka warteg sendiri,” katanya.
Selama berjualan di warteg, Wildan mendapatkan komisi dari kakaknya. Rata-rata, ia bisa mengantongi Rp 2 juta dalam sebulan. Angka tersebut masih jauh dari gajinya sebagai admin yang mencapai Rp 3 juta sebulan.
Kendati demikian, hal itu tidak menjadi masalah bagi Wildan. Toh, jika sudah membuka usaha sendiri, ia optimistis bisa mengantongi hasil jauh di atas pendapatannya saat masih menjadi pesuruh. Setidaknya, untuk saat ini ia bisa mengadopsi ilmu dari kakaknya.
Rupanya ada hal lain yang memengaruhi keputusan Wildan. Ia semakin yakin untuk membuka usaha karena polemik Undang-Undang (UU) Cipta Kerja. Munculnya pasal-pasal yang bermasalah membuatnya berpikir ulang untuk kembali menjadi pekerja.
”Melihat diskusi di grup-grup Whatsapp, rasanya jadi males mau kerja lagi. Penginnya buka usaha kuliner kayak kakak. Saya sudah memikirkan tempat di Ciputat,” ungkap pria asli Tegal, Jawa Tengah, ini.
Para korban PHK tersebut seakan trauma dengan kenyataan pahit yang mereka terima beberapa bulan silam. Mereka khawatir, hal serupa bisa terjadi kembali saat terjun ke dunia kerja lagi. Membuka usaha menjadi alternatifnya yang dianggap terbaik untuk saat ini.