Janji Pemerintah Serap Tenaga Kerja dan Pekerja yang Di-PHK Diragukan
Pemerintah berjanji, RUU Cipta Kerja hadir untuk 2,92 juta anak muda yang baru mencari kerja dan 6 juta pekerja yang terkena PHK di tengah pandemi Covid-19. Namun, janji itu diragukan bisa tercapai.
Oleh
Agnes Theodora
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah memberikan janji untuk menambah lapangan kerja bagi rakyat lewat Undang-Undang Cipta Kerja. Namun, janji manis itu diragukan terpenuhi jika melihat substansi rancangan undang-undang omnibus law itu yang problematik dan ketidakpastian ekonomi di tengah pandemi. Investasi yang masuk dikhawatirkan hanya besar dalam kuantitas, tetapi tidak kualitas.
Menanggapi penolakan yang luas dari publik, dalam konferensi pers, Rabu (7/10/2020), pemerintah memaparkan penjelasan tentang RUU Cipta Kerja yang tergesa-gesa disetujui untuk disahkan menjadi UU pada 5 Oktober 2020. Hadir dalam konferensi pers itu 12 menteri yang lingkup kewenangannya berkenaan dengan substansi RUU Cipta Kerja.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, RUU Cipta Kerja hadir untuk 2,92 juta anak muda yang baru mencari kerja dan 6 juta orang pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) di tengah pandemi Covid-19.
Selain buruh, RUU itu juga ditujukan membantu usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang menjadi tulang punggung perekonomian nasional. ”Secara praktik, RUU sapu jagat seperti ini telah banyak diterapkan di sejumlah negara. Selain untuk menciptakan lapangan kerja, juga mendorong iklim berusaha,” katanya.
RUU Cipta Kerja hadir untuk 2,92 juta anak muda yang baru mencari kerja dan 6 juta orang pekerja yang terkena PHK di tengah pandemi Covid-19.
Hal senada diungkapkan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia. Ia mengatakan, untuk memperluas lapangan kerja, pintu untuk investasi harus dibuka lebar. ”Beberapa keluhan dunia usaha, izin yang sulit untuk berinvestasi di Indonesia karena ada ego sektoral dan aturan tumpang tindih, serta buruh yang mahal. Solusinya adalah RUU ini,” ujarnya.
Dengan keberadaan UU Cipta Kerja, pemerintah memprediksi investasi meningkat sebesar 6,6 persen sampai 7 persen untuk membangun usaha baru atau mengembangkan usaha yang sudah ada. Investasi itu diharapkan menciptakan 2,7 juta sampai 3 juta lapangan kerja baru per tahun.
Bahlil menyebut, ada 153 perusahaan yang sudah siap masuk setelah UU Cipta Kerja diberlakukan. Lapangan kerja diprioritaskan untuk pekerja dalam negeri. ”Itu perintah Presiden. Setiap lapangan kerja dari investasi harus dimaksimalkan ke dalam negeri. Pekerja asing itu untuk posisi tinggi seperti manajer dan penguasaan teknologi,” katanya.
Investasi tidak berkualitas
Namun, janji itu diragukan bisa tercapai. Direktur Eksekutif Center for Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal berpendapat, melihat pelonggaran di RUU Cipta Kerja yang tidak diiringi dengan perlindungan maksimal untuk pekerja, tidak ada jaminan investasi yang masuk nanti akan menciptakan lapangan kerja berkualitas.
”Investasi itu bukan hanya kuantitas, melainkan juga kualitas. Meskipun keterampilan angkatan kerja kita masih rendah-menengah, bukan berarti perlindungan untuk mereka bisa rendah,” katanya.
Investasi itu bukan hanya kuantitas, melainkan juga kualitas. Meskipun keterampilan angkatan kerja kita masih rendah-menengah, bukan berarti perlindungan untuk mereka bisa rendah.
Faisal menambahkan, investasi dan penciptaan lapangan kerja yang berkualitas akan meningkatkan kesejahteraan pekerja. Sementara, pekerja yang sejahtera akan memberi efek domino pada pertumbuhan ekonomi lewat peningkatan konsumsi rumah tangga.
Faktanya, wajah ketenagakerjaan dan hubungan industrial di bawah UU Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan masih banyak pelanggaran. Buruh masih hidup dalam standar hidup yang tidak layak. Kondisi itu dikhawatirkan semakin buruk jika RUU Cipta Kerja nanti berlaku.
Di tengah pandemi, survei Badan Pusat Statistik yang dipublikasikan pada Rabu menunjukkan, sebanyak 17,06 persen perusahaan merumahkan karyawan tanpa memberi bayaran. Bahkan, 12,83 persen memberhentikan karyawan dalam waktu singkat. Selain itu, 6,46 perusahaan merumahkan tetapi memberi bayaran sebagian, dan 3,69 persen perusahaan merumahkan dengan bayaran penuh.
Menurut Faisal, banyak investor global, khususnya dari negara maju seperti di Eropa, yang kini memegang prinsip dan nilai perlindungan lingkungan serta hak asasi pekerja dalam berinvestasi.
”Mereka bukan semata-mata mencari keuntungan besar, melainkan memperhatikan dampak lingkungan dan hak asasi manusia. Jadi, pertanyaannya, investor dan lapangan kerja seperti apa yang kita kejar?” katanya.
