Dorong Produktivitas Kakao, Pemerintah dan Industri Sinergikan Penelitian
Peningkatan produksi kakao diperlukan untuk mengisi kebutuhan industri dan menekan impor.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Kolaborasi penelitian dan pengembangan tanaman kakao antara perusahaan swasta dan pemerintah memunculkan harapan meningkatnya kembali produktivitas kakao nasional. Peningkatan produksi kakao diperlukan untuk mengisi kebutuhan industri dan menekan impor bahan baku cokelat tersebut.
Bentuk kerja sama itu salah satunya dilakukan Mondelez International yang membuka pusat penelitian tanaman kakao berskala global di Pasuruan, Jawa Timur. Rabu (7/10/2020), pembukaan Pasuruan Cocoa Technical Centre (PCTC) diresmikan oleh Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo dan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita.
Rob Hargrove selaku Executive Vice President Research, Development and Quality Mondelez International mengatakan, pusat penelitian itu dibangun untuk mengadakan penelitian dan pengembangan praktik pertanian kakao yang efektif, inovatif, dan ramah lingkungan yang dapat diterapkan oleh petani lokal.
"Dengan terus meningkatnya permintaan cokelat, keberlanjutan penting untuk diciptakan industri. Kami akan membantu meningkatkan produktivitas petani, tanpa menimbulkan dampak buruk pada lingkungan," katanya dalam acara virtual peresmian PCTC hari ini.
Studi lembaga penelitian pasar Euromonitor International pada 2018 memproyeksikan kawasan Asia sebagai konsumen produk berbahan baku kakao terbesar kedua di dunia, setelah kawasan Eropa Barat.
Sayangnya, posisi Indonesia sebagai salah satu penghasil biji kakao terbesar di dunia terus merosot. Tiga tahun lalu, Indonesia menempati urutan ketiga, tetapi kini turun menjadi urutan keenam. Pertanian kakao Indonesia dihadapkan pada tantangan rendahnya rata-rata hasil panen, dibandingkan dengan rata-rata global.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, pada kesempatan sama menyebut, produktivitas kakao nasional rata-rata hanya 0,8 ton per hektar. Kontribusi biji kakao lokal terhadap industri nasional juga turun menjadi 45 persen (sekitar 200.000 ton) di 2019 dari 48 persen (320.000 ton) di 2017.
”Kekurangan bahan baku membuat kita terpaksa mengimpor biji kakao. Kakao banyak dihasilkan di negara lain, seperti Pantai Gading, Kamerun, dan Ekuador,” kata Agus.
Tahun lalu, industri pengolah kakao mengimpor sekitar 234.000 ton biji kakao yang mengisi sekitar 54 persen kapasitas produksi yang mencapai 800.000 ton per tahun. Jumlah biji kakao yang diimpor itu meningkat dari 61.000 ton pada 2016 dan 226.000 ton di 2017.
Kapasitas produksi olahan biji kakao saat ini lebih besar dibandingkan 2-3 tahun lalu yang berkisar 600.000 ton per tahun. Industri pengolah biji kakao menghasilkan berbagai produk antara, seperti lemak, bubuk, dan pasta.
Agus pun mengapresiasi kehadiran PCTC yang nilai investasinya mencapai 13 juta dollar Amerika Serikat (AS) tersebut. Apresiasi sama dilontarkan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Ia menyatakan, pemerintah siap memaksimalkan produksi kakao di seluruh Indonesia jika kendala produksi bisa ditangani.
”Terkait kakao ini persoalannya satu, yaitu bibit. Kota perlu bibit yang baik, bibit yang tahan serangan hama,” kata Yasin.
PCTC diharapkan bisa bekerja sama dengan pusat penelitian lain yang sudah ada, seperti Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (Puslitkoka) di Jember, Jawa Timur. Berdiri di lahan seluas 5 hektar, laboratorium dan area agronomi disediakan untuk membandingkan berbagai metode pembibitan dan perkembangbiakan tanaman kakao.
Kehadiran pusat penelitian kakao ini diharapkan Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdalifah Mahmud, bisa berkontribusi juga pada kesejahteraan petani kakao.
”Sejak tahun 1970-an, kita mengembangkan perkebunan kakao sampai sekarang 97 persen perkebunan kakao dimiliki rakyat. Jadi, perlu didukung inisiatif seperti ini karena petani enggak mampu mengembangkan penelitian,” ujarnya.
Petani kakao, menurut catatannya, mengelola 1,6 juta hektar lahan perkebunan yang tersebar di berbagai wilayah terpencil. Temuan baru yang bisa dihasilkan pusat penelitian ini diharapkan meningkatkan produktivitas dan penghasilan petani kakao.
Ketua Asosiasi Petani Kakao Indonesia Arief Zamroni (Kompas, 8/7/2020) menyebut, turunnya daya saing kakao nasional membuat petani tidak bergairah untuk memproduksi kakao. ”Dampaknya, petani pun akan mengalihkan lahannya ke komoditas yang lebih menjanjikan dan tidak sulit dalam perawatannya,” katanya.
Saat ini, rata-rata nasional harga kakao di tingkat petani mencapai Rp 30.000 per kilogram. Harga tersebut tergolong stabil tinggi dibandingkan tahun lalu karena berkurangnya pasokan.
Di tingkat dunia, menurut Organisasi Kakao Internasional, rata-rata harga kakao saat ini 2.070,92 dollar AS per ton. Angka itu lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya, yakni 2.511,62 dollar AS per ton.