Penggunaan dana penanganan Covid-19 di sektor kesehatan belum secara rinci dibuka kepada publik. Ketiadaan transparansi berpotensi bermuara ke korupsi yang tidak saja merugikan keuangan negara, tapi mempertaruhkan nyawa.
Oleh
SHARON PATRICIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dana penanganan pandemi Covid-19 tidak dirinci secara jelas terkait penggunaan dan penyerapan anggaran, khususnya di sektor kesehatan. Ketiadaan transparansi dinilai dapat memicu penyalahgunaan dana yang berpotensi bermuara pada korupsi.
Awalnya, dalam rangka penanganan Covid-19, alokasi dana kesehatan yang dianggarkan pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebesar Rp 76,55 triliun. Anggaran alokasi kesehatan kemudian meningkat menjadi Rp 87,55 triliun yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020.
Kajian Indonesia Corruption Watch (ICW) yang dikutip pada Rabu (7/10/2020) menunjukkan, belanja fungsi kesehatan untuk penanganan Covid-19 dibagi dalam tiga pos. Tambahan belanja stimulus Rp 75 triliun digunakan untuk belanja penanganan kesehatan, termasuk insentif tenaga kesehatan, santunan kematian tenaga kesehatan, dan bantuan iuran Jaminan Kesehatan Nasional.
Adapun insentif perpajakan Rp 9,05 triliun untuk pembebasan Pajak Penghasilan (PPh) untuk jasa, honor tenaga kesehatan, pembebasan Pajak Pertambahan Nilai, dan pembebasan bea masuk impor alkes. Sementara tambahan anggaran Badan Nasional Penanggulangan Bencana Alam Rp 3,5 triliun untuk pengadaan alat pelindung diri (APD), alat kesehatan, test kit, klaim biaya perawatan, mobilisasi dan logistik, karantina, serta pemulangan warga negara Indonesia (WNI) di luar negeri.
Catatan ICW menunjukkan, tren korupsi kesehatan sepanjang 2010-2016, ada 219 kasus korupsi kesehatan dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 890,1 miliar. Dari jumlah tersebut, dana alat kesehatan menjadi yang paling banyak dikorupsi, yaitu 107 kasus dengan nilai kerugian negara Rp 543 miliar.
Irma Hidayana, salah satu inisiator platform LaporCovid19.org, menilai, ketidakterbukaan informasi berpotensi terjadinya korupsi dana penanganan Covid-19. Permintaan transparansi penggunaan dana pun harus terus disuarakan.
”Jangankan mengetahui pembayaran anggaran kesehatan yang dikelola Kementerian Kesehatan, untuk mengetahui informasi non-anggaran pun sulit didapatkan. Kami juga melihat, kok, persoalan APD enggak selesai-selesai, jumlah orang yang positif Covid-19 terus meningkat, dan tenaga kesehatan banyak yang belum menerima insentif,” ujar Irma dalam Kelas Intensif Akademi Jurnalistik Lawan Korupsi.
Sejauh ini, LaporCovid19.org, kata Irma, sudah mencoba meminta data penggunaan dana penanganan Covid-19. Namun, baru mendapatkan template dari Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) DKI Jakarta untuk diisi terkait permohonan data yang diinginkan.
”Kami masih dalam tahap untuk mengisi dan kemudian mengajukan hal (template) tersebut ke proses selanjutnya. Transparansi ini penting karena dampak korupsi di sektor kesehatan tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga mempertaruhkan kesehatan dan nyawa manusia,” kata Irma.
Secara terpisah, peneliti ICW, Dewi Anggraeni, dalam kajian ini menuliskan, jumlah yang besar tersebut akan rawan penyimpangan. Publik perlu disediakan informasi yang rinci serta mudah untuk diakses dan dikonsumsi.
Serupa dengan proses pengadaan barang dan jasa, transparansi anggaran ini pun masih menyisakan sejumlah catatan. Sebab, informasi mengenai anggaran masih ditemukan secara terbatas.
”Penggunaan anggaran yang bersifat rinci tidak diumumkan secara berkala kepada publik sehingga publik akan kesulitan untuk mengawasi anggaran publik yang digunakan untuk penanganan Covid-19,” ujar Dewi.
Staf Ahli Bidang Pengeluaran Negara Kementerian Keuangan Kunto Wibawa menyampaikan, tim monitoring dan evaluasi yang bertugas memantau pelaksanaan dan anggaran PEN agar efektif sudah mulai bekerja mulai Juni 2020. Sejauh ini, perkembangan transparansi penggunaan dana penanganan Covid-19 dikatakan semakin baik.
”Saat ini, perkembangannya (transparansi data penggunaan dana Covid-19) sudah jauh lebih baik. Penyerapan naik secara signifikan, baik program yang sudah berjalan maupun program baru (terkait penanganan Covid-19),” kata Kunto saat dihubungi.
Upaya ini sebagai bentuk pertanggungjawaban dana kepada publik. Tim monitoring dan evaluasi akan secara berkala menyosialisasikan penggunaan dana penanganan Covid-19 kepada publik. Salah satunya, melalui konferensi pers bulanan lewat laporan kinerja APBN KiTa.
Kementerian Keuangan mencatat, realisasi penanganan Covid-19 dan program Pemulihan Ekonomi Nasional untuk perlindungan sosial telah terserap 41,37 persen hingga awal Agustus 2020 dari total dana Rp 695,2 triliun. Sektor UMKM terealisasi 25,3 persen, sementara empat sektor lainnya, yakni kesehatan, sektoral dan pemda, pembiayaan korporasi, serta insentif usaha masih di bawah 15 persen.