Harga Anjlok dan Berhemat Penyebab Deflasi di Banyuwangi
BPS Banyuwangi menyebut, selama September, Banyuwangi mengalami deflasi 0,17 persen. Anjloknya harga sejumlah komoditas dan pola penghematan diduga menjadi salah satu penyebab terjadinya deflasi di Banyuwangi.
Oleh
ANGGER PUTRANTO
·4 menit baca
BANYUWANGI, KOMPAS — Badan Pusat Statistik Banyuwangi menyebut, selama September 2020, Banyuwangi mengalami deflasi sebesar 0,17 persen. Anjloknya harga sejumlah komoditas dan pola penghematan diduga menjadi salah satu penyebab terjadinya deflasi tersebut.
Terjadinya deflasi ini hampir merata di delapan kota Indeks Harga Konsumen di Jawa Timur. Dari delapan kota tersebut, hanya satu kota, yaitu Kediri, yang mengalami inflasi.
Dalam rilis yang diterima Kompas di Banyuwangi, Jumat (9/10/2020), Kepala Seksi Statistik Distribusi BPS Banyuwangi Mulyono menjelaskan, deflasi terjadi karena adanya penurunan harga yang ditunjukkan oleh turunnya sebagian besar indeks kelompok pengeluaran.
”Beberapa harga komoditas yang turun antara lain kelompok perawatan pribadi dan jasa lainnya sebesar 0,55 persen; kelompok makanan, minuman, dan tembakau sebesar 0,46 persen; serta kelompok transportasi sebesar 0,22 persen,” ujarnya.
Mulyono mengatakan, pada September, beberapa komoditas mengalami penurunan harga. Beberapa di antaranya telur ayam ras, emas perhiasan, tongkol diawetkan, daging ayam ras, angkutan udara, udang basah, dan pisang.
Telur ayam
Telur ayam ras, kata Mulyono, menjadi salah satu komoditas pemicu utama terjadinya deflasi. Anjloknya harga telur ayam memberikan andil 0,09 persen terhadap deflasi di Banyuwangi.
Kami memberikan stimulan kepada pelaku seni melalui sanggar-sanggar seni. Sanggar-sanggar tersebut kami minta mengisi acara di sejumlah hotel untuk jumlah tamu terbatas. Harapannya pekerja seni kembali mendapat pemasukan yang dapat mereka belanjakan.
Supriyanto penjual telur di Pasar Banyuwangi mengakui sempat terjadi penurunan harga telur di bulan September. Tak tangung-tanggung, harga telur turun hingga Rp 3.000 dalam kurun waktu kurang dari dua minggu.
”Di awal September, harga telur ayam ras sekitar Rp 23.000 per kg. Tidak sampai tengah bulan, harganya sudah Rp 20.000 per kg. Biasanya naik turunnya hanya sekitar Rp 500 sampai Rp 1.000 per kg,” ujarnya.
Supriyanto menambahkan, kendati ada penurunan harga, tidak ada lonjakan jumlah pembelian. Saat harga telur lebih murah, jumlah telur yang ia jual tetap stabil di angka 50 kg per hari. Menurut dia, hal itu terjadi karena kebutuhan warga terhadap telur tetap stabil.
Selain telur, komoditas yang mengalami penurunan harga dan menjadi pemicu deflasi ialah harga daging ayam negeri. Daging ayam memberikan andil hingga 0,03 persen terhadap deflasi di Banyuwangi.
Rahma, salah satu pedagang ayam di Pasar Banyuwangi, menyebut harga ayam di bulan September mengalami penurunan. Pada akhir Agustus, daging ayam yang dijual Rp 30.000 per kg, sedangkan di pertengahan September harganya turun menjadi Rp 26.000 per kg.
Selain penurunan harga sejumlah komoditas, penurunan pemasukan yang mendorong penghematan juga disinyalir memicu terjadinya deflasi. Kekhawatiran terjadinya resesi membuat warga lebih berhati-hati saat berbelanja.
Pemangkasan tunjangan
Tri Karyanto, salah seorang PNS di Banyuwangi, mengatakan, pandemi membuat kebijakan pemangkasan tunjangan kinerja tambahan penghasilan pegawai (TPP). Kendati tidak terlalu berpengaruh bagi pemasukan, hal itu membuat ia memilih untuk mengurangi kebiasaan jajan bersama keluarganya.
”Kalau dulu, mungkin seminggu sekali bisa makan di luar bersama keluarga. Namun, karena kondisinya serba prihatin, ya dikurangi jajannya. Kalau mau beli sesuatu, juga lebih hati-hati. Kalau bisa ditunda, lebih baik uangnya ditabung,” tuturnya.
Pun demikian dengan Dyah Nita, salah satu karyawan hotel di Banyuwangi. Ia mengungkapkan, pandemi membuat penghasilannya berkurang. Hal itu terjadi karena kebijakan unpaid leave dan berkurangnya tunjangan service karena minimnya tamu hotel.
”Akhir-akhir ini, saya memilih untuk berhemat saat belanja. Biasanya sebulan sekali pasti belanja baju untuk kerja atau untuk anak. Sekarang saya tidak membeli karena pos anggaran hanya cukup untuk kebutuhan bulanan,” ujarnya.
Dyah mengaku juga memilih sebisa mungkin berhemat. Untuk kebutuhan cabai rawit, misalnya, ia kini mengandalkan dari tanaman yang ia tanam di kebun depan rumahnya. Tanaman yang ia tanam sejak awal pandemi itu kini sudah mulai bisa dipanen.
Pemerintah Banyuwangi sebenarnya tidak tinggal diam menghadapi kondisi ini. Salah satu cara untuk menjaga daya beli ialah dengan menggeliatkan kembali pekerja seni. Sebelum pandemi, pekerja seni mendapat pekerjaan minimal seminggu sekali. Namun, selama pandemi, mereka benar-benar kehilangan pekerjaan.
”Kami memberikan stimulan kepada pelaku seni melalui sanggar-sanggar seni. Sanggar-sanggar tersebut kami minta mengisi acara di sejumlah hotel untuk jumlah tamu terbatas. Harapannya, pekerja seni kembali mendapat pemasukan yang dapat mereka belanjakan,” tutur Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas.
Anas mengatakan, ada 60 sanggar seni yang terdiri dari sanggar tari, jaranan, barong, hingga kesenian Janger. Dalam sekali tampil, sanggar-sanggar mendapat upah Rp 3 juta hingga Rp 10 juta. Cara ini berdampak positif bagi pelaku seni sekaligus bagi perekonomian Banyuwangi.
Pekerja seni kembali mendapat pekerjaan, tamu hotel mendapat hiburan atraksi dan sekaligus dapat kembali membuat perekonomian Banyuwangi perlahan berputar.