Hak Istirahat dan Cuti Pekerja Masih Rentan Dilanggar
Di tengah polemik mengenai Undang-Undang Cipta Kerja, selama ini masih banyak pekerja yang merasakan pelanggaran aturan jam istirahat dan cuti dari perusahaan.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah polemik mengenai Undang-Undang Cipta Kerja, selama ini masih banyak pekerja yang mengeluhkan aturan jam istirahat dan cuti dari perusahaan. Aturan yang ada juga kerap bertolak belakang dengan kenyataan di lapangan.
Bekerja di bawah tekanan bukan sesuatu yang mengagetkan lagi bagi Zakki Masruri (27). Dua tahun yang lalu, ia pernah merasakan beratnya tuntutan pekerjaan, sampai-sampai ia mengabaikan jam istirahat.
Saat itu, Zakki bertindak sebagai team leader di salah satu perusahaan layanan pengaduan/pusat panggilan (call center) maskapai penerbangan. Di sana, perusahaan telah mengatur jam istirahat para karyawan secara tertulis.
Mereka mendapatkan jatah istirahat setelah bekerja selama empat jam berturut-turut. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 79 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Sayangnya, kenyataan kerap berkata lain. Saat telepon pengaduan yang masuk sedang tinggi-tingginya (traffic call), karyawan harus rela memangkas jam istirahat mereka. Apalagi Zakki yang saat itu bertanggung jawab mengawasi agen-agennya di ruang kerja. Ia harus memastikan semua telepon yang masuk tidak diabaikan.
”Kami enggak pernah tahu kapan traffic call akan tinggi. Kalau ada penundaan atau pembatalan penerbangan, pasti traffic call naik itu. Kalau udah kayak gitu, enggak sempat istirahat,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (8/10/2020).
Hal tersebut cukup masuk akal, mengingat waktu istirahat karyawan telah diatur supaya tidak bentrok satu sama lain. Sebab, jika karyawan mengambil jatah istirahat di luar jam yang telah ditentukan, karyawan lain akan dirugikan.
Dari sembilan jam kerja per hari, Zakki biasanya mendapatkan jatah istirahat sebanyak 1 jam 15 menit. Selama 15 menit di antaranya adalah waktu toleransi dari perusahaan. Namun baginya, waktu istirahat tersebut sering kali terbuang begitu saja.
Selain itu, Zakki juga mendapatkan jatah libur 8 hari dalam sebulan. ”Kalau waktu kerja enggak ada masalah, sih. Sistemnya lima hari masuk, dua hari libur setiap minggu,” tambah pria yang saat ini bekerja sebagai pekerja alih daya di bidang travel ini.
Perusahaan Zakki saat itu juga beberapa kali menunda pembayaran uang penyetaraan upah minimum regional (UMR). Di tahun pertamanya bekerja, yakni tahun 2017, uang penyetaraan tersebut dirapel selama delapan bulan.
”Setiap tahun, kan, ada kenaikan UMR sekitar Rp 200.000. Waktu tahun 2017 itu, dirapel dan dikasih pas bulan kedelapan. Jadi selama Januari-Juli 2017, gajinya masih UMR tahun sebelumnya,” katanya.
Tahun berikutnya, kenaikan UMR masih dirapel. Hanya saja, rapel dibayarkan di bulan kelima. Adapun Zakki pindah divisi pada tahun 2019 sehingga tidak merasakan lagi penundaan pembayaran kenaikan gaji itu lagi. Tak lama kemudian, ia memutuskan pindah kerja.
Penundaan pembayaran kenaikan gaji ini dinilai merugikan karyawan yang mengundurkan diri secara mendadak sebelum bulan kedelapan. Sebab, ia tidak akan mendapat uang penyetaraan UMR tersebut sepeser pun.
Cuti
Tika Pusparani (29), karyawan perusahaan manufaktur di Jepara, Jawa Tengah, mengaku, selama ini sudah diperlakukan secara baik oleh perusahaan. Ia tidak pernah mengeluhkan soal waktu kerja dan cuti.
Terkait dengan cuti haid, Tika mengaku belum pernah mengajukannya. Namun, perusahaannya dapat memberikan jatah cuti tersebut kepada karyawati yang sakit saat mengalami haid hari pertama, dengan catatan, karyawati tersebut harus diperiksa oleh dokter terlebih dahulu.
”Kalau aku, sih, enggak pernah cuti haid, ya, karena enggak pernah sakit pas haid. Tapi aturannya harus pihak medis yang kasih rekomendasi,” ungkapnya.
Meski begitu, Tika pernah mengajukan cuti melahirkan dan menyusui ke perusahaan. Selain mendapatkan cuti selama tiga bulan, ia juga menerima gaji secara utuh.
Hal berbeda dialami Ismi Firdausi (25). Alih-alih mendapatkan jatah cuti haid, perusahaannya justru mengharamkannya untuk cuti dengan alasan apa pun. Pengalaman itu ia dapatkan saat masih bekerja sebagai customer service pada perusahaan rintisan dompet digital di Yogyakarta, setahun lalu.
Alternatifnya, Ismi bisa mengajukan izin kepada atasannya. Itu pun tidak gratis. Sebagai konsekuensi, gajinya harus siap dipangkas Rp 80.000 untuk satu kali absen.
”Yang boleh ngajuin cuti cuma karyawan yang sudah satu tahun kerja. Saat itu, aku belum ada satu tahun. Kalau enggak izin, paling, ya, tukeran libur sama teman,” kata perempuan yang kini memilih menjadi ibu rumah tangga ini.
Hal yang sama sebelumnya diungkapkan oleh Ika Handayani (39), ibu rumah tangga asal Palmerah, Jakarta Barat. Ia menuturkan, suaminya, Abdul Manap (40), yang bekerja sebagai pesuruh (OB) hampir tidak pernah merasakan cuti. Sebab, cuti berarti pemotongan gaji.
Seingat Ika, Abdul hanya pernah mengajukan cuti dua kali, yakni saat Ika melahirkan kedua putranya. Abdul saat itu mengajukan cuti masing-masing dua hari.
”(Cuti) satu harinya dipotong Rp 150.000. Makanya, suami waktu itu nunda-nunda punya anak kedua karena dia enggak mau cuti,” ungkap Ika.
Kini, sejumlah aturan pada UU Ketenagakerjaan diganti lewat mekanisme omnibus law UU Cipta Kerja. Namun, tidak ada perbedaan yang mencolok terkait aturan jam istirahat dan cuti pekerja. Hak-hak pekerja tersebut pun masih rentan diabaikan.