Problem kelangkaan pupuk menyeruak di sejumlah daerah di Tanah Air awal musim tanam rendeng 2020/2021. Kalangan petani berharap pemerintah membuka data sehingga publik bisa turut mengawasi penyaluran pupuk bersubsidi.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kalangan petani berharap data penyaluran pupuk bersubsidi dibuka agar publik bisa turut mengawasi penyalurannya. Dengan demikian, kelangkaan pupuk bisa diantisipasi dan kelangkaan tak terus terjadi, seperti pada awal musim tanam rendeng 2020/2021.
Ketua Umum Perkumpulan Insan Tani dan Nelayan Indonesia Guntur Subagja, Selasa (6/10/2020), menilai, petani masih sering kesulitan mendapatkan pupuk bersubsidi. Jika ada, pupuk kadang datang terlambat, yakni ketika masa pemupukan sudah lewat, atau harganya lebih tinggi dari ketentuan.
”Hingga saat ini, saya mendapatkan laporan, petani masih kesulitan memperoleh pupuk bersubsidi. Contohnya di Sukabumi, Jawa Barat. Kami khawatir pupuk datang terlambat. Padahal, sekarang momentumnya. Pupuk komersial pun harganya bisa dua kali lipat dibandingkan pupuk bersubsidi,” kata Guntur.
Kesulitan mendapatkan pupuk bersubsidi, antara lain, dialami oleh petani di Karawang dan Cirebon, Jawa Barat, serta di Banyuwangi, Jawa Timur. Mereka telah memulai tanam padi, tetapi pupuk bersubsidi tidak tersedia dengan harga sesuai ketentuan atau jumlah yang sesuai kebutuhan.
Menurut Ketua Dewan Penasihat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Bayu Krisnamurthi, problem pupuk, antara lain, berakar dari sistem harga ganda, yakni pupuk bersubsidi dan komersial. Perbedaan harga ini membuka celah penyimpangan pupuk bersubsidi untuk kepentingan yang bukan semestinya.
Selama ini, pengawasan penggunaan pupuk bersubsidi pun sangat sulit. Hal ini disebabkan oleh pendataan petani serta lahan dan komoditas yang digarap belum dimutakhirkan secara berkala.
Pemerintah sebenarnya telah memulai program Kartu Tani untuk mengatasi problem tersebut. Sebab, anggaran subsidi diberikan secara langsung kepada petani melalui rekeningnya. Dengan demikian, dana bantuan itu bisa dibelanjakan untuk membeli pupuk sesuai kebutuhannya.
Meski demikian, program itu belum optimal. Himpunan Bank Milik Negara mencatat, jumlah Kartu Tani yang tercetak mencapai 12,07 juta kartu per akhir September 2020. Namun, jumlah yang terdistribusi baru berkisar 6,65 juta kartu, sedangkan yang digunakan 894.126 kartu.
Terkait kelangkaan pupuk yang terjadi menjelang musim tanam Oktober 2020, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdhalifah Machmud menyatakan, pemerintah akan membahasnya dalam rapat koordinasi. Harapannya, persoalan itu ditindaklanjuti dan bisa diatasi. Tahun ini, pemerintah mengalokasikan 8,9 juta ton pupuk bersubsidi dengan anggaran Rp 29,7 triliun.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian Sarwo Edhy, dalam rapat dengan Komisi IV DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (5/10/2020), memaparkan, volume alokasi pupuk bersubsidi tahun 2020 direvisi menjadi 8,9 juta ton dengan total anggaran Rp 29,7 triliun. Berdasarkan data per 27 September 2020, realisasi penyaluran pupuk bersubsidi mencapai 72,03 persen.
Sebelum direvisi, alokasi pupuk bersubsidi untuk tahun 2020 ditetapkan 7,9 juta ton dengan anggaran Rp 26,6 triliun. Apabila mengacu pada angka sebelum revisi, realisasi penyaluran pupuk bersubsidi telah mencapai 80,65 persen.
Menurut dia, kewenangan untuk mengalokasikan ulang pupuk bersubsidi dari kabupaten yang surplus pupuk ke defisit pupuk berada di dinas pertanian provinsi. ”Sambil menunggu hal (pengalokasian ulang) itu, kami sudah berinisiatif dengan PT Pupuk Indonesia (Persero) untuk mengirimkan pupuk langsung ke kecamatan dan kabupaten. Nantinya, penyaluran ini akan kami perhitungkan dan sinkronasikan (dengan realisasi secara keseluruhan),” katanya.