Hal ini terlihat dalam surat terbuka dari 35 investor global yang mengelola aset senilai 4,1 triliun dollar AS (Rp 60,3 triliun) ke Presiden Joko Widodo setelah disahkannya RUU Cipta Kerja. Para investor mengingatkan pemerintah bahwa RUU itu bisa menimbulkan risiko baru bagi lingkungan hutan.
Dalam surat itu, sebagaimana dikutip dari Reuters, Spesialis Senior Engagement Robeco, Peter van der Werf, mengatakan, meski menyadari perlunya reformasi hukum bisnis di Indonesia, para investor khawatir akan dampak negatif yang dimunculkan RUU Cipta Kerja terhadap perlindungan lingkungan.
Aspek lebih krusial adalah ketidakpastian iklim ekonomi di tengah pandemi. Faisal berpendapat, selama Indonesia tidak mampu mengontrol penyebaran Covid-19, investor akan enggan menanamkan modal. Saat ini, fokus pemerintah yang terbelah membuat penanganan pandemi tidak optimal. Indonesia sudah dihadang oleh 56 negara.
Instabilitas sosial politik dan meningkatnya ketidakpercayaan publik terhadap negara sebagai akibat dari pengesahan RUU Cipta Kerja juga berdampak pada iklim investasi. ”Ini seharusnya menjadi perhatian pemerintah sebelum terburu-buru mengesahkan RUU Cipta Kerja,” katanya.
PP ikut dikebut
Janji pemerintah semakin diragukan karena proses pembahasan rancangan peraturan pemerintah (PP) nanti juga akan dikebut seperti pembahasan RUU. Airlangga mengatakan, rancangan PP akan dikebut dalam waktu satu bulan meskipun RUU mengamanatkan itu maksimal bisa dirampungkan dalam tiga bulan.
Tercatat, ada 39 PP dan peraturan presiden yang harus disusun. ”Tadi arahan Pak Presiden, semua diminta diselesaikan dalam waktu satu bulan meski UU membolehkan tiga bulan. Ini target dari Pak Presiden,” katanya.
Faisal mengatakan, jika memang niat pemerintah baik, penyusunan rancangan PP seharusnya tidak dikebut lagi sebagaimana RUU. Apalagi mengingat resistensi publik saat ini sudah tinggi, bukan hanya dari buruh, melainkan juga akademisi, guru besar, dan elemen masyarakat lainnya.
”Kalau sudah begitu, pemerintah seharusnya terbuka dan tidak lagi defensif. Kalau ternyata dikebut lagi dalam satu bulan, ini berarti antara tidak belajar dari kesalahan atau memang sengaja,” katanya.
Kalau sudah begitu, pemerintah seharusnya terbuka dan tidak lagi defensif. Kalau ternyata dikebut lagi dalam satu bulan, ini berarti antara tidak belajar dari kesalahan atau memang sengaja.
Padahal, masih banyak substansi RUU yang problematik. Di sisi ketenagakerjaan, masih ditemukan sejumlah pasal yang tidak memberi kepastian dan perlindungan bagi pekerja, khususnya Pasal 59 dan Pasal 66 tentang pekerja kontrak (perjanjian kerja dengan waktu tertentu/PKWT) dan pekerja alih daya (outsourcing).
UU Ketenagakerjaan mengatur, pekerja hanya boleh dikontrak paling lama tiga tahun. Kini, Pasal 59 RUU Cipta Kerja berbunyi, batas waktu penyelesaian pekerja kontrak diatur ”dalam waktu yang tidak terlalu lama”.
Sementara itu, lewat Pasal 66, RUU tidak lagi mengatur batasan jenis pekerjaan yang dapat dialilhdayakan. Implikasinya, akan semakin banyak pekerja yang berstatus alih daya karena jenis pekerjaannya tak terbatas. Di draf RUU, kedua pasal ini diserahkan ke pemerintah untuk diatur dalam PP.
Wakil Ketua Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia Jumisih mengemukakan, hadirnya kedua pasal itu mengancam kepastian kerja. Ada nuansa kuat, RUU mendorong fleksibilitas pasar tenaga kerja. RUU hanya memunculkan pekerjaan, tetapi tidak diiringi standar hidup yang baik untuk buruh.
Ia khawatir, pengusaha dapat leluasa menafsirkan frasa ”tidak terlalu lama” yang berakibat pada semakin minimnya perlindungan buruh. Apalagi, selama ini, pekerja kontrak dan alih daya cenderung tidak mendapat perlindungan dan standar hidup layak sebagaimana pekerja tetap.
”Akan semakin banyak buruh terancam terus-menerus menjadi buruh kontrak dan outsourcing tanpa batas dan perlindungan,” katanya.
Dalam paparannya, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah berdalih, pemerintah tetap memberi perlindungan tambahan berupa kompensasi saat kontrak kerja berakhir. Namun, Ida tidak menjelaskan inti persoalan terkait berapa lama jangka waktu pekerja kontrak yang akan diatur di rancangan PP.
Terkait pekerja alih daya, Ida mengatakan, syarat dan ketentuan bagi pekerja alih daya akan tetap dipertahankan. Namun, hal itu tidak ditemukan di draf karena Pasal 65 UU Ketenagakerjaan dihapus di RUU Cipta Kerja. (FAJAR RAMADHAN)