RUU Cipta Kerja Turut Atur Syarat Investasi Asing di Bank Syariah
Bank syariah juga diatur juga dalam RUU Cipta Kerja, terutama menyangkut investasi asing. Ini dikhawatirkan akan menghilangkan kesetaraan perlakuan antara bank syariah dan bank konvensional.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengaturan bank syariah dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, terutama terkait persyaratan investasi. Payung hukum baru tersebut memunculkan adanya perbedaan regulasi kegiatan usaha bank syariah dan bank konvensional.
Dalam RUU Cipta Kerja yang telah disahkan menjadi UU itu disebutkan, untuk menarik investasi modal asing, bank syariah berkiblat pada peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal. Sementara untuk hal yang sama, bank konvensional tetap dipayungi peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Pasal 9 Ayat (3) RUU Cipta Kerja menyebutkan, kepemilikan bank syariah diatur oleh peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal. Pasal ini masuk dalam Bab III terkait Peningkatan Ekosistem Investasi dan Kegiatan Berusaha, Bagian Kelima tentang Penyederhanaan Persyaratan Investasi pada Sektor Tertentu, Paragraf 4 tentang Perbankan Syariah.
Sementara pada pasal dan ayat yang sama, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah memuat ketentuan tentang maksimum kepemilikan bank umum syariah oleh badan hukum asing diatur dalam peraturan Bank Indonesia (BI).
Perubahan juga terjadi pada Pasal 78 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang sebelumnya memuat ketentuan persyaratan pendirian ditetapkan oleh BI. Pada pasal dan ayat yang sama dalam RUU Cipta Kerja, tertulis persyaratan pendirian bank ditetapkan oleh OJK. Pasal ini tertuang dalam Bab III terkait Peningkatan Ekosistem Investasi dan Kegiatan Berusaha, Bagian Kelima tentang Penyederhanaan Persyaratan Investasi Pada Sektor Tertentu, Paragraf 3 tentang Perbankan.
Pengamat ekonomi syariah IPB University, Irfan Syauqi Beik, Rabu (7/10/2020), mengatakan, perubahan ayat dari pasal yang mengatur pendirian bank konvensional yang sebelumnya dibebankan kepada BI menjadi dibebankan kepada OJK sebagai keniscayaan. Pasalnya, sejak 2013, BI mengalih fungsi pengaturan dan pengawasan bank kepada OJK.
Namun, perubahan ayat pada pasal yang mengatur permodalan bank syariah yang sebelumnya mengacu pada peraturan BI kemudian menjadi harus mengacu pada peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) bisa menimbulkan persoalan.
”Kalau memang di industri bank konvensional yang sudah lebih mapan diaturnya hanya oleh peraturan OJK, seharusnya industri bank syariah juga sama-sama diatur OJK untuk menjaga unsur kesetaraan,” ujarnya saat dihubungi Kompas.
Perubahan ayat pada pasal yang mengatur permodalan bank syariah yang sebelumnya mengacu pada peraturan BI kemudian menjadi harus mengacu pada peraturan BKPM bisa menimbulkan persoalan.
Perbedaan perlakuan
Irfan khawatir jika yang mengatur investasi pada industri perbankan syariah adalah BKPM, perbankan syariah perlu menyesuaikan diri untuk memenuhi peraturan penanaman modal asing dalam negeri. Padahal entitas industri keuangan tidak bisa disamakan dengan entitas-entitas dari industri lain seperti manufaktur.
Di sisi lain, dengan perubahan itu, fungsi OJK sebagai otoritas tunggal yang berwenang melakukan uji tuntas terhadap calon investor asing yang ingin berinvestasi atau mengakuisisi bank syariah di Indonesia tergeser oleh peran BKPM.
”Bank syariah bisa menjadi korban karena secara sistem akan lebih berat untuk bisa melakukan ekspansi karena harus menyesuaikan dengan banyak regulasi turunan peraturan BKPM. Ini berbeda dengan bank konvensional yang cukup mengikuti peraturan OJK,” kata Irfan.
Ia menyarankan agar peraturan ini bisa ditinjau kembali agar bank konvensional dan bank syariah tidak mendapatkan perlakuan yang berbeda. Namun, jika alasan adanya perundangan ini adalah untuk melindungi bank umum syariah, bank umum konvensional yang notabene memiliki jumlah aset yang lebih besar seharusnya mendapatkan perlakuan yang sama.
Direktur Syariah Banking PT CIMB Niaga Tbk Pandji Djajanegara mengaku terkejut dengan perubahan aturan itu. Sebab, selama ini perbankan syariah sudah mengacu pada peraturan OJK untuk memenuhi persyaratan terkait kepemilikan modal badan usaha asing dan penggunaan tenaga kerja asing.
”Investor asing tentu akan memperkuat perbankan syariah yang modalnya sangat kecil untuk mendukung perekonomian nasional,” ujarnya.
Perubahan ini diharapkan semakin membuka peluang yang lebih besar bagi investor asing yang mau berinvestasi di perbankan syariah Indonesia selama tetap memenuhi prinsip-prinsip manajemen risiko yang baik.
Presiden Direktur PT Bank BCA Syariah John Kosasih mengaku tidak terlalu pusing dengan perubahan itu selama peraturan ini mampu mendorong sisi permodalan yang selama ini cukup menjadi momok bagi industri perbankan syariah.
”Perubahan ini diharapkan semakin membuka peluang yang lebih besar bagi investor asing yang mau berinvestasi di perbankan syariah Indonesia, selama tetap memenuhi prinsip-prinsip manajemen risiko yang baik,” ujarnya.