Penyusup Rencanakan Kerusuhan dalam Aksi Mahasiswa di Palembang
Polisi menangkap 183 orang yang diduga menjadi penyusup dalam aksi pemuda dan mahasiswa menolak Undang-Undang Cipta Kerja. Penyusup berencana agar aksi mahasiswa berakhir ricuh.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Polisi menangkap 183 orang yang diduga menjadi penyusup dalam aksi pemuda dan mahasiswa di Palembang yang menolak Undang-Undang Cipta Kerja. Dalam penyelidikan awal diketahui, aksi penyusup itu terencana. Mereka ingin aksi tersebut berakhir ricuh.
Hal ini disampaikan Kepala Polrestabes Palembang Komisaris Besar Anom Setyadji seusai memimpin pengamanan unjuk rasa di Kantor DPRD Sumsel di Palembang, Rabu (7/10/2020). Dia mengatakan, dari hasil pemeriksaan dalam telepon genggam masing-masing penyusup itu diketahui adanya grup Whatsapp yang di dalamnya tertulis rencana mereka untuk membuat aksi unjuk rasa mahasiswa ini berakhir ricuh.
Selain itu, beberapa dari mereka juga membawa senjata tajam, gesper yang dimodifikasi menjadi senjata tajam, bahkan bom molotov. Kebanyakan penyusup tersebut berstatus pelajar dan tunakarya yang memang memiliki niat untuk membuat kerusuhan.
Atas tindakannya ini, ujar Anom, mereka terancam pidana melanggar pasal dalam Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang Kepemilikan Senjata Tajam dengan ancaman kurungan 10 tahun. ”Sampai saat ini masih dalam penyelidikan, termasuk melihat dari sisi siber,” ucap Anom.
Menurut Anom, memang sejak awal para pemuda dan mahasiswa yang berunjuk rasa tidak ingin rusuh karena mereka hanya ingin menggelar mimbar terbuka. Tidak ada rencana untuk bertemu dengan anggota DPRD Sumsel.
Memang sejak awal, lanjut Anom, pihaknya tidak menerima pemberitahuan untuk melakukan unjuk rasa karena situasi pandemi. Namun, karena mahasiswa melakukan mimbar terbuka, pihaknya menampung aspirasi itu sepanjang tidak ada anarkisme.
Unjuk rasa berlangsung aman, tidak ada kericuhan hingga akhir aksi. Hal itu juga ditegaskan polisi. ”Hingga akhir unjuk rasa, kondisi Palembang cukup kondusif,” ucap Anom.
Tidak ada satu pun dari 183 orang yang ditangkap tersebut merupakan anggota aliansi. (Bagas Pratama)
Bagas Pratama dari bagian humas Aliansi Pemuda dan Mahasiswa untuk Masyarakat (Ampera) Sumatera Selatan mengungkapkan, tidak ada satu pun dari 183 orang yang ditangkap tersebut merupakan anggota aliansi. Memang sejak awal pihaknya tidak berencana untuk membuat kerusuhan. ”Kami hanya ingin menyampaikan aspirasi agar didengar oleh publik,” ucapnya.
Dalam pelaksanaannya, ribuan pemuda dan mahasiswa yang terdiri dari Badan Eksekutif Mahasiswa dari sejumlah universitas di Palembang serta organisasi pemuda bergabung.
Ada empat tuntutan yang disampaikan dalam aksi itu, yakni mosi tidak percaya kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Tuntutan kepada Presiden Joko Widodo untuk menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Jika perppu tidak dikeluarkan, pihaknya mendukung judicial review (uji materi) ke Mahkamah Konstitusi.
Tuntutan terakhir adalah mendukung mogok kerja nasional. Tuntutan ini ditujukan kepada pemerintah, dalam hal ini Presiden Joko Widodo dan anggota DPR.
Aliansi ini tidak ingin kericuhan yang terjadi antara mahasiswa dan polisi di Palembang pada September 2019 terulang. Saat itu, beberapa mahasiswa terluka. ”Kami khawatir itu akan menciptakan kesan buruk bagi pemuda dan mahasiswa di Sumsel. Kami ingin Palembang tetap damai,” ucapnya.