Konsumsi rumah tangga masih jadi andalan Indonesia untuk mendorong pertumbuhan ekonomi meskipun melihat kondisi terbaru, belanja pemerintah jadi penopang gerak perekonomian agar segera bangkit dari resesi. Belanja pemerintah disalurkan, antara lain, melalui bantuan sosial untuk menopang masyarakat, penanganan Covid-19, serta membantu usaha mikro, kecil, dan menengah. Diharapkan, dana yang dikucurkan pemerintah itu bisa menimbulkan dampak berganda dan memutar roda ekonomi yang sedang seret akibat krisis ekonomi yang berawal dari krisis kesehatan akibat pandemi Covid-19.
Membaca data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini memang sangat bergantung pada konsumsi rumah tangga. Pada tahun 2019, produk domestik bruto (PDB) Indonesia Rp 15.833,9 triliun. Sementara PDB per kapita pada 2019 sebesar Rp 59,1 juta.
Pada 2019, konsumsi rumah tangga berperan 56,62 persen terhadap PDB atas harga berlaku. Pada 2017 dan 2018, perannya juga di atas 50 persen, masing-masing 56,09 persen dan 55,76 persen.
Sementara, peran belanja pemerintah terhadap PDB atas harga berlaku pada 2017 sebesar 8,75 persen. Sementara pada 2018 sebesar 9,01 persen dan 2019 sebesar 9,12 persen.
Peran konsumsi rumah tangga terhadap PDB Indonesia masih tak tergoyahkan pada triwulan II-2020, yakni 57,85 persen. Maka, saat konsumsi rumah tangga tumbuh minus 5,51 persen pada triwulan II-2020, pertumbuhan ekonomi terseret menjadi minus 5,32 persen.
Konsumsi dilakukan seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah berupaya menopang masyarakat kelompok 40 persen terbawah dengan cara membagikan bansos di masa pandemi Covid-19. Diharapkan, kelompok ini tetap bisa memenuhi kebutuhan hidup di tengah krisis.
Baca juga : Konsumsi Masyarakat Masih Terbatas
Namun, bagaimana dengan kelompok menengah-atas? Masyarakat kelompok ini, secara kasatmata, memiliki aset seperti rumah dan kendaraan. Namun, sebagian juga memiliki kewajiban yang harus dipenuhi, di antaranya cicilan rumah dan kendaraan. Padahal, sebagian perusahaan memberlakukan pemotongan gaji selama pandemi Covid-19. Akibatnya, sebagian masyarakat kelas menengah menghemat konsumsi atau belanja agar kewajiban cicilannya terpenuhi. Ada juga kelas menengah yang mengajukan restrukturisasi kredit ke bank berupa pengurangan besaran cicilan, dengan konsekuensi periode atau tenor cicilan akan semakin panjang.
Sementara, kelompok atas menunda belanja, sambil menunggu pandemi mereda. Sekadar catatan, kasus Covid-19 pertama di Indonesia diumumkan pada 2 Maret 2020. Hingga kini, arah kurva kasus terkonfirmasi Covid-19 masih naik, belum terlihat ujungnya, apalagi menurun.
Bank Dunia pada Januari 2020 merilis, lima kelompok di Indonesia berdasarkan status sosial ekonomi. Lima kelompok itu adalah miskin, rentan, calon kelas menengah, kelas menengah, dan kelas atas. Saat itu, Bank Dunia mengingatkan, kelas menengah dengan nilai belanja Rp 1,2 juta-Rp 6 juta per orang per bulan merupakan pendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kelompok ini dinilai aman secara ekonomi dengan sedikit kemungkinan jatuh miskin atau kondisi rentan miskin. Ada sekitar 52 juta orang dalam kelompok ini di Indonesia, dengan nilai belanja yang tumbuh 12 persen per tahun sejak 2002.
Diingatkan juga mengenai kelompok calon kelas menengah yang berbelanja Rp 532.000-Rp 1,2 juta per orang per bulan. Kelompok ini tidak lagi hidup dalam kemiskinan dan kerentanan, tetapi belum terjamin secara ekonomi.
Jika kelompok calon kelas menengah dan kelas menengah ini mengalami dampak pandemi Covid-19 dan menekan belanja mereka, konsumsi rumah tangga di Indonesia juga akan terganggu. Padahal, permintaan kelompok ini menggerakkan perekonomian di Indonesia.
Saat itu, Bank Dunia mengingatkan, pekerjaan yang layak disertai perlindungan yang memadai akan membuat calon kelas menengah naik menjadi kelas menengah.
Bank Dunia mengingatkan, pekerjaan yang layak disertai perlindungan yang memadai, akan membuat calon kelas menengah naik menjadi kelas menengah
Pada Mei 2019, BPS merilis pekerjaan layak yang mengacu pada konsep dan definisi Organisasi Buruh Internasional (ILO). Pekerjaan layak adalah pekerjaan yang menjamin setiap pekerja bekerja secara produktif dan hak-hak asasinya sebagai manusia terpenuhi. Pekerjaan layak juga merupakan aspek utama dalam pengentasan kemiskinan dan mencapai pembangunan berkelanjutan. Maka, yang diperlukan bukan sekadar kerja, melainkan juga pekerjaan layak.